KERIBUTAN itu baru saja berakhir tepat ketika matahari sudah terbenam. Malam yang terlalu gelap membuat mereka tidak tahu lagi siapa lawan dan siapa kawan. Buat mereka hal ini suatu yang sangat riskan untuk main hantam kromo begitu saja. Coba bayangkan saja: bagaimana kalau yang kena pukul justru ayahnya sendiri atau menantunya sendiri; lebih fatal lagi kalau misalnya yang kena pukul itu ternyata adalah polisi !
Tapi walaupun keributan itu sudah berlalu, suara gemeretak gigi yang beradu di geraham mereka itu masih terdengar di sana-sini. Dari sudut-sudut pasar itu, suara mereka jelas sekali terdengar.
Mirip seperti kejadian tahun yang lalu, ketika seorang bocah merengek minta dibelikan boneka kera. Oleh ibunya dikatakan minggu depan saja sehabis ayahnya dapat uang. Lantas tanpa sepengetahuan ibunya – karena ibunya sedang sibuk memilih-milih sayur mana yang hendak dibeli- bocah itu kedapatan mencuri boneka kera idamannya. Dan dipukullah ramai-ramai bocah yang masih kecil itu, oleh pertama pemiliknya, kedua oleh seisi pasar, dan yang ketiga adalah oleh ibunya sendiri !
Kejadian itu baru berakhir setelah mereka sudah tidak bisa mengenali lagi bocah itu, karena hari sudah gelap. Ibunya pulang sendiri. Dan anak itu masih tergeletak di tengah pasar. Sesampainya di rumah, ibunya baru sadar bahwa ada anaknya yang pergi belum kembali.
Petugas pasar mengatakan padaku bahwa selama pasar ini belum dikasih penerangan listrik, pasti keributan demi keributan tak dapat diselesaikan secara tuntas.
“ Justru nanti kalau dipasang penerangan listrik, keributan tidak bakal berhenti.
Barangkali baru berakhir kalau pasar yang besar ini kemudian roboh mengenai kepala mereka semua. Baru mereka puas . . . , “ kataku mencoba berdialog.
“ Kok , malah begitu ? “ tanya petugas kebersihan pasar itu , tak mengerti.
“ Ya. Silakan Bapak ingat-ingat lagi keributan yang sering terjadi di pasar akhir-akhir ini, “ sambil kuberi kesempatan dia untuk mengingat-ingatnya, dan kutunggu reaksinya.
“ Semuanya tak tuntas. Dan semuanya bubar gara-gara hari sudah gelap. Bukankah ini yang namanya tidak menyelesaikan masalah, tapi membiarkan masalah berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sekali lagi, ini gara-gara hari sudah gelap !
Aku tak suka dengan peraturan di sini yang membiarkan pasar menjadi gelap sepanjang malam dan sepanjang hari ketika mendung tebal. Pasar ini terlalu menggantungkan terangnya pada matahari dan bulan. Sekali lagi sesuai usulku tadi, ini gara-gara di pasar ini tak dipasang penerangan listrik “.
“ Memang semuanya tak tuntas ; tapi lebih tidak tuntas lagi apabila di sini dikasih penerangan listrik. Penerangan listrik hanya akan memuaskan nafsu mereka yang main hajar saja. Mereka tak mau berhenti sebelum mereka puas menghajar sana – sini. Dan menurutku, mereka tak bakal puas. Sampai kapan pun ! Mereka baru berhenti hajar sana hajar sini kalau hari sudah gelap, dan kalau tidak ada penerangan listrik ! Kegelapan menyebabkan mereka tidak berani mengambil resiko atas segala tindakan yang akan dilakukannya. “
“ Mengapa demikian ? “ petugas kebersihan pasar itu bertanya dengan nada benar-benar tidak saling mengerti alias bingung. Terbukti dengan nada suaranya yang menunjukkan keheranan yang amat sangat.
“ Siapa sih, Pak, yang berani memukul orang di hadapannya, kalau belum tahu benar siapa yang dipukulnya itu. Ya, kalau yang dipukul itu benar-benar orang lain. Kalau polisi bagaimana ? Kalau tetangganya sendiri bagaimana ? Dan, kalau ayahnya sendiri bagaimana ? “.
