Amboi, mulia sekali, bukan? Sekaligus juga tugas yang berat. Apakah saya bisa mengembannya? Entahlah..
Saya masih galau. Jadi guru? Bukankah gaji guru itu kecil? Bukankah profesi guru itu dipandang sebelah mata dan tidak dianggap?
Saya masih bingung. Hingga kemudian, ketika gerakan Indonesia Mengajar mengadakan roadshow ke kampus, saya mencoba hadir. Siapa tahu dapat pencerahan dan jalan terang disana.
Waktu itu, yang mengisi roadshow adalah pak Anies Baswedan. Dan anda tahu, beliau sungguh menginspirasi saya, menyadarkan saya bahwa menjadi guru adalah pengabdian. Pekerjaan mulia yang luar biasa.
Apalagi menjadi guru di daerah pedalaman.
Bertekadlah saya seketika: “Baik, kalau begitu saya akan menjadi guru saja. Pergi ke daerah terpencil dan terluar. Mengajar disana dan berbagi kepada anak-anak.”
Selanjutnya, saya mendaftar ke gerakan Indonesia Mengajar dan entah karena apa, gagal. Mungkin saya memang benar-benar tidak istimewa. Mungkin saya memang hanya sampah yang tidak berguna.
Saya tertegun.
Lalu, pada sebuah hari yang saya lupa tepatnya kapan, seorang teman datang ke kamar sambil tergopoh-gopoh. Di tangannya ada poster Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa.
Ia bilang, “Eh, Bro.. Ente ikut ini aja nih. Kayaknya keren!”
Saya perhatikan kertas itu dan mendapati bahwa Sekolah Guru Indonesia Dompet Dhuafa juga gerakan yang luar biasa. Mereka mencari sarjana-sarjana terbaik, dibekali selama 6 bulan penuh, lalu diterjunkan langsung ke daerah pedalaman.