Ada juga beberapa kritik terhadap penggunaan pendekatan neurosains ini dalam konteks manajemen strategik (the case against neurostrategy). Beberapa kritik tersebut termasuk kurangnya pemahaman tentang kompleksitas otak manusia, kesulitan dalam menghubungkan temuan neurosains dengan konsep manajemen strategik yang lebih luas, dan masalah etis yang muncul dalam penggunaan teknologi neuroimaging. Meskipun demikian, Powell mengakui neurosains memiliki potensi untuk memberikan wawasan baru tentang manajemen strategik dan memberikan saran tentang cara mengatasi tantangan dan batasan dalam menggunakan pendekatan neurosains dalam konteks manajemen strategik.
Masa depan neurostrategi (the future of neurostrategy), disampaikan bagaimana prospek akan datang mampu menerapkan pendekatan-pendekatan ilmu neurosains tersebut (applied neuroscience) terutama dalam konteks manajemen strategik. Neurosains memiliki banyak potensi untuk menawarkan perspektif baru tentang manajemen strategik, khususnya yang berkaitan dengan pembelajaran organisasi (organizational learning), motivasi, dan pengambilan keputusan (decision making). Kompleksitas otak manusia dan keprihatinan etis yang ditimbulkan oleh penggunaan teknologi neuroimaging hanyalah beberapa dari kesulitan dan batasan penerapan pendekatan ilmu neurosains dalam konteks manajemen strategik.
Prospek penerapan neurosains dalam konteks manajemen strategik dirincikan ke dalam beberapa bagian, yaitu; a) group decision making, b) attention, c) exploration dan exploitation, d) decision making with uncertain implementation, e) corporate, competitive dan collaborative strategy, f) firm routines dan incentives, g) leadership dan entrepreneurship, serta h) decision making with advice.
Pembahasan neurostrategi ini memberikan kita wawasan baru tentang bagaimana manajemen strategik dapat ditingkatkan. Namun tetap memiliki tantangan tersendiri dan batasan dalam menggunakan pendekatan neurosains pada konteks manajemen strategik, serta memberikan saran tentang cara mengatasi masalah tersebut. Neurostrategi merupakan bidang penelitian baru yang menggabungkan manajemen strategik dengan neurosains perilaku. Neurostrategi menawarkan banyak peluang untuk memahami lebih dalam tentang bagaimana skema kognitif dan perilaku manusia memengaruhi pengambilan keputusan strategik dalam organisasi. Konsep neurostrategi ini memberikan referensi untuk penelitian terkait di bidang manajemen strategik dan neurosains kognitif.
Di dalam buku yang berjudul: "Neuroleadership - A Journey Through the Brain for Business Leaders" yang ditulis oleh Ghadiri, dkk. (2012), pada bab pertama, dijelaskan pemahaman istilah selain neuroeconomics dan neurobusiness. Disiplin ilmu yang telah muncul dalam beberapa tahun terakhir termasuk neuromarketing, neurofinance, neuroleadership, dan neuromanagement. Kemudian, semakin banyak istilah lainnya, seperti neurocoaching, neurocommunication, dan neurostrategy, muncul dalam berbagai konteks dan melalui beberapa sumber.
Di dalam buku itu dijelaskan bahwa; faktanya istilah seperti 'strategi' biasanya dimodifikasi dengan kata 'neuro' menunjukkan betapa berakar dalam disiplin 'lama' disiplin itu dan bagaimana disiplin tersebut tidak sepenuhnya baru. Akibatnya, masing-masing bidang istilah disiplin ilmunya (pemasaran, keuangan, operasional, SDM, dll.) tidak berubah; sebaliknya, cara berpikir (mindset) dan metode serta alat yang digunakan berubah sebagai hasil dari peningkatan akses ke ilmu otak. Ghadiri dkk. mengusulkan istilah 'NeuroBusiness Administration' di bawah payung ekonomi (neuroekonomi) mencakup 4 bidang utama; 1) neuromarketing, 2) neurofinance, 3) neuroleadership, dan 4) neuromanagement (Ghadiri, dkk., 2012).
