Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023. Berangkat dari pertanyaan; "Apakah manajemen strategik memerlukan neurosains?" Manfaat potensial penelitian otak untuk mempelajari dan menerapkan manajemen strategik (strategic management) telah dikaji dan dibahas secara detil oleh Thomas C. Powell (2011). Tujuan penelitiannya untuk memberikan gambaran tentang bagaimana ilmu neurosains dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap aplikasi manajemen strategik, serta apa saja limitasi dan tantangannya. Penelitian tersebut juga menawarkan rekomendasi agar dapat menyelesaikan masalah metodologis potensial yang dapat terjadi saat menerapkan kerangka ilmu neurosains pada penelitian manajemen strategik.
Hasil studinya menyatakan bahwa melalui aplikasi neurosains (applied neuroscience)Â pada proses perencanaan strategik menjadi lebih efektif, karena para pelaku bisnis dan cendikiawan menjadi lebih memahami bagaimana otak membuat dan mengambil keputusan. Penelitian tersebut membahas atribusi kausal, topik hangat dalam penelitian strategi perilaku, dan menjelaskan mengapa banyak pertanyaan penelitian masih terbuka. Oleh karena itu, agar subjek penelitian yang dibahas lebih mudah dipahami, peneliti memberikan informasi latar belakang yang relevan.
Potensi kemajuan ilmu neurosains berpengaruh kepada efektivitas penerapan strategi perusahaan. Melalui perkembangan pengetahuan ilmu otak, akan banyak penelitian neurostrategi (neurostrategy)Â di masa depan yang memajukan pemahaman dan praktik manajemen strategik. Tidak dapat disangkal bahwa ilmu otak dan neurosains berdampak pada ilmu sosial. Studi tentang otak telah mendapat banyak dukungan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, ilmu politik, psikologi sosial, hukum, dan sosiologi. Output dari neuroekonomi telah tumbuh secara signifikan selama hampir dua dekade terakhir dan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Setiap sekolah bisnis yang ingin tetap kompetitif harus bekerja sama dengan peneliti yang menggunakan penelitian otak dalam bidang pemasaran, kepemimpinan, keuangan, dan manajemen sumber daya manusia (Powell, 2011).
Dasar-dasar psikologis dari praktik strategi dan penilaian eksekutif (executive judgment) serta proses pengambilan keputusan (decision making process) adalah dua topik yang telah lama diminati oleh manajemen strategik (Hodgkinson, 2008). Semakin kita memahami otak, semakin baik jika pengambilan keputusan eksekutif dan perilaku itu penting. Untuk mengembangkan tingkat skeptisisme yang sehat, peneliti dalam bidang strategi harus menyadari apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh ilmu neurosains. Menurut Rumelt, Schendel, dan Teece (1994), akademisi tertentu di bidang manajemen strategik mungkin skeptis tentang validitas penelitian yang menggunakan perusahaan dan industri sebagai unit studi utamanya.
Ilmu lokalisasi otak (brain anatomy) pertama kali dikembangkan oleh Hippocrates dan dokter Romawi Galen, yang mempelajari otak domba (the case for neurostrategy). Peneliti modern Marie-Jean-Pierre Flourens (1794-1867) dan Jean Baptiste Bouillaud (1796-1881) mengidentifikasi proses 'ucapan' yang terjadi di bagian otak lobus frontal depan (gyrus frontalis inferior),  dan mengembangkan teori asimetri lateral (perbedaan antara belahan otak kiri dan kanan), sedangkan Paul Broca (1824-1880) mengidentifikasi proses 'pembicaraan' yang terjadi di daerah otak lobus frontal kiri yang sekarang dikenal dengan sebutan 'broca area'.
Pada saat sekarang, para neurosaintis dunia terus melakukan studi terkait dengan lokalisasi otak ini melalui beberapa tingkat analisis, yaitu; tingkat molecular, cellular, systemic, dan behavioral. Beberapa disiplin ilmu yang termasuk ke dalam neurosains perilaku (behavioral neuroscience), yaitu; neuroeconomics, neuromarketing, social neuroscience, cognitive neuroscience, dan affective neuroscience. Sementara fokus lama pada general managers (GM) dalam bidang strategi merupakan dasar dari argumen neurostrategi. Kebijakan dan strategi bisnis adalah "bidang yang berurusan dengan tugas dan masalah general managers serta mereka yang mengelola organisasi multibisnis atau divisi bisnis multifungsi," menurut Academy of Management. Strategi adalah "tindakan utama yang muncul diambil oleh para GM mewakili pemiliknya, yang melibatkan penyebaran sumber daya (resources), untuk meningkatkan kinerja bisnis dalam konteks eksternal mereka," (Hambrick, dan Chen, 2007: 944).
Landasan strategic management yang merupakan gagasan bahwa sikap dan hubungan sosial manajer umum (general managers) berdampak pada operasi dan output organisasi mereka. Seperti yang terlihat pada penelitian-penelitian strategi di kalangan esalon atas, berkaitan dengan; executive perceptions, risk preferences, beliefs, cognitive schema, attention, causal attributions, competitor perception, dan aspirations (Mezias, Chen, and Murphy, 2002). Selama otak (brain) dan CNS (central nervous system) berperan dalam kognisi, pengaruh (affect), dan persepsi sosial, peneliti bidang strategi harus bersyukur menyambut baik kesempatan ini untuk memeriksa kontribusi behavioral neuroscience. Beberapa kontribusi dimaksud untuk neurostrategi yang dibahas di dalam penelitian tersebut; 1) validasi konstruk, 2) pengujian teori, dan 3) menginformasikan praktik strategi (Powell, 2011).
Berkaitan dengan 'validasi konstruk' neurostrategi ini diberikan contoh bahwa neurosains menghubungkan gagasan mental yang tidak teramati (unobserved mental construct) seperti keengganan kehilangan (loss  aversion) dengan peristiwa fisiologis otak, yang merupakan salah satu cara kontribusinya dalam penelitian ilmu sosial. Secara neural dikodekan di dalam otak bagian striatum dan vlPFC (ventro lateral prefrontal cortex). Sedangkan pada bagian 'pengujian teori', melalui alat bantu fMRI (functional magnetic resonance imaging) 'mental image' terwakili di otak pada area korteks visual (occipital lobes). Tujuannya untuk secara eksperimental menilai antara teori-teori yang sangat sulit dibedakan melalui tes prediksi pasar menggunakan bukti otak.
Selanjutnya pada bagian 'menginformasikan praktik strategi', dijelaskan bagaimana alat pemindaian otak (brain scans) digunakan oleh para pengacara (lawyers) untuk mendemonstrasikan kapasitas mental terdakwa, dan konsultan juri menggunakan data neurosaintifik untuk meramalkan hukuman dan pembayaran kembali dalam keputusan juri. Demikian pula konsultan neuromarketing menggunakan alat tersebut untuk menilai bagaimana konsumen bereaksi secara kognitif dan emosional terhadap atribut produk, kemasan, dan kampanye iklan. Serta di bidang neuropolitics, para kandidat dapat menargetkan preferensi kognitif pemilih dengan menggunakan studi neurosains mana yang pemilih liberal dan mana yang penganut politik konservatif (Powell, 2011).
Ada juga beberapa kritik terhadap penggunaan pendekatan neurosains ini dalam konteks manajemen strategik (the case against neurostrategy). Beberapa kritik tersebut termasuk kurangnya pemahaman tentang kompleksitas otak manusia, kesulitan dalam menghubungkan temuan neurosains dengan konsep manajemen strategik yang lebih luas, dan masalah etis yang muncul dalam penggunaan teknologi neuroimaging. Meskipun demikian, Powell mengakui neurosains memiliki potensi untuk memberikan wawasan baru tentang manajemen strategik dan memberikan saran tentang cara mengatasi tantangan dan batasan dalam menggunakan pendekatan neurosains dalam konteks manajemen strategik.
Masa depan neurostrategi (the future of neurostrategy), disampaikan bagaimana prospek akan datang mampu menerapkan pendekatan-pendekatan ilmu neurosains tersebut (applied neuroscience) terutama dalam konteks manajemen strategik. Neurosains memiliki banyak potensi untuk menawarkan perspektif baru tentang manajemen strategik, khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran organisasi (organizational learning), motivasi, dan pengambilan keputusan (decision making). Kompleksitas otak manusia dan keprihatinan etis yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi neuroimaging hanyalah beberapa dari kesulitan dan batasan penerapan pendekatan ilmu neurosains dalam konteks manajemen strategik.
