Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pamor Buku di Kalangan Dosen

30 April 2022   06:00 Diperbarui: 30 April 2022   15:06 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya mendapatkan kiriman artikel lawas karya Prof. Deddy Mulyana dari kolega saya di Penerbit BRIN. Artikel bertajuk "Buku Vs Artikel Scopus" terbit di Kompas, 21 Maret 2019 lalu. Isi artikel itu menggugat kewajiban menulis artikel jurnal terindeks Scopus alih-alih menulis buku yang diberlakukan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi, Kemendikdud sebagai ukuran pemberian angka kredit optimal.

Buku seperti terpinggirkan dari ranah penulisan karya tulis ilmiah (KTI). Penulisan artikel ilmiah, apalagi terindeks Scopus seakan begitu bergengsi. Saya pun ingat sebuah kutipan, "All scientists are the same; until one of them writes a book."

Deddy Mulyana dikenal sebagai pakar komunikasi. Ia kini berstatus Guru Besar Fikom Unpad. Sekira tahun 1995, ia sudah menyandang gelar Ph.D. dari kampus di Australia. Kembali ke Indonesia, aktif sebagai dosen di Fikom, Unpad. Pada masa itulah saya berkenalan dengan beliau. Ia sebagai penulis dan saya sebagai editor karya beliau. 

Sebagai penulis dengan kepakaran yang diakui di bidang ilmu komunikasi, ia terlihat rendah hati. Meskipun saya adalah editor "kemarin sore" lulusan D-3, ia dengan senang hati menerima diskusi terkait pengeditan naskah yang saya lakukan. Saya kenal Prof. Deddy sebagai seseorang yang serius menulis buku. Karyanya yang berkaitan dengan komunikasi, terutama komunikasi antarbudaya merupakan karya yang berpengaruh dan banyak dikutip.

Jadi, wajar saja dalam artikel tersebut ia menggulirkan opini bahwa buku masih "dipandang sebelah mata" oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) dibandingkan publikasi dalam bentuk artikel Scopus. Banyak doktor yang produktif menulis buku, tetapi nihil menulis artikel Scopus, terhambat memperoleh gelar profesor. Ini sebuah bentuk ketidakadilan.

Saya kira ada efek dari artikel ini dengan keluarnya kebijakan "Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen 2019" (PO PAK 2019) pada Oktober 2019. Pamor buku mulai disejajarkan dengan artikel terindeks basis data internasional bereputasi (termasuk Scopus). Buku pun dinilai dengan angka tinggi 40. 

Buku yang berpotensi mendapatkan angka kredit 40 adalah dari jenis buku referensi. Adapun buku lainnya yang ditulis oleh seorang akademisi diganjar dengan angka kredit bervariasi:

  1. monografi 20;
  2. buku ajar/buku teks 20;
  3. bab dalam bunga rampai (book chapter) 10 (lokal) dan 15 (internasional);
  4. karya sastra (novel, antologi cerpen, antologi puisi) 10 (lokal), 15 (nasional), 20 (internasional); dan
  5. buku teks/pelajaran SD, SMP, dan SMA 5.

Jadi, nilai terendah untuk penulisan buku adalah kategori buku untuk pendidikan dasar dan menengah yang dianggap sebagai unsur penunjang.

Walaupun demikian, pamor buku tidak lantas naik karena banyak dosen masih memilih artikel ilmiah yang lebih ringkas. Alih-alih pamornya naik buku malah "digampangkan" dalam penulisan dan penerbitannya. Maraknya penerbit berbayar (vanity publishing) dengan modal nekat menunjukkan banyaknya oknum penerbit yang hanya mementingkan potensi "jualan angka kredit" ini tanpa memperhatikan mutu buku.

Kedigdayaan Buku

Mengapa buku kalah pamor dari artikel ilmiah? Kebijakan masa lalu, bahkan mungkin juga terbawa hingga masa kini dengan mendewa-dewakan artikel Scopus tampaknya berpengaruh. Buku tidak menarik bagi sebagian besar akademisi karena jelas lebih rumit dari sebuah artikel yang hanya 20 halaman. Buku harus lebih dari itu yang mengandung kedalaman serta keluasan dari hasil penelitian dan pemikiran seseorang atau sekelompok orang.  

