Benarkah yang dapat menyelamatkan kita, hanya diri kita sendiri? Benar! Akan terus berlanjut seperti selama inikah, pengamalan atau pewujud -- nyataan ayat - ayat Allah? Tanpa mau mengaji atau meneliti kembali, agar memahami makna sesungguhnya yang terkandung dalam ayat-ayat Allah tersebut? Sehingga umat tidak selalu dibius dengan kata orang, pahala, dan surga belaka tanpa mengetahui apa makna hakiki yang terkandung dalam perintah dan petunjuk Allah yang sebenarnya. Kita harus berani mengevaluasi pelaksanaan keyakinan kita selama ini demi keselamatan diri kita sendiri, dan keluarga serta terwujudnya generasi bangsa yang memiliki akhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
Sesungguhnya perintah dan petunjuk Allah yang tertulis yaitu Al Qur'an, memiliki keunikan. Lalu apa keunikannya? Keunikannya adalah ayat -- ayat tersebut saling melengkapi, saling menjelaskan, saling menguatkan. Sehingga perlu dikaji makna yang terkandung didalamnya setiap saat, kapanpun, dan dimanapun kita berada. Jadi tidak memerlukan tempat, dan waktu khusus untuk mengaji ayat -- ayat Allah itu. Dan bukan hanya dibaca dalam bahasa Arabnya setahun sekali di bulan Ramadhan, dengan tujuan untuk mengejar kejar laillatul qadar.Â
Surat Asy Syuu'araa' ayat 192. Dan sesungguhnya Al Quran ini benar - benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ayat 193. dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ayat 194. ke dalam hatimu  (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang diantara orang - orang yang memberi peringatan, ayat 195. dengan bahasa Arab yang jelas.
Al Qur'an ditempatkan dalam hati ( ayat 194 ) apa maknanya? Makna salah satunya, apabila ada seseorang berkata atau berbicara, hendaklah didengarkan dengan tenang, dan sabar terlebih dahulu agar kita mengerti dengan benar, dan tepat apa yang dikatakan. Kemudian kita tanggapi sesuai dengan alur pembicaraannya, setelah lawan bicara berhenti berbicara. Bukannya kita bicara, ditengah orang sedang berbicara.
Karena disamping tidak etis, juga akan memecah konsentrasi si pembicara, dan kita pun tidak dapat menerima apa yang dikatakan dengan baik. Bukankah Al Qur'an ditempatkan di dalam hati, jadi saat orang berkata atau berbicara sama saja dengan membacakan ayat Allah. Oleh karena itu, kita wajib mendengarkannya dengan baik agar kita tahu persis, apakah yang dikatakan itu benar adanya, atau ada pendustaan dari apa yang dikatakannya.
Surat Al Qiyaamah ayat 16. Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk ( membaca )  Al Qur'an karena hendak cepat --  cepat (menguasai) --nya. Ayat 17. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkan nya ( didadamu ) dan (membuatmu pandai ) membacanya. Ayat 18. Apabila Kami telah selesai membaca-kannya maka ikutilah bacaannya itu. Â
Makna surat Al Qiyaamah ayat 18, dari penggalan kalimat maka....... ikutilah bacaannya itu. Memerintahkan kepada penganutnya agar setelah membaca Al Qur'an, kita tindak lanjuti dengan pelaksanaan atau pengamalan sesuai dengan apa yang dibacanya itu. Jadi hendaklah tidak diartikan hanya sekedar menirukan, orang membaca Al Qur'an dalam bahasa Arab.
Dari rangkaian ayat 16, 17 dan 18 surat Al Qiyaamah menyiratkan, untuk mengaji makna yang terkandung dalam perintah dan petunjuk Allah, sebaiknya dilakukan dalam keadaan tenang, dirasakan melalui roso pangroso, sabar, dan ikhlas. Dan sudah barang tentu menggunakan bahasa yang kita sendiri, atau bahasa yang kita mengerti, atau bahasa yang kita pahami. Pembacaan dan pengajian Al Qur'an wajib dilakukan berulang kali dari ayat pertama surat pertama, hingga ayat terakhir surat terakhir, agar memahami makna hakiki yang terkandung di dalamnya. Adalah tidak bijak bila baru ketemu satu ayat langsung disampaikan kepada umat sebelum di cek dan cek kembali (check and recheck) dengan ayat -- ayat lain yang ada dalam Al Qur'an secara keseluruhan, karena dapat menjerumuskan umat.