Prospek penerapan neurosains dalam konteks manajemen strategik dirincikan ke dalam beberapa bagian, yaitu; a) group decision making, b) attention, c) exploration dan exploitation, d) decision making with uncertain implementation, e) corporate, competitive dan collaborative strategy, f) firm routines dan incentives, g) leadership dan entrepreneurship, serta h) decision making with advice.
Pembahasan neurostrategi ini memberikan kita wawasan baru tentang bagaimana manajemen strategik dapat ditingkatkan. Namun tetap memiliki tantangan tersendiri dan batasan dalam menggunakan pendekatan neurosains pada konteks manajemen strategik, serta memberikan saran tentang cara mengatasi masalah tersebut. Neurostrategi merupakan bidang penelitian baru yang menggabungkan manajemen strategik dengan neurosains perilaku. Neurostrategi menawarkan banyak peluang untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana skema kognitif dan perilaku manusia memengaruhi pengambilan keputusan strategik dalam organisasi. Konsep neurostrategi ini memberikan referensi untuk penelitian terkait di bidang manajemen strategik dan neurosains kognitif.
Di dalam buku yang berjudul: "Neuroleadership - A Journey Through the Brain for Business Leaders" yang ditulis oleh Ghadiri, dkk. (2012), pada bab pertama, dijelaskan pemahaman istilah selain neuroeconomics dan neurobusiness. Disiplin ilmu yang telah muncul dalam beberapa tahun terakhir termasuk neuromarketing, neurofinance, neuroleadership, dan neuromanagement. Kemudian, semakin banyak istilah lainnya, seperti neurocoaching, neurocommunication, dan neurostrategy, muncul dalam berbagai konteks dan melalui beberapa sumber.
Di dalam buku itu dijelaskan bahwa; faktanya istilah seperti 'strategi' biasanya dimodifikasi dengan kata 'neuro' menunjukkan betapa berakar dalam disiplin 'lama' disiplin itu dan bagaimana disiplin tersebut tidak sepenuhnya baru. Akibatnya, masing-masing bidang istilah disiplin ilmunya (pemasaran, keuangan, operasional, SDM, dll.) tidak berubah; sebaliknya, cara berpikir (mindset) dan metode serta alat yang digunakan berubah sebagai hasil dari peningkatan akses ke ilmu otak. Ghadiri dkk. mengusulkan istilah 'NeuroBusiness Administration' di bawah payung ekonomi (neuroekonomi) mencakup 4 bidang utama; 1) neuromarketing, 2) neurofinance, 3) neuroleadership, dan 4) neuromanagement (Ghadiri, dkk., 2012).
Pada intinya, penelitian Powell tersebut berhasil memunculkan konstruk baru; 'neurostrategi' dan telah banyak memberikan kontribusi yang berharga bagi literatur pada bidang-bidang manajemen strategik (strategic management). Bukan hanya memunculkan istilah baru saja, namun dengan membahas potensi neurosains telah memberikan wawasan baru tentang bagaimana manajemen strategik dapat ditingkatkan. Sesuai dengan tren dan evolusi pengembangan riset manajemen strategik ke depan, adanya peningkatan isu-isu khusus jurnal manajemen strategik yang berusaha mengeksplorasi batas-batas pengetahuan di lapangan dan hubungannya dengan disiplin ilmu lain (Guerras-Martn, dkk., 2014).
Sesuai judul tulisan ini, bagian bahasan kedua juga merupakan faktor krusial agar sukses berbisnis dalam mengembangkan usaha dan perusahaan (firms and coporates). Terutama di dalam Revolusi Industri 4.0 (4IR atau 4th Industrial Revolution), dan di kehidupan Society 5.0, Era Digital di dunia yang VUCA ini (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Alessandro Lanteri (2021) mendefinisikannya menjadi 6 faktor penggerak strategik atau six strategic drivers. Studi penelitiannya menggunakan metode-metode penelitian bisnis kualitatif (inductive case studies)Â dan metode 'foresight' (driver analysis).
Enam penggerak yang sering dikenal dengan singkatan 'CLEVER' ini, terdiri dari; a) kecerdasan kolaboratif (collaborative intelligence), b) sistem pembelajaran (learning systems), c) teknologi eksponensial (exponential technologies), d) fasilitasi nilai (value facilitation), e) kepemimpinan etis atau kejuaraan beretika (ethical championship), dan f) pengambilan keputusan yang responsif (responsive decision making). Di era 4IR ini, para pemimpin bisnis dituntut senantiasa menggunakan enam penggerak tersebut sebagai bahan informasi pengambilan keputusan mereka.
Bisnis harus terus beradaptasi dengan perubahan eksogen dan mendorong inovasi endogen agar tetap sukses. Beberapa prinsip strategi harus berubah, beradaptasi dengan perubahan. Seperti kemunculan beberapa teknologi baru; AI (artificial intelligence), IoT (internet of things), distributed ledgers dan blockchains, AR (augmented reality), VR (virtual reality), additive manufacturing dan 3-D printing. Semuanya telah menjadi kenyataan, kemajuan teknologi ini memberdayakan perilaku konsumen yang baru dan model bisnis digital yang memicu era 4IR tersebut (Lanteri, 2021).
Seperti diuraikan sebelumnya, salah satu penggerak utamanya adalah kecerdasan kolaboratif atau collaborative intelligence (CI). Kecerdasan ini tidak hanya antar manusia, namun termasuk menggabungkan keterampilan manusia dan mesin organisasi serta mengalokasikan tugas berdasarkan kekuatan. Dengan bantuan mengoordinasikan berbagai keterampilan secara cerdas, CI merespons ketidakpastian yang tinggi dan perubahan yang cepat. Lanteri memberikan contoh bahwa Wikipedia mengilustrasikan kekuatan kecerdasan kolaboratif. Menurutnya, kecerdasan kolaboratif tidak muncul hanya dengan menggabungkan bersama-sama keahlian yang berbeda, tetapi pada akhirnya tergantung pada proses koordinasi mereka.
Sistem pembelajaran atau learning systems adalah penggerak kedua. Di era sekarang ini kita dibanjiri dengan data dan informasi. Organisasi memiliki akses untuk memperoleh data dan informasi dengan jumlah yang terus meningkat. Mulai dari informasi demografis hingga kebiasaan berbelanja, dari interaksi sosial hingga riwayat pencarian online, dan dari geolokasi hingga kepribadian. Kumpulan data ini sangat besar sehingga disebutnya sebagai 'big data'. Untuk memprosesnya, organisasi dapat mempekerjakan machine learning algorithms.
Kemampuan algoritme untuk menemukan korelasi statistik antara jenis input tertentu adalah salah satu fitur utamanya. Karena baru muncul dan belum cerdas menurut standar manusia, maka tidak sepenuhnya disebut sebagai kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Bagi manusia, belajar merupakan perubahan perilaku permanen berdasarkan pengalaman. Semakin banyak umpan balik dari prediksi sebelumnya, atau semakin banyak data yang dimiliki sistem ini, semakin baik dalam membuat prediksi. Hal ini yang disebut learning systems (Lanteri. 2021). Contoh yang diberikan adalah film serial di Netflix, berjudul "House of Cards", yang memperoleh success rates 80%, dibanding dengan TV nasional yang hanya 30-40%.
Penggerak selanjutnya, penggerak ketiga adalah teknologi eksponensial (exponential technologies). Fenomena lonjakan kemajuan teknologi yang pertama kali dijelaskan oleh Gordon Moore, salah satu founder dari perusahaan pabrik mikroprosesor Intel. Sebagai catatan, awal tahun 1960-an kecepatan hitung komputasi prosesor 2 kali lipatnya, dengan ukuran setengah lebih kecil setiap 18-24 bulan. Kinerja teknologi-teknologi ini meningkat dengan sangat cepat. Begitu pula di industri kamera handphone, yang di dalam artikel ini diwakili oleh brand; OnePlus, Huawei, dan Xiaomi, peningkatan kinerja megapixel setiap generasi baru pemutakhiran; dari 12/16MP ke 40/48MP, dari 40/48MP ke 108 MP, lebih besar daripada pemutakhiran apa pun yang pernah ada, dan faktanya lebih besar dari semua peningkatan terakumulasi hingga saat itu. Organisasi harus belajar untuk mengatasi dan memanfaatkan lintasan non-linier dari kelas teknologi tersebut (Lanteri, 2021).
Penggerak keempat adalah fasilitasi nilai (value facilitation). Dalam transaksi pasar, nilai diperdagangkan. Nilai konsumen merasa melebihi biaya barang yang dibeli. Nilai uang penjual merasa lebih tinggi daripada produk yang dijualnya. Setelah transaksi, baik pembeli dan penjual merasa menerima lebih banyak nilai daripada yang mereka terima. Namun, perusahaan terbesar di dunia tidak lagi fokus pada cara transaksi seperti itu. Mereka mengoperasikan platform yang memfasilitasi penciptaan nilai (value creation) di antara pengguna. Seperti Airbnb memfasilitasi pertukaran nilai antara landlord dengan tourist, misalkan melalui instagram. Airbnb diluncurkan pada tahun 2008, sementara 2015 terdaftar 1 juta properti, dan pada 2020 telah melampaui 7 juta listing. Berbeda secara kontras, di dunia industri perhotelan tradisional, Marriott, butuh 58 tahun untuk capai 1 juta kamar dan baru pada tahun 2020 mencapai 1,2 juta kamar. Perusahaan hotel terbesar kedua di dunia, yaitu Hilton, diluncurkan sejak tahun 1919 dan pada tahun 2020 hanya mengelola 923.000 kamar (Lanteri, 2021).
Kemudian penggerak strategik kelima adalah juara kejuaraan etis atau ethical championship. Model bisnis tradisional memprioritaskan penciptaan nilai bagi pemegang saham, umumnya mengabaikan biaya pemangku kepentingan lainnya. Model bisnis tersebut dikecam karena gagal mendorong pertumbuhan inklusif dan memiliki dampak merugikan terhadap lingkungan. Sebagai tanggapannya, banyak bisnis telah mengadopsi prinsip CSRÂ (corporate social responsibility). Akan tetapi kepercayaan dalam bisnis terus menurun dan mayoritas sekarang percaya bahwa "kapitalisme seperti yang ada saat ini lebih berbahaya daripada kebaikan di dunia". Perusahaan-perusahaan sosial, seperti pemenang hadiah nobel Mohamed Yunus, muncul secara sadar mengejar 2 tujuan, yaitu; dampak sosial positif dan keberlanjutan finansial.
Terakhir, driver keenam adalah pengambilan keputusan responsif (responsive decision making). Di dunia yang VUCA, lanskap kompetitif berubah cepat memaksa perusahaan mengkonfigurasi ulang, dan menggunakan kembali aset, serta mendesain ulang struktur internal dan eksternal agar tetap sukses. Untuk melakukan ini, seseorang harus merangkul ketangkasan strategik (strategic agility) dan mengembangkan kumpulan kemampuan dinamis (dynamic capabilities), yang memahami gejolak perubahan ekosistem, membuat keputusan strategik (strategic decision making) untuk memanfaatkan peluang yang muncul, dan berhasil mengubah organisasi untuk menavigasi lingkungan VUCA (Teece et al., 1997).
Penelitian Lanteri tersebut sangat bermanfaat baik bagi para praktisi maupun akademisi. Terutama di bidang penelitian manajemen strategik. Perkembangan SMR (strategic management research) yang pesat diperlukan; konsolidasi, integrasi, dan redirection. Sementara para cendikiawan melihatnya tidak konvergen, tapi lebih ke fragmented, sebagai kekayaan dan vitalitas. Indikasi perkembangan SMR ini bisa dilihat dari fenomena; tidak semua perusahaan sukses, kinerja strateginya pun berbeda-beda, heterogenitas dan diversity, serta banyak faktor lainnya (Durand, R. dkk., 2016). Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan di dalam hasil penelitian itu; bahwa agar tetap sukses, tertutama di era 4IR, di dunia VUCA sekarang ini, perusahaan dituntut menyesuaikan strategi baru dengan 6 strategic drivers yang dipengaruhi oleh faktor kemajuan teknologi digital yang pesat dan pengaruh arus globalisasi yang kuat (Lanteri, 2021).
Tibalah kepada bagian terakhir pada tulisan ini sesuai dengan judul artikel. Para investor, pemilik dan pelaku bisnis di negara maju tidak lagi berkeinginan untuk menjalankan bisnis perusahaan yang pertumbuhannya di masa depan tidak dapat diprediksi. Ada tiga pilar yang perlu mendapat perhatian, menurut John Assaraf (2020) dan gagasannya tentang 'the neuroscience of predictable business growth', ada 3 pilar yang perlu diperhatikan. Pilar pertama; 'pilar pondasi' yang terdiri dari mindset, skillset, dan actionset. Pilar kedua; 'pilar implementasi' yang terdiri dari lead generation, lead conversion, dan lead nurture. Pilar ketiga; 'pilar optimisasi' yang terdiri dari metrics dan KPIs, profit maximizers, serta accelaration dan scale.Â
Kenapa banyak perusahaan, walaupun tetap survived, namun begitu-begitu saja, tidak mampu berkembang menjadi besar biasanya karena kegagalan di pilar ketiga ini.
Kombinasi pilar pertama dan kedua secara apik akan menghasilkan uang yang berlebih (more money). Kombinasi pilar kedua dan ketiga yang baik akan menghasilkan lebih kebebasan finansial perusahaan (more freedom). Selanjutnya kombinasi pilar pertama dan ketiga yang optimal akan menghasilkan dampak yang lebih berarti (more impact). Sedangkan perpaduan pilar pertama, kedua, dan ketiga yang harmonis akan menghasilkan kecepatan berlarinya perusahaan menjadi bisnis besar yang terus berkembang (escape velocity). Dalam konteks pertumbuhan bisnis, 'escape velocity' merujuk pada titik di mana sebuah perusahaan mencapai kecepatan pertumbuhan yang cukup besar sehingga mampu mengatasi hambatan dan kendala yang mungkin ada dalam mencapai pertumbuhan yang signifikan.
Istilah tersebut biasanya digunakan secara analogi dengan konsep fisika di mana escape velocity mengacu pada kecepatan yang diperlukan untuk melepaskan objek dari gaya gravitasi bumi agar dapat meluncur melesat ke luar angkasa. Dalam bisnis, escape velocity menggambarkan titik di mana pertumbuhan perusahaan melampaui faktor-faktor yang membatasi atau memperlambatnya, dan mampu mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dan berkelanjutan.
Untuk mencapai escape velocity dalam pertumbuhan bisnis, perusahaan harus mencapai beberapa faktor penting, seperti; inovasi, skala, keuangan, tim yang solid, pasar yang besar, keunggilan kompetitif (competitive advantage). Mencapai escape velocity bukanlah tugas yang mudah, dan banyak perusahaan menghadapi tantangan dalam mencapai pertumbuhan yang signifikan. Namun, jika sebuah perusahaan berhasil mencapai escape velocity, maka dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, skala yang lebih besar, dan kesuksesan jangka panjang.
Mindset atau pola berpikir sebagai pondasi yang kuat di sini. Penulis mengartikannya seperti growth mindset (pola pikir bertumbuh), open mind (berpikiran terbuka), agile dan adaptif, memiliki ketangguhan mental (mental toughness) yang terdiri dari daya resiliensi dan positivity, serta mengoptimalkan proses pemanfaatan neuroplastisitas otak kita (learning, unlearning, dan relearning process). Sedangkan skillset yang dimaksud adalah kapasitas mental (mental capacity) kita dalam berkolaborasi, tidak lain dari kecerdasan kolaboratif yang telah dijelaskan sebelumnya di atas. Bagaimana dapat memahami diri kita lebih baik, bagaimana memahami potensi orang lain dengan baik, dan bagaimana orang lain dapat dengan mudah memahami diri kita. Â
Actionset merupakan keterampilan keseharian kita bekerja dengan disiplin kerja yang tinggi. Rutinitas ini menjadi budaya kerja yang positif. Terbiasa dengan perencanaan, organisasi seluruh sumber daya (resources) dengan baik, merealisasikan dengan gigih dan ulet (actuating) untuk pencapaian target (high achiever), selalu sadar membiasakan pengawasan dan mau mengavaluasi atau mengkoreksi untuk langkah perbaikan berikutnya. Â
Sedangkan pada pilar kedua, pilar implementasi, lead generaration yang merupakan pengumpulan informasi atau data kontak dari calon pelanggan atau prospek yang tertarik dengan produk atau layanan suatu bisnis. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan prospek yang berpotensi menjadi pelanggan sejati.
