“Hei aku tegaskan secara jelas. Apa yang kamu utarakan dari tadi hingga kini, sehingga menyebabkan semua ini terjadi disebabkan kamu yang keras kepala. Kamu pengkhianat.”
“Memang itulah kenyataannya. Aku ingin Tuhan melihat tindakanku. Bosan aku menunggu. Sebab Tuhan terlihat tak sanggup memberikan kesegaran pada mereka-mereka. Kesengsaraan menjadi buah bibir berita. Apa kamu juga menyadari itu. Apakah kamu tega melihat mereka termangu-mangu?”
“Wajar saja bila saya mencalonkan diri menjadi anggota DPR. Tak ada yang salah. Salah apabila kamu menolak rencana dan gagasan ini. Kaulah pengkhianat sesungguhnya.” Kekehnya.
“Ada yang benar dari perkataanmu itu. Pertama, rakyat memang kesulitan akan kesejahteraan hidupnya. Kedua, niat dan semangatmu mengingatkanku pada pernyataan sang proklamator, Bung Karno, “Seribu orangtua hanya dapat bermimpi, tetapi satu orang pemuda dapat mengubah dunia”. Itu menjadi tolak ukur penilaianku pada pernyataan yang kau berikan. Akan tetapi, kekurangannya banyak sekali, yakni…”
“Sudahlah, memang itu kenyataannya kan. Aku bosan dengan jawaban darimu.”
“Tunggu, kita sudah berdebatakan hal ini. Tidak pantas apabila akhirnya seperti ini saja. Tidak ada hasilnya.”
“Kamu mengajak berkelahi lagi?”
“Bukan, ini pesanku. Kamu tak bernama. Identitasmu teritnggal di rahim ibumu. Sebaiknya kau cari dengan hati-hati. “
“Sampai jumpa!”
Aku meninggalkan tempat, setelah sebelumnya menghabiskan terlebih dahulu sisi-sisa susu yang ada. Tatapanku menggetarkan hatinya. Mungkin.
“Hah???”