Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru dan Orang Tua Itu Sebenarnya Boleh Memukul Anaknya Nggak Sih?

25 Mei 2016   10:21 Diperbarui: 25 Mei 2016   21:02 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya akan memulai tulisan ini dari secuil kisah Muhammad. Dan jika kehidupan Muhammad itu diumpakan sepotong roti yang nikmat karena kebagusan akhlak dan sikapnya, maka kisah ini hanya remah-remahnya saja. Cuma secuil dari betapa bejibunnya kisah teladan yang lain.

Lalu, semoga saya dan anda semua bisa terus belajar pada keteladanan beliau, terus menerus merasa diri tidak pintar, sehingga akan senantiasa membaca banyak hal.

Dan inilah secuil kisah Muhammad yang menginspirasi saya, hingga mampu menghasilkan tulisan sederhana ini..

Dari Anas, bahwasanya ada seorang Arab Badui buang air kecil di dalam masjid. Lalu orang-orang berdiri, hendak menghadang kesana dan mencegahnya, tapi kemudian Rasulullah Muhammad bersabda: “Biarkanlah ia (sampai selesai), jangan kalian hentikan!” Baru ketika si Arab Badui kelar menuntaskan hajat kecilnya, Rasulullah meminta air satu ember dan menyiram bekas kencing si lelaki tadi.”

Aduhai.. sabar sekali Muhammad, bukan? Ia pemimpin agama, punya kekuasaan, dan disegani. Seharusnya, mudah saja ia meminta satu dua orang agar menegur si Arab Badui untuk tidak buang air kecil disana.

Tapi Muhammad tidak demikian. Beliau malah bilang, “Biarkanlah ia (sampai selesai)!”

Sebagai orang yang tidak begitu banyak mengerti ilmu agama, maka ketika membaca hadist di atas, saya takjub! Hebat sekali akhlak dan sikap Muhammad ini.  

Benar-benar mengagumkan.

Saya membayangkan berada di posisi beliau. Seandainya saya sedang melakukan pembelajaran di masjid atau sekolah, lalu ada orang asing yang datang dan sekonyong-konyong buang air kecil di dekat kami, maka saya pasti akan langsung menegur.

Bahkan boleh jadi malah marah-marah! Membentak!

“Heh! Punya mata nggak sih? Ini sekolah (atau masjid), tempatnya orang beribadah dan menuntut ilmu! Jangan buang air kecil disini!”

Atau, kalaupun tidak sampai berang, setidaknya saya akan mencegah. Bilang baik-baik: “Kalau kencing disana ya, pak. Di kamar kecil.”

Berbeda sekali dengan Muhammad Rasul Allah. Ia paham bahwa buang air kecil itu harus tuntas, tidak nyaman kalau sedang asik-asiknya ngucur dihentikan di tengah jalan.

Maka ketika menyaksikan ada Arab Badui yang seenaknya kencing, Muhammad berkata, “Biarkanlah ia (sampai selesai)!”

Lalu, ketika sudah tuntas apa yang Muhammad lakukan? Bukannya marah, beliau malah meminta air satu ember dan menyiramnya sendirian.

Lihat, betapa luar biasanya kesabaran Muhammad Rasul Allah.

*****

Bagi saya, semua yang yang ada pada Muhammad Rasul Allah, baik itu perkataan, sikap, dan perbuatan, maka sejatinya itu adalah sistem pendidikan. Semuanya adalah sekolah untuk kita belajar.

Termasuk secuil kisah di atas.

Muhammad tidak marah kepada Arab Badui karena mengerti, bahwa orang itu belum paham. Tidak tahu bahwa buang air kecil di masjid itu dilarang.

Dan tidak ada hukuman untuk orang-orang yang tidak tahu. Tidak ada dosa bagi mereka yang belum mengerti.

Begitupun kita di sekolah (atau di rumah), jika anda adalah guru (atau orang tua), maka contohlah bagaimana sabarnya Muhammad pada secuil kisah di atas.

Bahkan kepada orang yang jelas-jelas melakukan kesalahan pun, kalau ia mengerjakan semuanya karena tidak mengerti, maka janganlah sekali-kali memarahinya.

Apalagi kalau sampai memukul. Itu jelas tidak baik.

Kisah di atas menjadi pelajaran berharga buat kita semua: baik untuk guru, orang tua, atau siapa saja.

Bahwa ketika melihat ada sesuatu yang tidak sesuai norma agama dan adat istiadat, jangan serta merta marah. Lihat dulu latar belakangnya. Pahami sejenak, kenapa sih tuh orang sampai melakukan demikian?

Ada siswa atau anak yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah, maka tanyakan: “Kenapa pekerjaan rumahmu tidak diselesaikan? Apakah ada masalah atau kesulitan?”

Ini lebih bagus daripada langsung menghukum peserta didik.

Karena barangkali, anak didik kita itu ada kegiatan lain yang benar-benar tidak bisa ditinggalkan sehingga pekerjaan rumah yang kita berikan tidak diselesaikan.

Barangkali ia mengalami musibah. Entah itu kemalingan, rumah kebanjiran, sehingga buku pekerjaan rumahnya hilang (atau basah).

Jika begini kan, tentu kita tidak layak menghukumnya, toh?

Atau jika anda adalah orang tua bersabarlah..

Ketika anak kita pulang ke rumah sambil menangis dan mengadu karena habis dijewer gurunya, maka periksa baik-baik, “Mengapa kamu sampai dijewer? Ceritakan ke ayah..”

Dengarkan cerita anak kita dengan teliti. Setelah itu silakan tabayyun (kros cek) ke guru yang bersangkutan.

Sebagai orang tua, ketika melihat anak kita menangis karena dimarahi, jangan seenaknya saja lapor sana-sini. Menuntut keadilan dan HAM. Pelajari dulu latar belakangnya, mengapa bisa demikian.

Jika begini, kan indah sekali..

...guru tidak gampang memukul siswa, sedangkan orang tua tidak mudah tersulut emosinya. Semuanya sama-sama menjaga sikap dan amarahnya.

Seperti Muhammad Rasul Allah tadi. Berlapang dadalah dan jangan mudah marah. Apalagi untuk orang-orang yang memang tidak paham dan belum mengerti. Jangan asal pukul. Jangan asal jewer.

...juga jangan mudah lapor polisi.

Lalu muncul pertanyaan: “Tapi kan ada juga ajarannya di Islam, bahwa kita boleh memukul anak jika tidak shalat setelah usia tujuh tahun, Bang?”

“Itu artinya, kita sebenarnya boleh dong memukul dengan tujuan mendidik..”

Oke, baik..

Pasti dalil yang digunakan adalah ini: “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat, serta pisahkanlah mereka di tempat tidurnya.”

Saya tidak menyangkal, sabda Muhammad di atas memang jelas sekali: kita boleh memukul anak jika pada usia 10 tahun masih belum shalat.

Tapi..

Jangan buru-buru memukul. Mari kita pelajari dulu hadist di atas ya. Sesuai apa yang saya pahami..

Pertama, ketika Muhammad Rasul Allah mengucapkan perkataan demikian, maka lawan bicaranya siapa? Siapa yang diberi nasihat demikian ketika itu?

Pasti para sahabat toh? Orang-orang sekelas Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, dan sebagainya.

Mereka adalah orang-orang yang iman dan takwanya terjamin. Orang-orang yang Islamnya tidak perlu dipertanyakan. Shalat mereka pasti genap, dilakukan di awal waktu, dan berjama’ah di masjid.

Artinya, ketika mereka menikah dan punya anak, maka mereka sudah bisa memberikan teladan yang benar. Mereka shalat lima waktu bersama-sama dan dilihat anak-anaknya. Mereka berpuasa dan bersedekah disaksikan juga oleh buah hatinya.

Mereka orang tua yang bisa dicontoh..

Kedua, lihat nasihat Muhammad Rasul Allah ini, “Perintahkanlah anak-anakmu shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila pada usia sepuluh tahun tidak mengerjakan shalat..”

Perhatikan dengan baik.

Sahabat sekelas Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan sebagainya itu, diperintah mengajarkan shalat kepada anak-anak mereka mulai dari usia tujuh tahun. Nanti, ketika pada usia sepuluh tahun belum juga bisa, maka barulah pukul.

Ada berapa rentang waktu dari tujuh tahun ke sepuluh tahun?

Benar! Tiga tahun...

Sekarang begini, jika ada anak-anak yang bahkan sejak ia masih balita sudah terus-menerus menyaksikan orang tua mereka shalat, lalu di usia tujuh tahun diajak ke masjid dan diajarkan tata cara beribadah yang benar, kira-kira mudah nggak?

Tentu saja gampang. Karena sejak ia masih sangat kecil sudah kerap sekali melihat orang tuanya melakukan hal demikian. Ia mendapatkan teladan yang baik dari ibu bapaknya.

Dari usia tujuh sampai sepuluh tahun, anak itu terus-menerus diajarkan tentang shalat. Bagaimana gerakan yang benar, seperti apa bacaan fasihnya, juga apa-apa saja sunnah-sunnahnya.

Anak-anak itu diajari oleh orang tua yang paham, juga telah mengerjakan dengan sangat baik. Orang tua mereka juga sudah benar memberikan teladan.

Maka hampir pasti, ketika anak-anak mereka berumur sepuluh tahun, setelah selama tiga tahun intens dididik untuk shalat, maka sejatinya tidak akan ada yang tidak shalat. Dan karena hal itulah, hampir tidak ada pemukulan yang dilakukan sahabat Rasul kepada anak-anak mereka.

Kesimpulannya apa?

Kita baru boleh melakukan pemukulan kepada anak jika dan hanya jika sudah memberikan teladan dan sudah menerapkan pendidikan yang benar selama bertahun-tahun.

Pemukulan yang dilakukan juga harus bersifat mendidik dan tidak merusak: tidak terlalu kencang dan bukan di area yang membahayakan.

Jadi, kalau guru (atau orang tua) tidak bisa memberikan teladan dan pendidikan yang benar, maka seharusnya janganlah sekali-kali memukul siswa.

Pukul diri sendiri dulu karena belum bisa menjadi contoh dan pendidik yang benar.

Jangan hanya karena satu hadist yang diberikan, lalu mudah sekali melakukan pembenaran.

Demikian.

Disclaimer: Tulisan ini akan diposting juga di BLOG PRIBADI penulis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun