Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pamor Buku di Kalangan Dosen

30 April 2022   06:00 Diperbarui: 30 April 2022   15:06 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rhenald Kasali adalah contoh akademisi yang memanfaatkan buku untuk menggulirkan hasil riset dan pemikirannya menjadi sangat populer di masyarakat. Contoh lain adalah Yudi Latif yang banyak menulis buku tentang Pancasila dan pendidikan. Buku karya Yudi Latif tampak ditulis dan disusun secara serius.

Tentulah sebuah buku harus ditulis secara serius dan harus menjadi target para akademisi, paling tidak satu buku dalam karier akademisnya. Satu buku yang bermutu dan berpengaruh lebih baik daripada sepuluh buku ecek-ecek. Buku ecek-ecek memang menggejala akhir-akhir ini.

Jika dihubungkan dengan terbitnya UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan dan PP Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan maka penulisan buku harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh sesuai dengan standar, kaidah, dan kode etik. 

Buku menunjukkan puncak kefasihan manusia dalam mengamalkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Buku menyambung mata rantai pengetahuan dari generasi ke generasi. Ia termasuk ke dalam jenis media massa yang memiliki ciri khas tidak berkala. Karena itu, buku memiliki kelenturan waktu sehingga mampu bertahan dari zaman ke zaman. 

Sebagai contoh buku karya Dale Carnegie seperti tidak kehabisan energi untuk selalui diperbarui. Buku itu muncul terus di rak-rak buku sehingga pemikiran Dale Carnegie tetap hidup sepanjang masa.

Deddy Mulyana mengutip beberapa opini tentang buku. Di antaranya dari Khaled ur Rehman Cheema, akademisi dari Wuhan University of Technology, Tiongkok. 

Khaled menyatakan, "Buku teks yang menciptakan nilai dan berkontribusi dalam pengetahuan lebih berharga daripada artikel jurnal."

Selanjutnya, mengutip Surya Darma Hamonangan (dimuat dalam "Jerumus Scopus", Kompas, 11 Maret 2019) berdasarkan Deklarasi Penilaian Riset yang diluncurkan di San Franscisco tahun 2012, setiap karya hasil penelitian perlu dinilai berdasarkan kualitas karya itu sendiri alih-alih berdasarkan tempat di mana karya itu diterbitkan.

Martin Davis, seorang profesor di Universitas Melbourne mengatakan bahwa menulis buku teks itu tidak mudah.

"Jauh lebih sulit menulis untuk khayalak biasa atau mahasiswa S-1. Tulisannya harus renyah, jelas, dan menarik. Kontras dengan itu, dalam menulis untuk sejawat, seseorang dapat mengabaikan perincian (mereka telah mengetahuinya), dan menulis dengan gaya akademis yang canggih. Ini jauh lebih mudah dan lebih alamiah bagi akademisi. Saya baru saja merampungkan sebuah buku tentang keterampilan belajar bagi mahasiswa pascasarjana internasional. Ini merupakan salah satu hal tersulit yang pernah saya lakukan dan hal itu memakan waktu bertahun-tahun," tulis Martin.

Ungkapan Davis ini mengingatkan saya kejadian beberapa waktu lalu. Seorang dosen yang baru lulus S-2 dari Inggris mengkritik materi pembelajaran dari mata kuliah yang saya ampu yakni Pengantar Ilmu Penerbitan. Ia mengkritik lewat status di FB bahwa semestinya bukan itu (materi pembelajaran) yang diajarkan ke mahasiswa. Menurutnya, saya mesti merujuk pada jurnal-jurnal ilmiah tentang ilmu penerbitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun