“Lalu?”
“Tak ada yang harus kita lakukan dahulu pada masyarakat. Nilai kita belum baik seluruhnya.”
“Omong kosong saja. Nilai bisa kita beli dengan dompet.”
“Memangnya dompetmu tebalnya berapa?”
“Mungkin setebal dompet simpanan para anggota DPR, maka dari itu ini paripurnaku”
“Hei, dimana kesadaranmu?”
“Saya tegaskan sekali lagi, Saya sadar 100 persen!”
“Kamu menjawab dan itu jawaban seorang tak sadar. Dengarkan itu!”
“Aaah, sialan!”
Akhirnya kedua pemuda mengakhiri percakapan dengan wajah yang memerah, Namun, mereka berada dalam situasi yang memanas. Aku menghadap dengan tatapan emosi sekaligus iba. Sebaliknya, kutatap wajahnya, terlihat sekali raut kekesalan dan wajah penuh emosi. Emosi kedua belah pihak mulai memuncak. Tanganku menggapai pundaknya berusaha menekuknya, tetapi tangannya berhasil menangkis dengan tangkisan ala pencak silat. Tak ada yang berani mengaku kalah, keduanya takluk pada nafsu masing-masing.
Akirnya perkelahian terhenti seketika setelah mendengar gertakan ringan dari sang penjaga museum. Aku dilerainya. Namun, urusan belum beres begitu saja. Maka dilanjutkan kembali.