Saya memaklumi apa yang dia maksud bahwa semestinya saya mengajarkan filsafat ilmu penerbitan dan metode penelitian dalam ilmu penerbitan. Tapi, dia lupa bahwa saya sedang mengajar mahasiswa D-3 tingkat I yang notabene baru lulus SMA/SMK. Saya tidak mengajar mahasiswa S-1, apalagi S-2. Sarannya jelas keliru dan tidak membumi. Jika saya ikuti, saya bakal menjadi dosen "miring" yang mengajarkan pengetahuan tidak ramah cerna.
Jadi, menurut saya nama mata kuliahnya yang keliru. Semestinya "Pengantar Penerbitan" bukan "Pengantar Ilmu Penerbitan" dan saya merasa tidak pernah mengusulkan nama mata kuliah seperti itu. Karena itu, saya coba memodifikasi RPS dengan materi yang lebih masuk akal bagi lulusan SMA/SMK.Â
Tantangan menulis buku teks untuk mahasiswa vokasi D-3 lebih sulit lagi. Praktik lebih ditekankan daripada teori. Karena itu, lebih penting menyampaikan kepada mereka pengalaman saya selama lebih dari 20 tahun menjadi penulis dan editor daripada teori-teori penerbitan yang tidak mereka pahami.
Saya mulai dengan mencicil materi untuk menulis buku teks bagi mahasiswa saya. Saya awali dengan menulis risalah materi (handout) untuk setiap pertemuan mata kuliah dan presentasi. Salah satu tantangan yang mengadang bahwa buku teks pendidikan vokasi harus diselaraskan dengan SKKNI agar kelak ketika mahasiswa disertifikasi dapat dinyatakan kompeten.
Pamor Buku dan Muruah Penulis Buku
Kembali soal buku, Deddy Mulyana menambahkan, "Sebuah buku yang mengupas sejarah dan perkembangan suatu bidang ilmu yang ditulis bertahun-tahun boleh jadi jauh lebih berbobot daripada sebuah artikel Scopus bersifat fragmentaris berdasarkan teori dan metode tertentu yang ditulis beberapa bulan, apalagi jika artikel tersebut kurang bermanfaat bagi masyarakat."
Memang banyak penelitian yang diartikelkan kemudian seperti tak ada gunanya atau bahkan tak membumi. Saya melihat beberapa penelitian yang sebenarnya sudah dapat diterka jawabannya. Ringkasnya, akademisi meneliti sesuatu yang tidak perlu diteliti. Itu mungkin buah dari menulis KTI hanya sekadar menggugurkan kewajiban dan syukur-syukur dapat angka kredit.
Novelty dan state of the art hanya mudah untuk diucapkan, tetapi gagap dimunculkan dalam KTI. Kita dapat melihat artikel ilmiah yang mengulas masalah tidak aktual atau jika pun aktual, tidak memberi manfaat kepada masyarakat. Berbeda dengan karya-karya yang memang disiapkan secara bersungguh-sungguh sehingga menghasilkan manfaat yang selalu dibicarakan.
Buku-buku lawas karya penulis Indonesia yang masih bertahan sampai sekarang merupakan bukti kualitas yang tidak tergerus oleh zaman. Sebut saja buku Pengantar Antropologi karya Koentjaraningat, Dasar-Dasar Ilmu Politik karya Miriam Budiardjo, Psikologi Komunikasi karya Jalaluddin Rakhmat, dan trilogi sejarah (Pengantar Ilmu Sejarah, Penjelasan Sejarah, dan Metodologi Sejarah) karya Kuntowijoyo.
Bersaingnya artikel ilmiah dan buku dalam publikasi dan diseminasi sedikit banyak berpengaruh terhadap terbitnya karya-karya buku bermutu. Buku-buku ilmiah atau ilmiah populer dari akademisi Indonesia semakin jarang yang menjadi monumental. Padahal, Indonesia memiliki begitu banyak pakar dan profesor di berbagai bidang.Â
Akademisi lebih senang memburu angka kredit melalui artikel ilmiah karena menurut mereka lebih mudah dari segi penulisan, apalagi angka kreditnya tidak jauh berbeda.Â
Selain itu, penjelasan soal penulisan dan penerbitan artikel ilmiah sangat detail, tetapi tidak demikian dengan buku. Karena itu, buku masih dianggap karya tulis yang sulit.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!