Dalam implementasi bisnis, 'lead generation' merupakan langkah awal dalam siklus penjualan. Bisnis berusaha menarik minat calon pelanggan dengan menyediakan sesuatu yang bermanfaat, seperti konten pendidikan, diskon khusus, konsultasi tanpa kewajiban, atau acara promosi. Bisnis mencoba menarik target pasar mereka melalui berbagai saluran pemasaran, termasuk situs web, media sosial, iklan online, kampanye email, dan pameran dagang, lalu mengarahkan mereka ke saluran komunikasi yang sesuai.
Prospek menjadi 'petunjuk' (leads) atau prospek potensial ketika mereka mengungkapkan minat dengan memberikan informasi kontak mereka, seperti nama, alamat email, atau nomor telepon. Perusahaan menggunakan data ini untuk berhubungan dan tetap berhubungan dengan prospek tersebut dalam upaya meningkatkan penjualan atau konversi. Lead generation memainkan peran penting dalam pemasaran digital dan strategi pertumbuhan bisnis. Dengan mengumpulkan dan mengelola leads yang berkualitas, bisnis dapat membangun pangsa pasar mereka, meningkatkan kesadaran merek, dan memperluas jaringan pelanggan potensial. Dengan demikian, lead generation menjadi langkah penting dalam menciptakan peluang bisnis dan memajukan perusahaan. Di dalam pendekatan konsep BSC (balance scorecards), terdapat 2 macam ukuran masing-masing variabel indikator yang digunakan di setiap bagiannya, yaitu; lead indicators dan lag indicators.
Di dalam implementasi bisnis, lead conversion mengacu pada proses mengubah prospek (lead) menjadi pelanggan yang sebenarnya. Lead merujuk pada individu atau entitas yang menunjukkan minat atau potensi untuk membeli produk atau layanan perusahaan. Prospek ini bisa berasal dari berbagai sumber seperti formulir pendaftaran, panggilan telepon, langganan email, atau interaksi dengan media sosial.
Proses 'lead conversion' melibatkan serangkaian langkah untuk meyakinkan prospek agar melakukan pembelian atau tindakan yang diinginkan. Proses tersebut melibatkan upaya membangun hubungan, memberikan informasi, menunjukkan nilai produk atau layanan, dan mengatasi hambatan yang mungkin menghalangi prospek untuk bergerak maju. Beberapa taktik umum yang digunakan untuk meningkatkan konversi lead meliputi: a) komunikasi efektif, b) penawaran yang menarik, c) personalisasi, d) kepercayaan dan otoritas, serta e) tindakan panggilan.
Lead nurture di dalam implementasi bisnis mengacu pada serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat atau mengembangkan prospek (lead) seiring waktu dengan tujuan untuk mempersiapkan mereka agar siap untuk konversi menjadi pelanggan yang sebenarnya.
Pada proses 'lead nurture'Â melibatkan komunikasi dan interaksi terus-menerus dengan prospek melalui berbagai saluran, seperti email, konten pemasaran, media sosial, dan panggilan telepon. Tujuannya adalah untuk membangun hubungan yang lebih dalam dengan prospek, memberikan nilai tambahan, dan memperkuat minat mereka terhadap produk atau layanan perusahaan. Beberapa elemen yang terkait dengan lead nurture di antaranya; a) konten edukatif, b) personalisasi, c) automasi, d) tindakan panggilan, serta e) analisis dan pemantauan.
Metrics dan KPIs merupakan dua konsep yang terkait dengan optimalisasi bisnis. Metriks adalah ukuran kuantitatif yang digunakan untuk mengukur kinerja atau hasil bisnis. Dapat berupa angka, persentase, rasio, atau statistik lainnya yang menggambarkan berbagai aspek bisnis. Contoh-contohnya seperti; pendapatan, laba bersih, pertumbuhan penjualan, pangsa pasar, kepuasan pelanggan, tingkat churn (tingkat kehilangan pelanggan), dan lain sebagainya. Metriks membantu dalam pemantauan dan pemahaman tentang kinerja bisnis secara keseluruhan. Pengusaha, pemilik bisnis, atau pimpinan perusahaan tidak bisa memilih perihal 'numbers' ini. Mau tidak mau harus menyukai bagian pekerjaan ini. Kalau kurang menyukai atau tidak merasa menguasai, bisa memilih mitra atau merekrut yang ahli di bidang ini.
KPIs merupakan kepanjangan dari 'key performance indicators'. KPIs adalah subset dari metriks yang dipilih dengan sengaja untuk mengukur kinerja kunci suatu organisasi atau unit bisnis dalam mencapai tujuan strategisnya. KPIs adalah metriks yang paling relevan dan signifikan dalam mengukur keberhasilan dalam mencapai sasaran bisnis. KPIs umumnya terkait dengan tujuan bisnis yang spesifik, seperti meningkatkan pangsa pasar, meningkatkan retensi pelanggan, meningkatkan efisiensi operasional, meningkatkan profitabilitas, atau mencapai target penjualan. KPIs membantu dalam menentukan fokus perusahaan dan memberikan petunjuk langsung tentang apakah bisnis berada di jalur yang benar atau tidak.
Selanjutnya, profit maximizers adalah istilah yang merujuk pada strategi atau pendekatan dalam optimalisasi bisnis yang bertujuan untuk mencapai keuntungan maksimum. Konsep ini sering digunakan dalam konteks manajemen keuangan dan strategi bisnis. 'Profit maximizers'Â berfokus pada peningkatan pendapatan dan mengurangi biaya dengan cara yang menghasilkan keuntungan tertinggi.
Dalam praktiknya, profit maximizers melibatkan berbagai tindakan, seperti meningkatkan penjualan, mengoptimalkan harga produk atau layanan, mengendalikan biaya produksi atau operasional, meningkatkan efisiensi, atau mengeksplorasi peluang baru untuk memperoleh pendapatan tambahan. Pendekatan ini sering melibatkan analisis matematis dan pemodelan keuangan untuk mengidentifikasi strategi terbaik yang dapat menghasilkan keuntungan maksimum.
Namun, perlu dicatat bahwa sementara profit maximizers berfokus pada pencapaian keuntungan maksimum, ada faktor lain yang juga harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan bisnis yang holistik. Misalnya, faktor-faktor seperti etika bisnis, keberlanjutan, dan kepuasan pelanggan juga harus diperhitungkan untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang dan reputasi bisnis yang baik.
Dalam konteks optimalisasi bisnis, acceleration mengacu pada peningkatan kecepatan atau percepatan proses bisnis, yang bisa berarti mengurangi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas atau meningkatkan efisiensi operasional untuk mencapai hasil yang lebih cepat.
Sedangkan scale mengacu pada pertumbuhan bisnis dalam skala yang lebih besar. Skala ini mencakup perluasan operasi bisnis, meningkatkan kapasitas produksi, atau menargetkan pangsa pasar yang lebih luas. Skala bisa berarti meningkatkan volume penjualan, jumlah pelanggan, atau berekspansi ke lokasi baru.
Dalam optimalisasi bisnis, akselerasi dan skala sering kali berhubungan erat. Misalnya, dengan meningkatkan kecepatan proses produksi, sebuah perusahaan dapat menghasilkan lebih banyak barang dalam waktu yang lebih singkat, yang berarti meningkatkan skala operasi bisnisnya. Demikian pula, dengan meningkatkan efisiensi pemasaran atau distribusi, perusahaan dapat mencapai pangsa pasar yang lebih luas, yang pada gilirannya dapat memicu pertumbuhan dan skala bisnis.
Tujuan dari akselerasi dan skala, dalam optimalisasi bisnis, agar dapat mencapai pertumbuhan yang lebih cepat dan efisien, meningkatkan produktivitas, memperluas pangsa pasar, dan mengoptimalkan kinerja keseluruhan perusahaan. (BIS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H