Kalau orang Arab yang memang sehari -- harinya berbahasa Arab, silahkan mengaji Al Qur'an menggunakan bahasa Arab. Kalau orang Indonesia yang sehari -- harinya berbahasa  Indonesia, silahkan mengaji Al Qur'an menggunakan bahasa Indonesia. Kalau suku Jawa yang sehari -- harinya berbahasa Jawa, mau mengaji Al Qur'an menggunakan bahasa Jawa, sumonggo. Kalau orang Jepang yang sehari -- harinya berbahasa Jepang, silahkan kalau mau mengaji Al Qur'an menggunakan bahasa Jepang, dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.Â
Intinya kita mengaji menggunakan bahasa yang kita mengerti, atau kita pahami, atau bahasa kita sendiri. Bila hal seperti ini yang kita kerjakan, berarti kita menjadi orang yang mengedepankan bisa merasa. Dan akan menjadi orang yang beruntung, karena dapat mengerti makna ayat Allah yang dibacanya. Dan insya-Allah kita dapat mengamalkan, atau dapat mewujud-nyatakan, atau dapat melaksanakan perintah dan petunjuk Allah tersebut dengan benar dan baik.
Sebaliknya bila seseorang mengedepankan merasa bisa, Al Qur'an dibaca dalam bahasa Arabnya, begitu ditanya apa arti yang dibaca? Jawabannya tidak ngerti, maka jadilah mereka orang yang tidak beruntung. Karena orang tadi bisa membaca dalam bahasa Arab, tetapi tidak mengerti maknanya, dan sudah barang tentu tidak akan dapat mengamalkan, atau melaksanakan, atau mewujud -- nyatakan perintah dan petunjuk Allah yang dibacanya itu.
Dan bisa saja terjadi, bila orang yang mengedepankan merasa bisa ini pergi ke Arab Saudi. Begitu mendengar orang membaca sejarah kerajaan Arab Saudi yang sudah barang tentu menggunakan bahasa Arab, lalu dikatakan orang membaca Al Qur'an. Karena orang tersebut beranggapan bahwa, Islam harus berbahasa Arab, sehingga bacaan dengan bahasa Arab lalu dianggapnya Al Qur'an. Tolong diingat, anggapan seperti ini tidak mengandung kebenaran, dan menjerumuskan umat.
Surat Yusuf ayat  2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.
Surat Az Zukhruf ayat 3. Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).Â
Untuk memahami makna yang terkandung didalamnya diperlukan waktu yang cukup, dan pembacaan berulang kali tanpa batas, serta dirasakan melalui roso pangroso dari ayat pertama surat pertama, sampai dengan ayat terakhir surat terakhir yang ada dalam Al Qur'an atau kitab sucinya. Mengingat firman Allah yang terdapat dalam satu ayat dari surat tertentu, dapat ditemukan firman senada di ayat lain dalam surat yang sama, atau dalam surat lain, yang menjelaskan. Jadi tidak cukup hanya dibaca sekali dalam satu tahun, tiap bulan Ramadan.
Demikian seterusnya, sehingga kita dapat mengkristalisasikan makna hakiki  dari ayat Allah yang kita kaji. Dan yang pada giliran selanjutnya, kita dapat melaksanakan atau mewujud - nyatakan ayat Allah tersebut, dengan benar dan tepat. Namun perlu diingat perintah, dan petunjuk Allah itu umumnya disampaikan dalam bentuk perumpamaan.
Setelah dapat memahami atau mengerti makna  hakiki yang terkandung didalamnya, lalu ditempatkan dalam hati ( surat Asy Syu'araa' 194 ). Untuk selanjutnya diamalkan atau diwujud - nyatakan kedalam, tingkah laku, perbuatan dan tutur kata kita, sehari - hari. Artinya setiap langkah kita, selalu disinari Nur Illahi, amiin.
Dengan demikian kita selalu mengingat Allah tanpa terputus dalam keadaan apapun, dan dimanapun kita berada. Atau dengan kata lain kita selalu menciptakan suasana keprihatinan secara terus menerus tanpa terputus, yaitu memprihatinkan jangan sampai amanat suci yang telah dipercayakan Allah kepada kita, tercemar kesuciannya karena bujuk rayu iblis, setan dan sebangsanya melalui hawa nafsu yang terdapat dalam diri kita sendiri. Dengan selalu mengingat Allah ( mendirikan shalat ), akan dapat menghindarkan diri kita dari perbuatan buruk dan tercela, yang muara akhirnya amanat suci yang diamanatkan kepada kita, tetap terjaga kesuciannya.
Surat Al 'Ankabuut ayat 45. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab  ( Al Qur'an ) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari ( perbuatan -- perbuatan ) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah ( shalat ) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat -- ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat tadi apabila ditelusuri lebih dalam, mengingat Allah ( mendirikan shalat ) sesungguhnya bersifat preventip atau pencegahan. Begini ilustrasinya. Suatu saat kita akan marah kepada seseorang, kemudian kita ingat bahwa Allah bersama orang yang sabar. Akhirnya kita mengedepankan sifat sabar, lalu tidak jadi marah. Suatu saat kita akan memukul kambing, kemudian kita ingat bahwa Allah  Maha Penyayang. Akhirnya kita mengedepankan sifat penyayang, lalu tidak jadi memukul kambing. Suatu saat kita bertemu seseorang datang meminta -- minta spontan akan dimaki, tetapi kemudian kita ingat bahwa Allah Maha Pengasih. Akhirnya kita mengedepankan sifat pengasih, lalu memberi sesuatu yang bermanfaat kepadanya, dan tidak jadi memaki.Â
Benar dan tepat bukan bahwa mendirikan shalat itu bersifat preventip? Artinya dengan mengingat Allah,  dapat mencegah kita untuk tidak jadi marah. Dengan mengingat Allah, dapat  mencegah kita untuk tidak jadi memukul. Dengan mengingat Allah, dapat mencegah kita untuk tidak jadi memaki orang lain, dan seterusnya dan seterusnya, dan seterusnya. Dengan demikian, kita tidak jadi melakukan perbuatan buruk atau perbuatan tercela lainnya kepada orang atau pihak lain. Sekaligus kita bersyukur karena dapat mengendalikan hawa nafsu, dengan muara akhirnya kita dapat mengkondisikan hati kita menjadi sejuk dan tenteram. Karena amanat suci yang dipercayakan kepada kita, tidak tercemar kesuciannya oleh hawa nafsu dalam diri kita yang berkiprah atas kendali iblis, setan, dan sebangsanya.
Surat Ar Ra'd ayat 28. ( yaitu ) orang -- orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
Mendirikan shalat, bukan bersifat kuratip atau pengobatan. Ilustrasinya. Setelah kita marah, setelah kita memukul, dan setelah kita memaki orang lain, kemudian cepat--cepat berwudhu lalu shalat. Dan setelah shalat seketika itu juga, hilang amarah, dan rasa dongkol kita karena memukul dan memaki orang lain. Benarkah?
Kalau kita mau jujur, dan mau mengakui kepada diri sendiri, selama shalatpun yang teringat paling banter ya amarah, dan rasa dongkol itu tadi. Jangankan sehabis shalat secara otomatis hilang, sampai besoknya sekalipun aneka rasa tadi masih tetap melekat pada diri si pemarah atau si pemukul atau si pemaki itu. Dan bahkan tak jarang, sampai tidak bertegur sapa hingga beberapa saat lo. Itu kalau, kita mau jujur mengakuinya.Â
Kalau memang demikian adanya, sebaiknya ya diakui saja karena mengakui kesalahan diri sendiri hakekatnya untuk perbaikan diri kita sendiri. Kemudian berani mengambil sikap, jalan mana yang harus kita ambil, preventip atau kuratip! Mumpung masih ada waktu, untuk memperbaiki arah jalan yang akan kita dituju.
Hal lain yang masih sering kita dengar, dan perlu dikaji ulang pernyataan penganut agama selain Islam dikatakan kafir? Ada teman mengatakan kepada penulis, kok mau -- maunya keluarga penulis ketempatan, dan memelihara orang kafir. Pasalnya dikeluarga penulis ikut anak Bali (suku Bali maksudnya) yang sudah barang tentu menganut agama Hindu. Mendengar perkataan demikian, penulis merasa prihatin atas pemahaman seperti itu. Karena pernyataan itu menunjukkan bahwa yang mengatakan, belum mengkaji Al Qur'annya dengan benar dan tepat.
Surat Al Baqarah ayat 62. Sesungguhnya orang -- orang yang beriman, orang -- orang Yahudi, orang -- orang Nasrani dan orang -- orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang benar -- benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Penulis ulangi penggalan kalimatnya, .......... mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, ................ Bukankah ini menyiratkan, Allah akan memberikan imbalan atau hadiah atau ganjaran  atau pahala, atau gift, atau apapun istilahnya terserah, kepada siapapun orangnya, dan apa pun agama yang diyakininya? Tanpa ada pembedaan antar satu agama dengan agama yang lain, atau tanpa menyebut satu agama tertentu. Tetapi dinyatakan kepada mereka yang benar -- benar meyakini adanya Allah dan hari kemudian, serta mengerjakan perbuatan baik (amal saleh).Â
Mengapa hanya masalah sebutan yang sifatnya hanya lahiriyah atau tingkatan sareat yang selalu dipermasalahkan, dan diributkan, sampai -- sampai mengatakan orang yang berbeda cara penyebutan saja, dikatakan kafir. Padahal sebutan ditingkatan lahiriyah atau ditingkatan sareat yang berbeda tadi, bila dikaji ditingkatan hakekat akan sama maknanya yaitu sama -- sama sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa.