Rhenald Kasali adalah contoh akademisi yang memanfaatkan buku untuk menggulirkan hasil riset dan pemikirannya menjadi sangat populer di masyarakat. Contoh lain adalah Yudi Latif yang banyak menulis buku tentang Pancasila dan pendidikan. Buku karya Yudi Latif tampak ditulis dan disusun secara serius.

Tentulah sebuah buku harus ditulis secara serius dan harus menjadi target para akademisi, paling tidak satu buku dalam karier akademisnya. Satu buku yang bermutu dan berpengaruh lebih baik daripada sepuluh buku ecek-ecek. Buku ecek-ecek memang menggejala akhir-akhir ini.

Jika dihubungkan dengan terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan maka penulisan buku harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik. 

Buku menunjukkan puncak kefasihan manusia dalam mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Buku menyambung mata rantai pengetahuan dari generasi ke generasi. Ia termasuk ke dalam jenis media massa yang memiliki ciri khas tidak berkala. Karena itu, buku memiliki kelenturan waktu sehingga mampu bertahan dari zaman ke zaman. 

Sebagai contoh buku karya Dale Carnegie seperti tidak kehabisan energi untuk selalui diperbarui. Buku itu muncul terus di rak-rak buku sehingga pemikiran Dale Carnegie tetap hidup sepanjang masa.

Deddy Mulyana mengutip beberapa opini tentang buku. Di antaranya dari Khaled ur Rehman Cheema, akademisi dari Wuhan University of Technology, Tiongkok. 

Khaled menyatakan, "Buku teks yang menciptakan nilai dan berkontribusi dalam pengetahuan lebih berharga daripada artikel jurnal."

Selanjutnya, mengutip Surya Darma Hamonangan (dimuat dalam "Jerumus Scopus", Kompas, 11 Maret 2019) berdasarkan Deklarasi Penilaian Riset yang diluncurkan di San Franscisco tahun 2012, setiap karya hasil penelitian perlu dinilai berdasarkan kualitas karya itu sendiri alih-alih berdasarkan tempat di mana karya itu diterbitkan.

Martin Davis, seorang profesor di Universitas Melbourne mengatakan bahwa menulis buku teks itu tidak mudah.

"Jauh lebih sulit menulis untuk khayalak biasa atau mahasiswa S-1. Tulisannya harus renyah, jelas, dan menarik. Kontras dengan itu, dalam menulis untuk sejawat, seseorang dapat mengabaikan perincian (mereka telah mengetahuinya), dan menulis dengan gaya akademis yang canggih. Ini jauh lebih mudah dan lebih alamiah bagi akademisi. Saya baru saja merampungkan sebuah buku tentang keterampilan belajar bagi mahasiswa pascasarjana internasional. Ini merupakan salah satu hal tersulit yang pernah saya lakukan dan hal itu memakan waktu bertahun-tahun," tulis Martin.

Ungkapan Davis ini mengingatkan saya kejadian beberapa waktu lalu. Seorang dosen yang baru lulus S-2 dari Inggris mengkritik materi pembelajaran dari mata kuliah yang saya ampu yakni Pengantar Ilmu Penerbitan. Ia mengkritik lewat status di FB bahwa semestinya bukan itu (materi pembelajaran) yang diajarkan ke mahasiswa. Menurutnya, saya mesti merujuk pada jurnal-jurnal ilmiah tentang ilmu penerbitan.

Saya memaklumi apa yang dia maksud bahwa semestinya saya mengajarkan filsafat ilmu penerbitan dan metode penelitian dalam ilmu penerbitan. Tapi, dia lupa bahwa saya sedang mengajar mahasiswa D-3 tingkat I yang notabene baru lulus SMA/SMK. Saya tidak mengajar mahasiswa S-1, apalagi S-2. Sarannya jelas keliru dan tidak membumi. Jika saya ikuti, saya bakal menjadi dosen "miring" yang mengajarkan pengetahuan tidak ramah cerna.

Jadi, menurut saya nama mata kuliahnya yang keliru. Semestinya "Pengantar Penerbitan" bukan "Pengantar Ilmu Penerbitan" dan saya merasa tidak pernah mengusulkan nama mata kuliah seperti itu. Karena itu, saya coba memodifikasi RPS dengan materi yang lebih masuk akal bagi lulusan SMA/SMK. 

Tantangan menulis buku teks untuk mahasiswa vokasi D-3 lebih sulit lagi. Praktik lebih ditekankan daripada teori. Karena itu, lebih penting menyampaikan kepada mereka pengalaman saya selama lebih dari 20 tahun menjadi penulis dan editor daripada teori-teori penerbitan yang tidak mereka pahami.

Saya mulai dengan mencicil materi untuk menulis buku teks bagi mahasiswa saya. Saya awali dengan menulis risalah materi (handout) untuk setiap pertemuan mata kuliah dan presentasi. Salah satu tantangan yang mengadang bahwa buku teks pendidikan vokasi harus diselaraskan dengan SKKNI agar kelak ketika mahasiswa disertifikasi dapat dinyatakan kompeten.

Pamor Buku dan Muruah Penulis Buku

Kembali soal buku, Deddy Mulyana menambahkan, "Sebuah buku yang mengupas sejarah dan perkembangan suatu bidang ilmu yang ditulis bertahun-tahun boleh jadi jauh lebih berbobot daripada sebuah artikel Scopus bersifat fragmentaris berdasarkan teori dan metode tertentu yang ditulis beberapa bulan, apalagi jika artikel tersebut kurang bermanfaat bagi masyarakat."

Memang banyak penelitian yang diartikelkan kemudian seperti tak ada gunanya atau bahkan tak membumi. Saya melihat beberapa penelitian yang sebenarnya sudah dapat diterka jawabannya. Ringkasnya, akademisi meneliti sesuatu yang tidak perlu diteliti. Itu mungkin buah dari menulis KTI hanya sekadar menggugurkan kewajiban dan syukur-syukur dapat angka kredit.

Novelty dan state of the art hanya mudah untuk diucapkan, tetapi gagap dimunculkan dalam KTI. Kita dapat melihat artikel ilmiah yang mengulas masalah tidak aktual atau jika pun aktual, tidak memberi manfaat kepada masyarakat. Berbeda dengan karya-karya yang memang disiapkan secara bersungguh-sungguh sehingga menghasilkan manfaat yang selalu dibicarakan.

Buku-buku lawas karya penulis Indonesia yang masih bertahan sampai sekarang merupakan bukti kualitas yang tidak tergerus oleh zaman. Sebut saja buku Pengantar Antropologi karya Koentjaraningat, Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo, Psikologi Komunikasi karya Jalaluddin Rakhmat, dan trilogi sejarah (Pengantar Ilmu Sejarah, Penjelasan Sejarah, dan Metodologi Sejarah) karya Kuntowijoyo.

Bersaingnya artikel ilmiah dan buku dalam publikasi dan diseminasi sedikit banyak berpengaruh terhadap terbitnya karya-karya buku bermutu. Buku-buku ilmiah atau ilmiah populer dari akademisi Indonesia semakin jarang yang menjadi monumental. Padahal, Indonesia memiliki begitu banyak pakar dan profesor di berbagai bidang. 

Akademisi lebih senang memburu angka kredit melalui artikel ilmiah karena menurut mereka lebih mudah dari segi penulisan, apalagi angka kreditnya tidak jauh berbeda. 

Selain itu, penjelasan soal penulisan dan penerbitan artikel ilmiah sangat detail, tetapi tidak demikian dengan buku. Karena itu, buku masih dianggap karya tulis yang sulit.

Ada keminiman penjelasan soal buku dan ketidaksinkronan antara Pedoman Publikasi Ilmiah Dikti 2019 dan PO PAK 2019. Pengutipan definisi buku dari UNESCO juga keliru—tebal buku yang semestinya 49 halaman, tertulis 60 halaman (sebelumnya 40 halaman). Bahkan, ukuran 15 cm x 23 cm untuk buku dianggap sebagai ukuran standar UNESCO. Contoh lain adalah tidak jelasnya perbedaan antara buku referensi dan monografi.

Lihat perbedaan tipis sekali antara buku referensi dan monografi di PO PAK 2019:

3.1. Buku referensi adalah suatu tulisan dalam bentuk buku (ber-ISBN) yang substansi pembahasannya pada satu bidang ilmu kompetensi penulis. Isi tulisan harus memenuhi syarat-syarat sebuah karya ilmiah yang utuh, yaitu adanya rumusan masalah yang mengandung nilai kebaruan (novelty/ies), metodologi pemecahan masalah, dukungan data atau teori mutakhir yang lengkap dan jelas, serta ada kesimpulan dan daftar pustaka yang menunjukkan rekam jejak kompetensi penulis. 

3.2. Monograf adalah suatu tulisan ilmiah dalam bentuk buku (ber-ISSN/ISBN)yang substansi pembahasannya hanya pada satu topik/hal dalam suatubidang ilmu kompetensi penulis. Isi tulisan harus memenuhi syarat-syaratsebuah karya ilmiah yang utuh, yaitu adanya rumusan masalah yangmengandung nilai kebaruan (novelty/ies), metodologi pemecahan masalah,dukungan data atau teori mutakhir yang lengkap dan jelas, serta adakesimpulan dan daftar pustaka yang menuniukkan rekam jejak kompetensipenulis.

Dengan "ketipisan perbedaan" ini wajar jika banyak akademisi yang bingung membedakan antara buku referensi dan monografi. Istilah 'buku referensi' juga tidak tepat karena berbeda dengan penjelasan di Pedoman Publikasi Ilmiah 2019.

Walaupun demikian, PO PAK 2019 telah banyak mengakomodasi buku sebagai KTI yang diperhitungkan. Namun, hal yang lebih penting lagi adalah memberi pembekalan dan pelatihan kepada para akademisi untuk menulis buku sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik.

Saat saya menulis artikel ini, telah diterbitkan Permendikbudristek Nomor 22 Tahun 2022 tentang Standar dan Kaidah Perbukuan. Dikti juga seyogianya merujuk pada Permendikbudristek ini yang mengatur penulisan dan penerbitan buku. Untuk itu, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Pedoman Publikasi Ilmiah 2019 dan PO PAK 2019.

Buku Ecek-Ecek dan Ledakan ISBN

Ini mungkin sebuah antitesis menulis buku itu sulit dan akademisi enggan menulis buku. Dalam beberapa tahun terakhir ini, keadaan sedikit demi sedikit berubah. Banyak akademisi yang tertarik menulis buku dengan asumsi buku mengandung prestise bagi diri dan kariernya. Apa kata dunia jika ia tidak menulis buku?

Promosi penerbit berbayar (vanity publisher) turut memeriahkan aktivitas penerbitan buku ini. Begitu pula pelatihan-pelatihan menulis buku, baik itu buku referensi, monografi, maupun buku ajar. Saya sendiri banyak sekali terlibat dari pelatihan ke pelatihan di berbagai kampus. Dari situ saya menarik kesimpulan pemahaman dosen akan penulisan dan penerbitan buku minim sekali.

Penerbit berbayar abal-abal menawarkan kemudahan dan kemurahan menerbitkan naskah buku tanpa pengeditan sama sekali atau diedit sekadarnya. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan karena mereka abai terhadap mutu buku. Asumsinya naskah buku yang ditulis dosen sudah dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.

Banyak skripsi, tesis, dan disertasi dibukukan begitu saja tanpa konversi. Begitu pula buku referensi dan buku ajar yang disusun secara serampangan. Buku-buku itu umumnya ber-ISBN agar memenuhi syarat pengajuan angka kredit.

Itu sebabnya secara meyakinkan buku-buku ber-ISBN itu tidak identik dengan buku bermutu untuk kasus Indonesia. Kemudian, terjadi gelombang pengajuan ISBN untuk buku-buku pendidikan tinggi. ISBN pun secara salah kaprah dianggap sebagai nomor bukti pengakuan internasional. Penulis buku tidak tahu bahwa ISBN digunakan untuk buku-buku yang  diperdagangkan secara luas atau disediakan secara gratis untuk khalayak pembaca yang luas. Nomor itu berfungsi dalam rantai pasok penerbitan buku untuk memudahkan penjualan, mengecek stok, dan mengidentifikasi buku secara khas.

Buku ecek-ecek alias buku tidak bermutu itu dapat ditandai dari kasus berikut:

  1. terindikasi plagiat;
  2. merupakan kumpulan kutipan dari banyak sumber di sana sini;
  3. tidak sistematis dan logis;
  4. materi usang, tidak aktual, dan tidak membumi;
  5. merupakan pengulangan dari buku-buku sebelumnya;
  6. mengutip karya diri sendiri secara berlebihan;
  7. mengandung tingkat kemiripan kutipan yang tinggi;
  8. keliru dalam penulisan bagian-bagian buku, seperti prakata, glosarium, daftar pustaka, dan indeks;
  9. tidak menarik dan disusun dengan bahasa yang sulit; dan
  10. mengandung data dan fakta yang meragukan.

***

Pamor buku di kalangan dosen sedikit menaik/meninggi, tetapi artikel ilmiah, apalagi terindeks Scopus masih menjadi primadona. Buku sudah dilirik, tetapi sering kali berupa "lirikan nakal" yang menempatkan buku sekadar memenuhi kecukupan angka kredit untuk naik pangkat. Jarang sekali buku dipandang sebagai media untuk mengukuhkan hasil riset dan pemikiran yang lebih utuh, mendalam, dan meluas sehingga dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Fenomena matinya kepakaran seperti yang ditengarai oleh Tom Nicholas di dalam bukunya saya kira juga disebabkan oleh dosen-dosen yang tidak menulis buku atau tidak bersungguh-sungguh menulis buku, terutama buku ajar yang mudah dicerna oleh mahasiswa. Dosen mengajar tanpa buku atau tanpa merujuk buku sudah menjadi pemandangan yang biasa. 

Bagitupun soal buku. Mereka yang menawarkan solusi menulis dan menerbitkan buku kini boleh entah siapa di rimba belantara publikasi. Entah siapa itu terkadang dipercayai. Sebagai contoh, saya pernah mendengar seorang akademisi mengatakan bahwa antara buku ajar dan bahan ajar itu berbeda. Buku ajar tidak dapat diperbarui, sedangkan bahan ajar dapat diperbarui.

Kali lain saya mendengar juga pendapat bahwa cara praktis membuat indeks adalah memindahkan istilah di glosarium menjadi indeks. Itu sudah cukup. 

Seperti kata Tom Nichols bahwa realitas matinya kepakaran bukan hanya disebabkan munculnya para penganut teori konspirasi, orang awam yang sok tahu, dan pesohor keblinger, melainkan juga datang dari kampus sendiri. 

(Bambang Trim, praktisi di industri perbukuan dengan pengalaman lebih dari 25 tahun. Ia kini mengajar di Prodi Penerbitan, Politeknik Media Kreatif [Polimedia]. Selain itu, ia menjadi direktur dan asesor kompetensi di LSP Penulis & Editor Profesional. Bambang Trim menamatkan studi pendidikan tinggi di D-3 Editing Unpad dan S-1 Sastra Indonesia Unpad. Kini ia menempuh pendidikan S-2 di Prodi Komunikasi Korporat, Universitas Paramadina. Bambang Trim juga menjadi konsultan/narasumber di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek dan Badan Bahasa)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun