Mohon tunggu...
Bambang Irwanto Soeripto
Bambang Irwanto Soeripto Mohon Tunggu... Penulis freelance - Penulis cerita anak, blogger, suka jalan-jalan, suka wisata kuliner, berbagi cerita dan ceria

Bercerita yang ringan-ringan saja, dan semoga membawa manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hadiah untuk Ibunya Arya

16 Januari 2025   01:18 Diperbarui: 16 Januari 2025   01:18 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar : Bing Image Create

Sudah hampir tiga jam Arni mengitari Mall ini. Namun ia belum membeli barang yang sudah direncanakan. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, itu berarti, ia hanya punya waktu dua jam lagi.

Arni sama sekali tidak berniat membuang waktu. Karena hari ini, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik yang berlalu, sangat berarti baginya dan harus ia gunakan sebaik mungkin.

Bagaimana tidak, di hari sabtu seperti ini, biasanya waktunya Arni bangun siang dan bermalasan di tempat tidur. Namun sebuah pesan whatsapp masuk ke ponselnya, tepat saat ia akan menarik selimutnya kembali.

Hari ini Ibu ingin bertemu denganmu

Pesan itu dari Arya, pria yang hampir dua tahun mengisi hari-harinya. Arya memang bukan yang pertama singgah di hati dan kehidupan Arni. Tapi hanya Arya yang menunjukkan keseriusan pada Arni. Tiga kali menjalin hubungan dengan pria, semua berakhir, saat Arni menanyakan keseriusan hubungan mereka. Lalu pelan-pelan, teman prianya mundur teratur. Sampai akhirnya ia bertemu Arya.

Maka berantakan sudah rencana Arni untuk bangun siang hari ini, lalu dilanjutkan nonton Drama Korea sampai sore, lalu malamnya melahap habis novel setebal duaratus limapuluh halaman yang kemarin sore ia beli.

Semua kerena whatsapp Arya yang mendadak dan rasanya membuat jantung Arni berdebar 10 kali lebih cepat. Hari ini nasibnya akan dipertaruhkan. Dan semua itu ditentukan sebuah hadiah.

"Rin, dulu Mamanya Bimo kamu belikan apa?" tanya Arni sambil mengeringkan rambut hitam sebatas bahunya dengan handuk.

Terdengar tawa garing Rindu, sahabatnya sejak smu. "Belikan saja barang yang elegan, mahal dan berkelas. Ibu-ibu biasanya suka barang seperti itu," jawab Rindu dari ujung telepon.

"Iya, tapi apa?" tanya Arni lagi sambil melempar handuknya ke atas tempat tidur, lalu membuka lemari bajunya.

"Kamu tidak usah bingung. Pergi ke mall saja!"

Maka di sinilah kini Arni terdampar, di Mall berlantai 5. Seperti saran Rindu, Arni akan membeli sesuatu yang elegan, berkelas dan mahal. Ia sengaja menarik seperempat jumlah isi tabungannya. Namun barang yang dicarinya belum ia temukan.

Syal sutera merah jambu, tas tangan bermerek, sepatu hak 3 centi dan jam tangan sudah sempat niat Arni beli. Namun belum ada yang sreg di hatinya

Arni membuka tasnya, lalu meraih ponsel. Sejenak ia menekan sejumlah tombol.

"Halo, aku masih di mall. Barang seperti apa yang disukai Ibumu?"

"Aku juga tidak tahu pasti. Pokoknya belikan saja barang yang bagus. Ibuku pasti suka."

Arni menghembuskan napas. Menelpon Arya, malah membuatnya bertambah bingung. Padahal, setidaknya Arya tahu selera ibunya. Bukankah Arya sudah jadi anaknya hampir 28 tahun? Pikir Arni sambil kembali melangkah.

Saat keluar dari Departemen Strore, mata Arni tidak sengaja melihat toko perhiasan di sisi kiri mall. Ehm, wanita pasti suka perhiasan, senyum Arni mengembang lalu bergegas memasuki toko perhiasan  itu.

"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" seorang karyawan toko menyambut ramah kehadiran Arni.

"Saya mencari sesuatu yang elegan dan berkelas untuk Ibu saya," ucap Arni. Dan dia tahu sesuatu yang elegan dan berkelas itu harganya pasti mahal.

Mbak karyawan toko tersenyum manis. Semanis madu. "Mungkin kalung ini cocok untuk Ibu Anda. Ini mutiara asli.

Kalung mutiara itu sangat bagus. Elegan, berkelas dan tentu saja harganya sangat mahal. Seperempat uang tabungan di dalam tas Arni tidak cukup untuk membeli kalung itu.

"Bagaimana, Mbak?"

"Ehm, maaf. Mungkin lain kali, ya!" ucap Arni sambil bergegas pergi diiringi tatapan heran Mbak karyawan toko.

Arni lelah dan memutuskan singgah di court food. Mungkin sebotol soft drink bisa melegakan hatinya.

ponsel Arni berbunyi dan sebuah pesan masuk.

Kamu lagi di mana? Ibu sudah siap menunggumu

Setengah malas Arni mengetik pesan balasan

Aku masih di Mall. Tapi aku pasti datang

Sambil menyeruput soft drinknya, pikiran Arni menerawang. Sejujurnya, ia tidak tahu bagaimana barang kelas, mewah dan elegan. Sejak kecil ia terbiasa hidup sederhana. Tidak ada barang mewah di rumah. Bahkan televisi 14 inci pun harus dijual untuk membayar utang.