Bukankah kita sudah akrab dengan lakum dinukum waliadin, yang arti harfiahnya kamu agamamu, aku agamaku. Ya sudah dilaksanakan itu, jangan hanya berhenti diucapkan saja. Tidak usah penganut agama yang satu, menilai penganut agama yang lain, karena semua yang kita perbuat di dunia ini akan kita pertanggung jawabkan sendiri kelak dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, apapun agamanya.
Sekitar 15 tahun yang silam penulis dimintai pertolongan oleh seseorang yang belum penulis kenal, beliau beragama Hindu. Dengan nada sendu, dan air mata bercucuran si ibu menceritakan kalau anak perempuannya sudah divonis dokter, dengan mengatakan kalau kondisi si anak normal masih dapat bertahan 1,5 sampai dengan 2 tahun lagi. Singkat ceritanya dengan cara penulis yang orang Jawa, dan beragama Islam mencoba membantunya dengan memberikan air putih yang telah penulis do'a kan, dan kapsul JSN ( Jamu Sambung Nyowo ), dan atas izin Allah si anak sampai sekarang masih sehat, bekerja di Rumah Sakit, dan menganggap penulis sekeluarga seperti orang tuanya sendiri. Dan yang perlu dicatat, anak tersebut sampai sekarang tetap orang Bali dan beragama Hindu, bukannya spontan jadi orang Jawa, dan beragama Islam karena penulis penganut Islam.
Surat Yunus ayat 9. Sesungguhnya orang -- orang yang beriman dan mengerjakan amal -- amal saleh, mereka diberi petunjuk oleh Tuhan mereka karena keimanannya, dibawah mereka mengalir sungai -- sungai didalam surga yang penuh kenikmatan.
Disini dijelaskan wujud imbalan atau ganjaran ( pahala ), yang diperuntukkan bagi orang yang beriman ( apapun agama yang yakininya dan tidak menyebut satu agama tertentu ) dan mengerjakan perbuatan baik atau amal saleh. Walau tidak diminta sekalipun, Allah akan memberikan petunjuk kepada mereka sesuai dengan keimanannya.
Hendaklah  dikaji dengan benar dan tepat kitab suci yang kita imani, sehingga kita dapat mengkristalisasikan makna hakiki yang terkandung didalamnya. Agar kita dapat melaksanakan sesuai dengan sifat dan kehendak-Nya. Mudah -- mudahan kita termasuk orang - orang yang diberi petunjuk, sesuai dengan keimanan kita.
Surat Maryam ayat 76. Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk. Dan amal -- amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya disisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya.
Dari ayat tersebut sudah jelas, bahwa Allah tidak membeda - bedakan umat manusia dari sisi agama yang dianutnya. Apapun agama yang dianutnya, Allah akan selalu memberi petunjuk dan pahala sesuai dengan keimanannya. Dan bahkan dijelaskan, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk.
Surat Al Maa-idah ayat 106. Hai orang -- orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah ( wasiat itu ) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang ( untuk bersumpah ), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu -- ragu : ( Demi Allah ) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harta yang sedikit ( untuk kepentingan seseorang ) walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami  menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang -- orang yang berdosa.  Â
Penulis ulangi penggalan kalimatnya, ..... atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu..... Begitu firman Allah, setiap agama dimata Allah adalah sama derajadnya atau sama mulianya. Tidak mungkin Allah memerintahkan orang kafir, menjadi saksi penganut Islam yang mau berwasiat, atau sebaliknya. Tinggal manusia penganutnya saja. Dapat melaksanakan perintah dan petunjuk Allah dengan benar, dan tepat sesuai keimanannya atau tidak. Jadi tidak sampai dipengakuan belaka.
Kebiasaan yang selama ini menganggap bahwa penganut agama selain Islam adalah kafir, sebaiknya dihilangkan kalau tidak ingin mendapat celaka. Karena, kalau kita selalu mengatakan demikian, sama saja sudah merasa bahwa dirinya lebih kuasa dari Yang Maha Kuasa. Allah saja memfirmankan, penganut agama lain untuk menjadi saksi penganut Islam atau sebaliknya. Kok bisa - bisanya kita penganut Islam, mengkafirkan penganut agama lain.
