“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”
“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”
“Maka nikmat (Tuhan) mana yang engkau dustakan?”/
Panaslah, matahari siang ini, menguap juga pertanyaan rakyat pada pemimpinnya. Di sekitar halaman sebuah gedung tempatku berisitirahat sejenak dengan ditemnai kopi hitam pahit dan segelas susu coklat manis menemani siang ini. Ramai seklai pengunjung keluar masuk gedung bersejarah kota Bandung ini. Memang di ujung jalan sana aku lihat bekas gedung pembuat rotan yang sangat terkenal di zamannya, kini terlihat sangat kurang terurusi akibat zaman. Zaman sungguh kejam.
Tak lupa juga, obrolan seakan mengantarkan pada sebuah percakapan seru. Di atas bangku dari tembok yang dilapisi cat putih gading, disanalah aku duduk bersama seorang temanku. Seorang pemuda tampan yang tak ingin disebutkan namanya disetiap pembicaraan ataupun pernyataan. Aneh. Lalulah dialog pemuda tampan dimulai beberapa saat. Mukadimah pembicaraan menyodok tema tentang turun hujan.
“Oh, tentang alam” analisaku dalam hati.
Tapi entahlah. Tiba-tiba saja.
“Kapan hujan akan turun? “ tanyanya dingin.
“Panas! Bagaimana menurutmu?” sambungnya.
“Ya. Tetapi…”
“Tetapi apa?”