Arni kecil terbiasa dengan barang kelas bawah dan tiruan yang dijamin harganya lebih terjangkau. Segalanya serba dibatasi dan ditakar. Nasi cukup seentong dengan lauk telur dadar tipis yang harus dibagi 6 orang. Kalau masih lapar, cukup minum air putih yang banyak, sampai perut kenyang.

Beruntung Arni punya semangat membara dan otak encer. Walau kehidupan serba pas-pasan, ia semangat belajar dan akhirnya terus mendapat bea siswa sampai SMU.

Selepas SMU, Arni memberanikan diri merantau ke Jakarta. Dengan sikap supelnya, Arni bisa cepat mendapat pekerjaan. Dewi fortuna pun memayungi Arni. Kepintaran dan rajin bekerjanya, membawanya kariernya semakin meningkat. Arni. Sampai akhirnya ia berhasil menduduki posisi lumayan di perusahaan sekarang tempatnya bekerja.

Tiba-tiba ponsel Arni berbunyi lagi, tanda ada pesan whatsapp masuk. Arni menyusut airmata yang mulai turun. Mengingat masa dulu, selalu membuat Arni meneteskan airmata.

Posisi kamu di mana?

Arni mengetik balasan dengan cepat.

Aku akan segera ke sana

                                                 *** 

Taksi yang dinaiki Arni berhenti di sebuah rumah bercat biru. Arni membuka dompetnya lalu mengeluarkan selembar uang limapuluh ribu.

"Ambil saja kembaliannya, Pak!"

"Terima kasih, Bu!" kata sopir taksi.

Arni turun dari taksi. Ia berusaha bersikap setenang mungkin. Padahal dalam harinya bergemuruh. Ini untuk pertama kalinya, ia bertemu dengan ibu pacarnya. Bisa jadi, sekarang kelanjutan hidupnya ditentukan. Bisa hubungannya dengan Arya tidak direstui atau ia akan bersiap-siap mempunyai calon Ibu mertua.

Gambar : Bing Image Create
Gambar : Bing Image Create

Arni memencet bel yang berada di samping pintu. Tidak berapa lama, pintu terbuka. Arya berdiri di ambang pintu. Sore ini ia tampan sekali, dengan kemeja garis biru dan merah dipadu celana jins biru.

"Kamu hampir saja terlambat! Ibuku sudah menunggu sejak tadi," Arni melihat ada gurat gelisah di wajah Arya.

"Maafkan, aku!"

"Mana hadiah untuk Ibu?" Arya celigukan mencari hadiah yang dibawa Arni.

Arni hanya tersenyum. "Hadiahnya sudah aku siapkan kok. Kamu tenang saja."

Arya menggandeng tangan Arni masuk ke rumah. Mereka lalu berjalan beriringan menuju ruang tengah rumah Arya. Seorang Ibu setengah baya, tampak duduk di sofa sambil menonton televisi.

"Itu Ibuku," bisik Arya.

Arni mengangguk, lalu menghampiri ibunya Arya. "Selamat sore, Bu!"

Ibu Arya menoleh, lalu segera bangkit dari duduknya. "Selamat sore! Arni, ya?"

Arni mengangguk, lalu mencium punggung tangan Mama Arya. Selanjutnya mereka sun pipi kanan kiri.

"Maaf saya terlambat, Bu!"

"Oh, tidak apa-apa. Ibu sedang santai kok. Ayo, silakan duduk!"

"Ini Arni yang sering Arya ceritakan, Ma!" Arya ikut duduk.

Ibu Arya melihat Arni dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebenarnya Arni merasa jengah. Tapi menurut Arni, itu hal yang wajar.

"O iya, Saya tinggal sebentar, ya! Ada telepon dari Irman," Arya bangkit lalu meninggalkan Arni dan ibunya. Hati Arni sedikit meringis. Ia tahu. Arya sengaja meninggalkan ia berdua saja dengan ibunya.

"Keluargamu ada di mana, Arni?" suara ibunya Arya terdengar lembut tapi jelas di telinga Arni.

Arni menarik napas panjang, lalu menghembuskan berlahan. Lalu meluncurlah cerita tentang dirinya. Ia hanya anak buruh tani di sebuah desa di lereng gunung Kidul. Ia anak pertama dari 4 bersaudara. Dan sampai saat ini pun, ia masih menjadi tulang punggung keluarga.

Arni tidak lupa bercerita, kalau sekarang ia masih tinggal di rumah kontrakan. Walau sudah bekerja 10 tahun, ia belum bisa membeli rumah. Itu karena, setiap bulan, ia harus mengirim sebagian gajinya ke kampung. Uang itu untuk kebutuhan Bapak dan Ibunya, juga untuk biaya sekolah dua adiknya. Sampai akhirnya, keadaan ekonominya cukup lumayan.

"Oh, begitu..." ucap ibunya Arya.

Arni mengangguk. Hatinya terasa plong. Tidak ada lagi gumpalan yang menyumbat hatinya. Ia harus jujur pada dirinya sendiri dan sadar akan keadaan dirinya. Termasuk membelikan barang mewah dan mahal untuk ibunya Arya. Padahal uang itu, bisa untuk kebutuhan keluarganya di kampung.

Kadang Arni merasa, ia sangat berbeda jauh disandingkan dengan Arya. Arni tidak punya apa-apa. Ia hanya punya cinta yang tulus untuk Arya.

"Maaf ya, agak lama aku tinggal," Arya sudah kembali. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang bersih. "O iya, Bu! Arni sudah menyiapkan hadiah untuk Ibu!"

"O ya, hadiah apa?" tanya Mamanya Arya.

"Saya membawa cinta yang tulus untuk Arya, Bu!" jawab Arni. "Hanya itu yang saya punya dan berikan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun