“ Oh, ya, ya, saya sampai lupa, ee, maksudku tadi yang mberitahu alamatnya Pak Tua itu siapa ?”
“ Orangnya ndak ikut kita, Pak.”
“ Ya sudah, sudah! Coba, So, kamu tanya ke rumah itu, cepat!”
Orang yang dipanggil So itu langsung bergegas lari menuju rumah yang ditunjukkannya. Tidak lama kemudian So berteriak: “ Betul ini, Pak, rumah yang kita cari!”
Kini kusaksikan di dalam rumah Pak Tua berkumpul semua orang yang menyaksikan dirinya sebagai sebuah pasar. Orang-orang itu adalah orang-orang yang sama juga, sejak aku mengenal pasar dengan petugas kebersihannya adalah Pak Tua. Mereka adalah sebagai saksi, sebagai pelaku, sebagai tertuduh, dan sekaligus sebagai korban.
Sekarang mereka mengantarkan korbannya sampai ke rumah dengan membawa sebagian kecil dari cita-cita Pak Tua, yaitu: penerangan listrik ( lampu senter ).
Tiba-tiba istri Pak Tua bangkit dengan mata sembab menggeram: “ Hayo! Katakan padaku, siapa yang membuat suami saya seperti itu. Katakan, Nak, katakan siapa!
Lihatlah, apa pantas kalian merusak kedamaian di wajahnya, merusak tubuhnya, dan mengkoyak-koyak akhir hidupnya; katakan, Nak, apa salahnya ?”
Semua membisu. Semua merasa seperti tertuduh. Tiba-tiba salah seorang diantara mereka datang mendekati Pak Tua yang sedang sekarat: “ Pak, sayalah So, Pak, yang bersalah, tapi . . . tapi . . . mestinya Bapak menggunakan cara lain, bukan dengan cara kekerasan seperti itu. Saya masih membutuhkan senter ini, Pak. Jangan Bapak rebut begitu saja ; apalagi Bapaklah yang memulai memukuli saya dengan gagang sapu itu.
Tapi . . . tapi . . . sayalah yang bersalah, Pak, saya tidak segera menjelaskan pada kawan-kawan pokok permasalahannya.”
So menangis sejadi-jadinya; ada keributan baru dalam batinnya yang hendak ia tumpahkan. Ia melihat kejadian sore itu kembali di pelupuk matanya; Pak Tua yang sedang lari terbirit-birit menyelinap di lorong-lorong bangku pasar mengharap malam segera tiba. Namun, ketika malam tiba, dengan senter yang dimilikinya itu, So berhasil menemukan diri Pak Tua sedang menghitung nasibnya dengan mulut komat-kamit, kedua tangan menengadah berdoa. Pak Tua menyadari bahwa terang yang sedang menerjang dirinya adalah bencana. Bencana dari cita-citanya yang selalu didambakannya. Dan lampu senter So berhasil menyorot dirinya yang sedang terpencil di lorong sempit bangku pasar.