"Oh, tidak apa-apa. Ibu sedang santai kok. Ayo, silakan duduk!"
"Ini Arni yang sering Arya ceritakan, Ma!" Arya ikut duduk.
Ibu Arya melihat Arni dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebenarnya Arni merasa jengah. Tapi menurut Arni, itu hal yang wajar.
"O iya, Saya tinggal sebentar, ya! Ada telepon dari Irman," Arya bangkit lalu meninggalkan Arni dan ibunya. Hati Arni sedikit meringis. Ia tahu. Arya sengaja meninggalkan ia berdua saja dengan ibunya.
"Keluargamu ada di mana, Arni?" suara ibunya Arya terdengar lembut tapi jelas di telinga Arni.
Arni menarik napas panjang, lalu menghembuskan berlahan. Lalu meluncurlah cerita tentang dirinya. Ia hanya anak buruh tani di sebuah desa di lereng gunung Kidul. Ia anak pertama dari 4 bersaudara. Dan sampai saat ini pun, ia masih menjadi tulang punggung keluarga.
Arni tidak lupa bercerita, kalau sekarang ia masih tinggal di rumah kontrakan. Walau sudah bekerja 10 tahun, ia belum bisa membeli rumah. Itu karena, setiap bulan, ia harus mengirim sebagian gajinya ke kampung. Uang itu untuk kebutuhan Bapak dan Ibunya, juga untuk biaya sekolah dua adiknya. Sampai akhirnya, keadaan ekonominya cukup lumayan.
"Oh, begitu..." ucap ibunya Arya.
Arni mengangguk. Hatinya terasa plong. Tidak ada lagi gumpalan yang menyumbat hatinya. Ia harus jujur pada dirinya sendiri dan sadar akan keadaan dirinya. Termasuk membelikan barang mewah dan mahal untuk ibunya Arya. Padahal uang itu, bisa untuk kebutuhan keluarganya di kampung.
Kadang Arni merasa, ia sangat berbeda jauh disandingkan dengan Arya. Arni tidak punya apa-apa. Ia hanya punya cinta yang tulus untuk Arya.
"Maaf ya, agak lama aku tinggal," Arya sudah kembali. Senyum lebar menghiasi wajahnya yang bersih. "O iya, Bu! Arni sudah menyiapkan hadiah untuk Ibu!"