Saya mendapatkan kiriman artikel lawas karya Prof. Deddy Mulyana dari kolega saya di Penerbit BRIN. Artikel bertajuk "Buku Vs Artikel Scopus" terbit di Kompas, 21 Maret 2019 lalu. Isi artikel itu menggugat kewajiban menulis artikel jurnal terindeks Scopus alih-alih menulis buku yang diberlakukan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi, Kemendikdud sebagai ukuran pemberian angka kredit optimal.
Buku seperti terpinggirkan dari ranah penulisan karya tulis ilmiah (KTI). Penulisan artikel ilmiah, apalagi terindeks Scopus seakan begitu bergengsi. Saya pun ingat sebuah kutipan, "All scientists are the same; until one of them writes a book."
Deddy Mulyana dikenal sebagai pakar komunikasi. Ia kini berstatus Guru Besar Fikom Unpad. Sekira tahun 1995, ia sudah menyandang gelar Ph.D. dari kampus di Australia. Kembali ke Indonesia, aktif sebagai dosen di Fikom, Unpad. Pada masa itulah saya berkenalan dengan beliau. Ia sebagai penulis dan saya sebagai editor karya beliau.Â
Sebagai penulis dengan kepakaran yang diakui di bidang ilmu komunikasi, ia terlihat rendah hati. Meskipun saya adalah editor "kemarin sore" lulusan D-3, ia dengan senang hati menerima diskusi terkait pengeditan naskah yang saya lakukan. Saya kenal Prof. Deddy sebagai seseorang yang serius menulis buku. Karyanya yang berkaitan dengan komunikasi, terutama komunikasi antarbudaya merupakan karya yang berpengaruh dan banyak dikutip.
Jadi, wajar saja dalam artikel tersebut ia menggulirkan opini bahwa buku masih "dipandang sebelah mata" oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) dibandingkan publikasi dalam bentuk artikel Scopus. Banyak doktor yang produktif menulis buku, tetapi nihil menulis artikel Scopus, terhambat memperoleh gelar profesor. Ini sebuah bentuk ketidakadilan.
Saya kira ada efek dari artikel ini dengan keluarnya kebijakan "Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik/Pangkat Dosen 2019" (PO PAK 2019) pada Oktober 2019. Pamor buku mulai disejajarkan dengan artikel terindeks basis data internasional bereputasi (termasuk Scopus). Buku pun dinilai dengan angka tinggi 40.Â
Buku yang berpotensi mendapatkan angka kredit 40 adalah dari jenis buku referensi. Adapun buku lainnya yang ditulis oleh seorang akademisi diganjar dengan angka kredit bervariasi:
- monografi 20;
- buku ajar/buku teks 20;
- bab dalam bunga rampai (book chapter) 10 (lokal) dan 15 (internasional);
- karya sastra (novel, antologi cerpen, antologi puisi) 10 (lokal), 15 (nasional), 20 (internasional); dan
- buku teks/pelajaran SD, SMP, dan SMA 5.
Jadi, nilai terendah untuk penulisan buku adalah kategori buku untuk pendidikan dasar dan menengah yang dianggap sebagai unsur penunjang.
Walaupun demikian, pamor buku tidak lantas naik karena banyak dosen masih memilih artikel ilmiah yang lebih ringkas. Alih-alih pamornya naik buku malah "digampangkan" dalam penulisan dan penerbitannya. Maraknya penerbit berbayar (vanity publishing) dengan modal nekat menunjukkan banyaknya oknum penerbit yang hanya mementingkan potensi "jualan angka kredit" ini tanpa memperhatikan mutu buku.
Kedigdayaan Buku
Mengapa buku kalah pamor dari artikel ilmiah? Kebijakan masa lalu, bahkan mungkin juga terbawa hingga masa kini dengan mendewa-dewakan artikel Scopus tampaknya berpengaruh. Buku tidak menarik bagi sebagian besar akademisi karena jelas lebih rumit dari sebuah artikel yang hanya 20 halaman. Buku harus lebih dari itu yang mengandung kedalaman serta keluasan dari hasil penelitian dan pemikiran seseorang atau sekelompok orang. Â