“ Tapi, selama ini mereka masih dalam batas-batas memukul dan dipukul saja,
kan ? Maksudku, apakah di antara mereka ada yang membawa golok ?“
“ Tak ada bedanya. Toh, korbannya mati juga ! “
“ Ya, tapi lain . . .,” petugas kebersihan pasar yang sudah lama kukenal itu tak melanjutkan kalimatnya. Kutepuk bahunya mohon pamit, dan kutinggalkan Pak Tua itu masih berdiri termangu, sapu yang ada pada genggamannya dibiarkan jatuh begitu saja tak terasa. Kudekati lagi sambil aku katakan padanya, besok aku hendak main-main ke rumahnya.
SEBENARNYA sudah sering saya mengunjungi rumahnya. Rumahnya sederhana, masuk gang sedikit tepat di samping gardu ronda. Di dalamnya selalu ada seorang istrinya yang dengan setia selalu menunggunya. Rumahnya baik dalam maupun luar nampak tertata rapi. Di ruang tamu, di samping ada meja dan kursi tamu terdapat juga sebuah kursi goyang yang menurut cerita Pak Tua (petugas kebersihan pasar) merupakan kenang-kenangan tuannya semasa penjajahan Belanda ketika ia dulu pernah menjadi kurirnya. Istrinya pernah menceritakan padaku bahwa pak tua (suaminya) selalu menghabiskan waktunya untuk melamun di kursi kenangannya itu, dan sebagian waktunya untuk menangis di kursi itu.
Ketika kutanya mengapa Pak Tua berbuat seperti itu. Istri Pak Tua selalu menjawab tidak tahu kenapa; ia tidak bisa menjawabnya atau kurang jelas menjawabnya di antara sedu tangisnya yang semakin lama semakin keras. Kalau sudah demikian, maka tidak ada cara lain kecuali menghiburnya agar segera dilupakannya saja peristiwa semacam itu.
Kucoba untuk duduk di kursi itu, tapi segera dilarangnya. Katanya, “ Duduk saja di
kursi tadi, Nak, . . . tunggulah sebentar lagi Bapak pasti datang.”
Sudah dua jam saya menunggu.
Tiga jam, empat jam, lima jam, tak terasa saya menunggu, Pak Tua belum juga datang.
Ku lihat istri Pak Tua, sudah mulai gelisah: pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak. Barangkali ia mengamati diriku demikian juga: pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak, pulang, tidak.
Hari sudah menjadi gelap. Matahari terbenam. Penerangan listrik dunia padam. Gelap dan senyap.
Aku menjadi ingat kata-kata Pak Tua tentang pasar yang butuh penerangan listrik agar keributan-keributan yang sering terjadi di pasar itu dapat segera diselesaikan dengan tuntas.
Sedang menurutku, justru dengan adanya terang, manusia makin buas menuruti
segala nafsu-nafsunya. Karena semua jadi nampak di depan mata, merangsang nafsu manusia untuk meraihnya dengan segala cara yang dimiliki dan selalu dikembangkan daya ampuhnya. Aku jadi yakin dunia akan menjadi damai kalau tidak ada cahaya yang membuat manusia jadi bisa melihat. Atau, kalau tidak ada nafsu yang tersimpan dalam tubuh manusia.
Aku membayangkan wajah yang sudah letih dan tua itu sudah digenangi oleh airmata.
Tak kudengar isak tangisnya, yang terlihat hanyalah goncangan-goncangan dada dan tangannya yang ditangkupkan untuk menutupi wajahnya. Namun lepas juga airmata itu merembes dan mengalir lewat jari-jari tangannya yang gemetar lalu berkumpul di kedua belah sikunya, kemudian satu-satu jatuh ke lantai.
