“ Semuanya tak tuntas. Dan semuanya bubar gara-gara hari sudah gelap. Bukankah ini yang namanya tidak menyelesaikan masalah, tapi membiarkan masalah berlarut-larut tanpa penyelesaian. Sekali lagi, ini gara-gara hari sudah gelap !
Aku tak suka dengan peraturan di sini yang membiarkan pasar menjadi gelap sepanjang malam dan sepanjang hari ketika mendung tebal. Pasar ini terlalu menggantungkan terangnya pada matahari dan bulan. Sekali lagi sesuai usulku tadi, ini gara-gara di pasar ini tak dipasang penerangan listrik “.
“ Memang semuanya tak tuntas ; tapi lebih tidak tuntas lagi apabila di sini dikasih penerangan listrik. Penerangan listrik hanya akan memuaskan nafsu mereka yang main hajar saja. Mereka tak mau berhenti sebelum mereka puas menghajar sana – sini. Dan menurutku, mereka tak bakal puas. Sampai kapan pun ! Mereka baru berhenti hajar sana hajar sini kalau hari sudah gelap, dan kalau tidak ada penerangan listrik ! Kegelapan menyebabkan mereka tidak berani mengambil resiko atas segala tindakan yang akan dilakukannya. “
“ Mengapa demikian ? “ petugas kebersihan pasar itu bertanya dengan nada benar-benar tidak saling mengerti alias bingung. Terbukti dengan nada suaranya yang menunjukkan keheranan yang amat sangat.
“ Siapa sih, Pak, yang berani memukul orang di hadapannya, kalau belum tahu benar siapa yang dipukulnya itu. Ya, kalau yang dipukul itu benar-benar orang lain. Kalau polisi bagaimana ? Kalau tetangganya sendiri bagaimana ? Dan, kalau ayahnya sendiri bagaimana ? “.
“ Tapi, selama ini mereka masih dalam batas-batas memukul dan dipukul saja,
kan ? Maksudku, apakah di antara mereka ada yang membawa golok ?“
“ Tak ada bedanya. Toh, korbannya mati juga ! “
“ Ya, tapi lain . . .,” petugas kebersihan pasar yang sudah lama kukenal itu tak melanjutkan kalimatnya. Kutepuk bahunya mohon pamit, dan kutinggalkan Pak Tua itu masih berdiri termangu, sapu yang ada pada genggamannya dibiarkan jatuh begitu saja tak terasa. Kudekati lagi sambil aku katakan padanya, besok aku hendak main-main ke rumahnya.
SEBENARNYA sudah sering saya mengunjungi rumahnya. Rumahnya sederhana, masuk gang sedikit tepat di samping gardu ronda. Di dalamnya selalu ada seorang istrinya yang dengan setia selalu menunggunya. Rumahnya baik dalam maupun luar nampak tertata rapi. Di ruang tamu, di samping ada meja dan kursi tamu terdapat juga sebuah kursi goyang yang menurut cerita Pak Tua (petugas kebersihan pasar) merupakan kenang-kenangan tuannya semasa penjajahan Belanda ketika ia dulu pernah menjadi kurirnya. Istrinya pernah menceritakan padaku bahwa pak tua (suaminya) selalu menghabiskan waktunya untuk melamun di kursi kenangannya itu, dan sebagian waktunya untuk menangis di kursi itu.
Ketika kutanya mengapa Pak Tua berbuat seperti itu. Istri Pak Tua selalu menjawab tidak tahu kenapa; ia tidak bisa menjawabnya atau kurang jelas menjawabnya di antara sedu tangisnya yang semakin lama semakin keras. Kalau sudah demikian, maka tidak ada cara lain kecuali menghiburnya agar segera dilupakannya saja peristiwa semacam itu.