Pada intinya, penelitian Powell tersebut berhasil memunculkan konstruk baru; 'neurostrategi' dan telah banyak memberikan kontribusi yang berharga bagi literatur pada bidang-bidang manajemen strategik (strategic management). Bukan hanya memunculkan istilah baru saja, namun dengan membahas potensi neurosains telah memberikan wawasan baru tentang bagaimana manajemen strategik dapat ditingkatkan. Sesuai dengan tren dan evolusi pengembangan riset manajemen strategik ke depan, adanya peningkatan isu-isu khusus jurnal manajemen strategik yang berusaha mengeksplorasi batas-batas pengetahuan di lapangan dan hubungannya dengan disiplin ilmu lain (Guerras-Martn, dkk., 2014).
Sesuai judul tulisan ini, bagian bahasan kedua juga merupakan faktor krusial agar sukses berbisnis dalam mengembangkan usaha dan perusahaan (firms and coporates). Terutama di dalam Revolusi Industri 4.0 (4IR atau 4th Industrial Revolution), dan di kehidupan Society 5.0, Era Digital di dunia yang VUCA ini (volatility, uncertainty, complexity, ambiguity). Alessandro Lanteri (2021) mendefinisikannya menjadi 6 faktor penggerak strategik atau six strategic drivers. Studi penelitiannya menggunakan metode-metode penelitian bisnis kualitatif (inductive case studies)Â dan metode 'foresight' (driver analysis).
Enam penggerak yang sering dikenal dengan singkatan 'CLEVER' ini, terdiri dari; a) kecerdasan kolaboratif (collaborative intelligence), b) sistem pembelajaran (learning systems), c) teknologi eksponensial (exponential technologies), d) fasilitasi nilai (value facilitation), e) kepemimpinan etis atau kejuaraan beretika (ethical championship), dan f) pengambilan keputusan yang responsif (responsive decision making). Di era 4IR ini, para pemimpin bisnis dituntut senantiasa menggunakan enam penggerak tersebut sebagai bahan informasi pengambilan keputusan mereka.
Bisnis harus terus beradaptasi dengan perubahan eksogen dan mendorong inovasi endogen agar tetap sukses. Beberapa prinsip strategi harus berubah, beradaptasi dengan perubahan. Seperti kemunculan beberapa teknologi baru; AI (artificial intelligence), IoT (internet of things), distributed ledgers dan blockchains, AR (augmented reality), VR (virtual reality), additive manufacturing dan 3-D printing. Semuanya telah menjadi kenyataan, kemajuan teknologi ini memberdayakan perilaku konsumen yang baru dan model bisnis digital yang memicu era 4IR tersebut (Lanteri, 2021).
Seperti diuraikan sebelumnya, salah satu penggerak utamanya adalah kecerdasan kolaboratif atau collaborative intelligence (CI). Kecerdasan ini tidak hanya antar manusia, namun termasuk menggabungkan keterampilan manusia dan mesin organisasi serta mengalokasikan tugas berdasarkan kekuatan. Dengan bantuan mengoordinasikan berbagai keterampilan secara cerdas, CI merespons ketidakpastian yang tinggi dan perubahan yang cepat. Lanteri memberikan contoh bahwa Wikipedia mengilustrasikan kekuatan kecerdasan kolaboratif. Menurutnya, kecerdasan kolaboratif tidak muncul hanya dengan menggabungkan bersama-sama keahlian yang berbeda, tetapi pada akhirnya tergantung pada proses koordinasi mereka.
Sistem pembelajaran atau learning systems adalah penggerak kedua. Di era sekarang ini kita dibanjiri dengan data dan informasi. Organisasi memiliki akses untuk memperoleh data dan informasi dengan jumlah yang terus meningkat. Mulai dari informasi demografis hingga kebiasaan berbelanja, dari interaksi sosial hingga riwayat pencarian online, dan dari geolokasi hingga kepribadian. Kumpulan data ini sangat besar sehingga disebutnya sebagai 'big data'. Untuk memprosesnya, organisasi dapat mempekerjakan machine learning algorithms.