Di luar gelap dan senyap. Kegelapan adalah kedalaman penuh misteri, melantunkan lagu gaib, menyebarkan aroma mistik. Sedangkan kesenyapan adalah nisan tua tanpa epitap; sebab ruang dan waktu seolah-olah kosong, tidak terlihat ada, tidak terukur pinggirnya tepi.
Kebisuan antara kami adalah bagian dari alam juga. Namun alam adalah bagian kecil
dari kebisuan yang maha dahsyat. Sedangkan kebisuan yang maha dahsyat itu adalah
kegelapan dan kesenyapan. Aku melihat kegelapan dan kesenyapan itu dalam bentuk
tragedi sebuah pasar, dimana Pak Tua selalu terlibat di dalamnya, sebagai saksi, sebagai pelaku, sebagai tertuduh, dan sebagai korban. Pasar bagi Pak Tua adalah masa depan, sementara isi di dalamnya adalah masa lalu. Penerangan listrik baginya adalah satu-satunya jembatan masa lalu ke masa depan yang akan menggantikan kegelapan dan kesenyapan, karena baginya masa kini sedang dalam kegelapan dan kesenyapan.
PASAR bagi Pak Tua adalah keributan abadi seperti masa lalunya ketika ia pernah hidup di masa penjajahan dulu, kemudian ia dapati tiba-tiba masa penjajahan telah berakhir; ia dapati sebuah kursi goyang yang sedang menggoyangkan usianya yang sudah uzur. Masa kini baginya adalah penjajahan dalam bentuk lain.
Kebisuan diantara kami adalah kebisuan Pak Tua dan istrinya yang selalu mengharap dan hilang harapan; yang selalu berdoa dan putus asa, karena bagi mereka, anak adalah
masa depan ! Dan, mereka tak mendapatkannya.
Tiba-tiba terdengar kegaduhan di luar, lamat-lamat kelihatan sorotan-sorotan lampu senter dari tangan-tangan mereka diarahkan ke rumah Pak Tua.
“ Itu rumah Pak Tua!”
“ Bukan, bukan yang itu, “ kata yang seorang lagi.
“ Rumah Pak Tua ada dekat gardu ronda.”
“ Itu kan gardu ronda! Kamu ini bagaimana ? Apa kamu sudah baca KTP-nya?”
“ Ndak bisa baca, kok sok tau.”
“ Heh! Kamu, Parmin. Dari tadi enak-enak saja bawa senter. Mana senter aku yang bawa. Gantian kamu yang nggotong.”
“ Lho, mana sih, rumahnya ? Ayo, yang tahu di depan!”
“ Lho! Kok malah mandeg. Mau kita antarkan ndak ?!”
“ Semua ndak pada tau, Pak.”
“ Kalau semua ndak pada tau, lantas tadi siapa yang punya usul bawa kesini, mana orangnya?”
“ Tadi, kalau ndak salah, Bapak sendiri yang usul.”
“ Ah, yang bener!”
“ Yang panggil kami semua kan Bapak; coba kalau Bapak ndak manggil kami waktu itu, pasti kami sudah bubar pulang semua.”
“ Oh, ya, ya, saya sampai lupa, ee, maksudku tadi yang mberitahu alamatnya Pak Tua itu siapa ?”
“ Orangnya ndak ikut kita, Pak.”
“ Ya sudah, sudah! Coba, So, kamu tanya ke rumah itu, cepat!”
Orang yang dipanggil So itu langsung bergegas lari menuju rumah yang ditunjukkannya. Tidak lama kemudian So berteriak: “ Betul ini, Pak, rumah yang kita cari!”
Kini kusaksikan di dalam rumah Pak Tua berkumpul semua orang yang menyaksikan dirinya sebagai sebuah pasar. Orang-orang itu adalah orang-orang yang sama juga, sejak aku mengenal pasar dengan petugas kebersihannya adalah Pak Tua. Mereka adalah sebagai saksi, sebagai pelaku, sebagai tertuduh, dan sekaligus sebagai korban.
Sekarang mereka mengantarkan korbannya sampai ke rumah dengan membawa sebagian kecil dari cita-cita Pak Tua, yaitu: penerangan listrik ( lampu senter ).
Tiba-tiba istri Pak Tua bangkit dengan mata sembab menggeram: “ Hayo! Katakan padaku, siapa yang membuat suami saya seperti itu. Katakan, Nak, katakan siapa!
Lihatlah, apa pantas kalian merusak kedamaian di wajahnya, merusak tubuhnya, dan mengkoyak-koyak akhir hidupnya; katakan, Nak, apa salahnya ?”
Semua membisu. Semua merasa seperti tertuduh. Tiba-tiba salah seorang diantara mereka datang mendekati Pak Tua yang sedang sekarat: “ Pak, sayalah So, Pak, yang bersalah, tapi . . . tapi . . . mestinya Bapak menggunakan cara lain, bukan dengan cara kekerasan seperti itu. Saya masih membutuhkan senter ini, Pak. Jangan Bapak rebut begitu saja ; apalagi Bapaklah yang memulai memukuli saya dengan gagang sapu itu.
Tapi . . . tapi . . . sayalah yang bersalah, Pak, saya tidak segera menjelaskan pada kawan-kawan pokok permasalahannya.”
So menangis sejadi-jadinya; ada keributan baru dalam batinnya yang hendak ia tumpahkan. Ia melihat kejadian sore itu kembali di pelupuk matanya; Pak Tua yang sedang lari terbirit-birit menyelinap di lorong-lorong bangku pasar mengharap malam segera tiba. Namun, ketika malam tiba, dengan senter yang dimilikinya itu, So berhasil menemukan diri Pak Tua sedang menghitung nasibnya dengan mulut komat-kamit, kedua tangan menengadah berdoa. Pak Tua menyadari bahwa terang yang sedang menerjang dirinya adalah bencana. Bencana dari cita-citanya yang selalu didambakannya. Dan lampu senter So berhasil menyorot dirinya yang sedang terpencil di lorong sempit bangku pasar.
Pak Tua merasakan akan kepastian nasibnya yang sebentar lagi akan tersuruk kedalam kegelapan dan kesenyapan abadi. Gedoran–gedoran bangku dari tangan kawan-kawan So yang sedang mengobrak-abrik sekelilingnya telah membuat degup jantungnya bertambah cepat dan semakin bertambah cepat! So berdiri terpaku sekaligus terharu menyaksikan pemandangan di depannya. So, tidak bisa berbuat apaapa seolah tangan dan kakinya terpasung dalam lubang kayu besar. So tidak bisa berbuat apa-apa hanya memandang bengong begitu saja persis ketika kawan-kawan So beramai-ramai menyerbu, memukul, mencakar, menjambak, dan mencekik Pak Tua, hingga ambruk tak berbentuk!.
Kawan-kawan So hanya diam, menunduk, barangkali didalam pikirannya ada pemandangan pasar, dimana Pak Tua sebagai korban dan mereka sebagai pelaku atau saksi. Sedangkan sidang pengadilan tengah berlangsung dalam batinnya masing-masing
mencari siapa dan siapa yang salah.
Istri Pak Tua kembali menangkupkan kedua belah tangannya ke wajahnya; lalu kulihat lagi airmata itu merembes keluar dari jari-jarinya, mengalir, dan menggenang di kedua sikunya, kemudian airmata itu jatuh satu-satu ke lantai.
Tak ada suara lagi yang dapat aku dengar dari mulut mereka. Tak ada gerakan lagi yang dapat aku saksikan dari tangan-tangan mereka seperti saat mereka berada di dalam pasar. Di dalam ruangan ini tak ada permainan yang bisa disebut sebagai keributan-keributan yang menggiurkan bagi mereka seperti yang ada di dalam pasar.
Permainan satu-satunya yang ada adalah keributan yang saat ini sedang berkecamuk di
dalam batinnya. Lain dari itu, tidak ada.
Sekarang, Pak Tua sudah melepas nafas terakhirnya. Seorang petugas kebersihan pasar yang telah mengabdi selama tidak kurang dari tiga puluh dua tahun, meninggalkan seorang istri, dan beberapa pertanyaan.
(Surabaya, 13 Mei 2021).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H