Surat Al Hajj ayat 40. ( yaitu ) orang -- orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata : Tuhan kami hanyalah Allah. Dan sekiranya Allah tiada menolak ( keganasan ) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara -- biara nasrani, gereja -- gereja, rumah -- rumah ibadat orang yahudi dan masjid -- masjid, yang didalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong ( agama )-Nya. Sesungguh nya Allah benar -- benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Mari dirasakan melalui rasa yang merasakan ( Jawa = roso pangroso ), apakah pada tempatnya bila kita mengatakan penganut agama selain Islam adalah kafir? Orang Islam menyebut Tuhan dengan Alloh, silahkan. Orang lain misalnya Hindu menyebut Tuhan dengan Sang Hyang Widi Wase, silahkan. Penganut Kristiani menyebut Tuhan dengan sebutan Allah atau Tuhan Yesus, silahkan saja. Karena hakekatnya sama, yaitu sama- sama sebutan bagi Tuhan Yang Maha Esa. Toh kita sering mendengar ungkapan,"lakum dinukum waliadin". Kamu menyebut sesuai agamamu dan aku menyebut sesuai dengan agamaku, mengapa harus dipermasalahkan.
Bukankah hal ini, dapat diilustrasikan secara sederhana dan nyata. Orang Jawa menyebut saudara laki -- laki tuanya, kang atau kakang, mas atau kangmas. Orang Sunda dengan sebutan akang. Orang Jakarta dengan sebutan abang. Orang Padang dengan sebutan uda, silahkan saja. Andaikan suatu saat orang Jawa ke Padang, disana mendengar orang memanggil saudara tua laki -- lakinya dengan sebutan uda. Apa terus dengan serta merta si Jawa lalu mengatakan, mas itu salah yang benar mas bukan uda. Kalau hanya perbedaan cara penyebutan yang dipermasalahkan, bisa berantem terus. Meski sebutan berbeda, toh maknanya sama yaitu sama -- sama bermakna saudara tua laki -- laki. Apa kebiasaan seperti itu mau diteruskan tanpa dievaluasi, kemudian melakukan tindak perbaikan?
Dengan kejujuran, menurunkan gengsi dan mengedepankan bisa merasa. Hendaknya kita akui kekhilapan kita selama ini, dan mulai detik ini kita tinggalkan kebiasaan yang selalu menilai, mencela, dan mengolok -- olok orang lain. Karena boleh jadi, mereka yang diolok -- olok lebih baik dari pada mereka yang mengolok -- olok.
Surat Al Hujuraat ayat 11. Hai orang -- orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok -- olokkan kaum yang lain ( karena ) boleh jadi mereka ( yang diolok -- olokkan ) lebih baik dari mereka ( yang mengolok -- olokkan ) dan jangan pula wanita - wanita ( mengolok -- olokkan ) wanita -- wanita lain ( karena ) boleh jadi wanita -- wanita ( yang diperolok -- olokkan ) lebih baik dari wanita  ( yang mengolok -- olokkan ) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil -- memanggil dengan gelar -- gelar yang  buruk. Seburuk -- buruk panggilan ialah ( panggilan ) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang -- orang yang zalim.Â
Mudah -- mudahan penjelasan ini, dapat kita pergunakan sebagai pangkal tolak, dalam memahami perintah dan petunjuk Allah dengan benar dan tepat. Karena dari rangkaian ayat -- ayat yang telah dituliskan tersebut, tidak ada satu katapun yang dapat diacu untuk mengatakan bahwa penganut agama selain Islam adalah kafir. Mari kita tolong diri kita sendiri dari azab Allah, karena hanya diri kita sendirilah yang dapat menolongnya. Dan bukan orang lain, apapun predikat, status, derajat dan pangkat orang tersebut.
Hendaklah kita sadar bahwa dengan mengetahui, dan mengakui kekhilapan atau kesalahan kita selama ini, dan segera melakukan langkah tindak perbaikan saat ini juga, jauh lebih baik. Dari pada baru mengetahui, dan mau mengakuinya saat ajal menjelang atau dipengadilan akhir nanti. Sudah tidak ada gunanya lagi. Karena saat itu kita tinggal memetik, dan menikmati hasil  perbuatan yang kita tanam selama melakoni hidup dan kehidupan diatas dunia ini.Â
Kita laksanakan perintah dan petunjuk Allah, sesuai dengan agama yang kita anut. Dan tidak perlu menilai atau menyoroti agama orang lain, toh kita telah akrab dengan ungkapan "lakum dinukum waliadhin" untukmulah agamamu dan untukkulah  agamaku  ( Surat Al Kaafiruun ayat 6 ).
Dari uraian ayat - ayat tersebut, mari kita kaji kembali kitab suci yang kita imani dengan benar, sesuai agama yang kita anut. Agar dapat melaksanakan semua perintah dan petunjuk-Nya, dengan benar dan tepat. Sehingga akhirnya kita menjadi orang yang ikhlas, menyerahkan diri kepada Allah. Karena tidak ada disebutkan satu agama lebih baik dari agama yang lain.
Surat An Nissaa ayat 125. Dan siapakah  yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya.
Bahwasanya penganut satu agama mengatakan, agama yang dianutnyalah yang paling benar, itu adalah suatu hal yang wajib. Sama halnya dengan kita sebagai penganut Islam, tentu akan mengatakan bahwa agama Islam adalah agama yang paling benar. Kalau sampai ada teman yang beragama lain, Hindu misalnya. Mengatakan bahwa agama Islam yang paling benar, mestinya ya tidak usah memeluk Hindu. Tetapi memeluk agama yang paling benar, begitu bukan?Â
Dan yang lebih penting kita pahami, apapun agama yang kita anut tidak cukup sampai dipengakuan saja. Karena kalau hanya suka dan bangga, penganut Islam membaca kitab suci dalam bahasa Arabnya saja, dari pada mengaji kitab sucinya agar dapat memahami makna hakiki yang terkandung didalamnya; Serta membangga -- banggakan atributnya, dan asesorisnya saja, membangga -- banggakan cara berpakaian saja. Dapat diibaratkan orang berjalan, orang tadi tidak mengetahui arah perjalanan yang benar dan tepat, menuju sasaran akhir. Â
Memang benar Ka'bah sebagai kiblat penganut Islam terdapat di tanah Arab, tetapi hendaklah tidak disalah artikan lalu kita berkiblat kepada orang, budaya, dan adat istiadat Arab. Karena kitapun mempunyai adat istiadat, dan budaya sendiri. Dan yang sudah barang tentu, hanya kitalah yang wajib mensyukuri, melestarikan, dan mengembangkan budaya dan adat istiadat kita sendiri, bukan orang atau bangsa lain. Bukan sebaliknya malah membangga - banggakan adat dan budaya bangsa lain, di negeri yang sama - sama kita cintai ini.
Sebagai penganut Islam, nabi Muhammad SAW. adalah panutan kita dan sudah wajib kalau kita mencontohnya. Tetapi jangan salah mengartikan, dalam memaknainya. Maksud mencontoh disini, adalah mencontoh tingkah laku, perbuatan dan tutur kata Beliau dalam kesehariannya yang mencerminkan pengamalan perintah dan petunjuk Allah. Bukannya mencontoh Beliau dalam hal adat istiadat, budaya, dan fisik Beliau sebagai orang Arab.
Hendaklah kita berani introspeksi terhadap diri sendiri, dan menyadari akibatnya bila kebiasaan selama ini diteruskan tanpa mau hijrah merubah haluan, agar sasaran perjalanan kita dapat tercapai dengan benar dan tepat. Niscaya kita akan terjerumus lebih dalam ke lembah kenistaan, dan lembah kesesatan. Â Â Â Â Â
Mari kita buka lembaran baru. Dengan saling menghormati, dan saling menghargai sesama manusia tanpa melihat perbedaan suku bangsa, warna kulit, bahasa, dan agama atau keyakinan yang dianut, karena sesungguhnya manusia itu adalah umat yang satu.Â
Surat Al Baqarah ayat 213. Manusia itu adalah umat yang satu. ( Setelah timbul perselisihan ), maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan -- keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang -- orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.Â
Penulis ulangi penggalan kalimatnya, Manusia itu adalah umat yang satu...... Dari ayat ini, sudah dapat menjadi pedoman bagi kita. Bahwa kita sesama manusia, sama adanya. Jadi tidak seharusnya, mengolok -- olok orang lain. Tidak seharusnya, Â menjelek -- jelekkan orang lain. Tidak seharusnya, mencaci -- maki orang lain. Tidak seharusnya, mencela orang lain. Tidak seharusnya, mengkafirkan orang lain. Tidak seharusnya, menilai orang lain. Tidak seharusnya, Â menyalahkan orang lain, dan lain - lain.
Karena hakekatnya, perbuatan yang maunya atau yang menurut perkiraan kita tertuju kepada orang lain itu, sesungguhnya tertuju untuk diri kita sendiri. Surat Al Israa' ayat 7. Jika kamu berbuat baik ( berarti ) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka ( kejahatan ) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi ( kejahatan ) yang kedua, ( Kami datangkan orang -- orang lain) untuk menyuramkan muka--muka kamu  dan mereka masuk kedalam masjid, sebagai mana musuh -- musuhmu  memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis -- habisnya apa saja  yang mereka kuasai.  Â
Adapun keadaan manusia berbeda warna kulit, dan bahasanya jangan menyalahkan manusianya. Karena Allah memang menghendaki, manusia berbeda warna kulit dan bahasanya. Mengapa Allah menghendaki seperti itu? Karena Allah ingin menunjukkan ke Maha Kuasaan-Nya, kepada semesta alam ini.
Surat Ar Ruum ayat 22. Dan diantara tanda -- tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain -- lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar -- benar terdapat tanda --tanda bagi orang -- orang yang mengetahui.
Jadi hanya orang -- orang yang tidak mengetahui saja, yang bangga dengan mengolok -- olok orang lain. Menjelek -- jelekkan, orang lain. Mencaci -- maki, orang lain. Mencela, orang lain. Mengkafirkan, orang lain. Menilai, orang lain. Menyalahkan, orang lain.
Mulai saat ini, mari kita hentikan kebiasaan yang kurang atau tidak terpuji itu. Walau memang tidak mudah, untuk menghilangkan kebiasaan yang telah terbangun sejak lama. Namun kita tetap harus berupaya keras, untuk menghentikannya. Demi keselamatan dan kebahagiaan hidup kita didunia ini, maupun dikehidupan kelak kemudian.
Adapun kita merupakan orang yang merasa yakin, menganut agama Islam akan dapat menghentikan kebiasaan buruk dan dapat mensucikan diri, silahkan melaksanakan perintah dan petunjuk Allah sesuai Al Qur'an sebagai pedoman hidupnya. Demikian juga kelompok lain yang merasa yakin, akan dapat menghentikan kebiasaan buruk dan dapat mensucikan diri, bila menganut agama Hindu / Budha, silahkan melaksanakan perintah dan petunjuk Tuhan sesuai  dengan kitab suci yang menjadi pedoman hidupnya.
Demikian juga kelompok lain yang merasa yakin, akan dapat menghentikan kebiasaan buruk dan dapat mensucikan diri, bila menganut agama Kristen / Katholik / Protestan, silahkan melaksanakan perintah dan petunjuk Tuhan sesuai dengan kitab suci yang menjadi pedoman hidupnyanya. Demikian juga kelompok lain yang merasa yakin, akan dapat menghentikan kebiasaan buruk dan dapat mensucikan diri kalau menganut agama Kong Hu Cu atau Aliran Kepercayaan dan lain - lain, silahkan melaksanakan perintah dan petunjuk Tuhan sesuai dengan kitab suci yang menjadi pedoman hidupnya masing - masing.
Kita tidak usah mencampuri, dan mencela keyakinan teman -- teman yang berbeda agama dan atau aliran kepercayaan. Surat Al Baqarah ayat 139. Katakanlah; Apakah kamu memperdebatkan dengan kami tentang Allah, padahal Dia adalah Tuhan kami  dan Tuhan kamu; bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan hati.
Surat Ali Imran ayat 51. Sesungguhnya Allah, Tuhanku dan Tuhanmu, karena itu sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.
Surat Al Mukmin ayat 27. Dan Musa berkata : sesungguhnya aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab.
Mengapa dikatakan Tuhanku dan Tuhanmu? Ya karena memang sesungguhnya Tuhan itu satu, dan demikian juga agama, sesungguhnya juga satu. Surat Al Anbiyaa' ayat 92. Sesungguhnya ( agama tauhid ) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.
Lalu bagaimana. Kok bisa ada agama ini, agama itu. Kitab ini, kitab itu dan lain-lain? Begitu itulah, yang namanya manusia. Manusia itu kedunungan atau ketempatan hawa nafsu, sehingga agar kelompok yang satu kelihatan lebih bergengsi, dan atau lebih kuat pengaruhnya dimata kelompok yang lain, aturan yang ada disiasati demi kepentingan kelompoknya.
Surat Al Anbiyaa' 93. Dan mereka telah memotong -- motong urusan ( agama ) mereka diantara mereka. Kepada Kamilah masing -- masing golongan itu akan kembali.
Begitulah gambaran akhlak manusia, di zaman kenabian dahulu. Apakah akhlak yang demikian, merupakan akhlak yang mulia? Ee tak tahunya, terjadi juga di zaman sekarang. Aturan disiasati, dengan istilah kerennya diamandemen. Sedemikian rupa sehingga bukannya aturan diacu oleh orang yang akan melaksanakan, tetapi justru aturan yang ada dijungkir balikkan, disesuaikan dengan keinginan manusia yang akan melaksanakannya. Inilah nafsu yang dikedepankan. Kalau hal seperti ini yang diteruskan, artinya wadag berada di zaman milenial atau di zaman now, tetapi pola pikir masih pola pikir orang di Zaman jahiliah.
Inilah gambaran manusia yang mengedepankan merasa bisa, yang hakekatnya berjalan dibawah kendali hawa nafsu. Sehingga Allah, dan agama hanya dijadikan sebatas tameng belaka untuk mencapai ambisinya. Tanpa ada rasa malu terhadap diri sendiri, apalagi takut kepada Allah yang menciptakan.
Kalau zaman sekarang, bila ada perselisihan diantara kelompok manusia, Allah sudah tidak akan menurunkan wahyu lagi, untuk mengatasi perselisihan dimaksud. Karena wahyu terakhir, telah disampaikan kepada nabi terakhir yaitu nabi Muhammad SAW. Dan kita tinggal mengacunya saja, berbeda dengan di zaman kenabian dahulu. Kalau di zaman kenabian dahulu, setiap ada perselisihan antar kelompok manusia, langsung ada wahyu Allah melalui nabi untuk mengatasinya.
Surat Al Anbiyaa' ayat 93. Dan mereka telah memotong -- motong urusan ( agama) mereka diantara mereka,...... ................. Kemudian ada wahyu Allah, untuk menyelesaikan masalah tersebut. Surat Al Maa-idah ayat 48.Â
Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab -- kitab ( yang diturunkan sebelumnya ) dan batu ujian terhadap kitab -- kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap -- tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat ( saja ), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba -- lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Â
Dari surat tersebut hendaklah, kita dapat memahami. Di kala nabi Musa As. dahulu, aturan yang berlaku untuk mengatur umatnya tercakup dalam kitab Taurat. Yang sekaligus membenarkan aturan yang ada dalam kitab - kitab sebelumnya. Â
Kemudian sampai pada masa nabi Daud As. maka aturan yang berlaku untuk mengatur umatnya, tercakup dalam kitab Zabur. Yang sekaligus membenarkan, aturan yang ada dalam kitab - kitab sebelumnya. Kemudian sampai pada masa nabi Isa As. maka aturan yang berlaku untuk mengatur umatnya, tercakup dalam kitab Injil. Yang sekaligus membenarkan aturan, yang ada dalam kitab - kitab sebelumnya. Dan akhirnya sampailah pada masa nabi Muhammad SAW. maka aturan yang berlaku untuk mengatur umatnya tercakup dalam kitab Al Qur'an. Yang sekaligus membenarkan, aturan yang ada dalam kitab -- kitab sebelumnya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Surat Al Ahqaaf ayat 30. Mereka berkata: Hai kaum kami sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab -- kitab sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.Â
Tinggal sekarang, mari kita sesama makhluk ciptaan Allah yang wujudnya manusia. Bersama -- sama, seiring sejalan, saling bahu membahu, saling asah, saling asuh dan saling asih, serta saling menghidupi, dalam berlomba -- lomba berbuat kebajikan di dunia ini  menurut agama atau kepercayaan masing -- masing. Serta kitab suci yang diyakini kebenarannya akan dapat mensucikan diri kita, guna memperlancar kembali kita ke sisi Yang Maha Suci, tempat kita semua kembali pada saatnya nanti. Tentunya bila dilaksanakan secara benar dan tepat, demi terwujudnya kedamaian diatas dunia ini. Tanpa harus mengkafirkan satu kelompok, dengan kelompok yang lain. Â
Karena hakekatnya, kita semua ini sedang menjalani ujian dari Allah. Jadi kita tidak usah selalu bertengkar, berselisih, dan berantem dengan sesama peserta ujian. Yang akan dapat membuyarkan konsentrasi kita, sehingga berakibat tidak lulus ujian-Nya. Atau kalaupun lulus, tidak memperoleh nilai dengan pujian.
Begitulah hendaknya kita mengaji Al Qur'an itu, dibaca dan dikaji dari ayat pertama surat pertama sampai dengan ayat terakhir surat terakhir, sehingga kita dapat menemukan makna hakiki dari perintah dan petunjuk Allah yang tersirat atau yang tersembunyi atau makna batiniyah di dalamnya, yaitulah keunikan Al Qur'an.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H