Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community
Jakarta, Rabu, 12 Juli 2023. Berangkat dari pertanyaan; "Apakah manajemen strategik memerlukan neurosains?" Manfaat potensial penelitian otak untuk mempelajari dan menerapkan manajemen strategik (strategic management) telah dikaji dan dibahas secara detil oleh Thomas C. Powell (2011). Tujuan penelitiannya untuk memberikan gambaran tentang bagaimana ilmu neurosains dapat meningkatkan pemahaman kita terhadap aplikasi manajemen strategik, serta apa saja limitasi dan tantangannya. Penelitian tersebut juga menawarkan rekomendasi agar dapat menyelesaikan masalah metodologis potensial yang dapat terjadi saat menerapkan kerangka ilmu neurosains pada penelitian manajemen strategik.
Hasil studinya menyatakan bahwa melalui aplikasi neurosains (applied neuroscience)Â pada proses perencanaan strategik menjadi lebih efektif, karena para pelaku bisnis dan cendikiawan menjadi lebih memahami bagaimana otak membuat dan mengambil keputusan. Penelitian tersebut membahas atribusi kausal, topik hangat dalam penelitian strategi perilaku, dan menjelaskan mengapa banyak pertanyaan penelitian masih terbuka. Oleh karena itu, agar subjek penelitian yang dibahas lebih mudah dipahami, peneliti memberikan informasi latar belakang yang relevan.
Potensi kemajuan ilmu neurosains berpengaruh kepada efektivitas penerapan strategi perusahaan. Melalui perkembangan pengetahuan ilmu otak, akan banyak penelitian neurostrategi (neurostrategy)Â di masa depan yang memajukan pemahaman dan praktik manajemen strategik. Tidak dapat disangkal bahwa ilmu otak dan neurosains berdampak pada ilmu sosial. Studi tentang otak telah mendapat banyak dukungan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk antropologi, ilmu politik, psikologi sosial, hukum, dan sosiologi. Output dari neuroekonomi telah tumbuh secara signifikan selama hampir dua dekade terakhir dan tidak menunjukkan tanda-tanda melambat. Setiap sekolah bisnis yang ingin tetap kompetitif harus bekerja sama dengan peneliti yang menggunakan penelitian otak dalam bidang pemasaran, kepemimpinan, keuangan, dan manajemen sumber daya manusia (Powell, 2011).
Dasar-dasar psikologis dari praktik strategi dan penilaian eksekutif (executive judgment) serta proses pengambilan keputusan (decision making process) adalah dua topik yang telah lama diminati oleh manajemen strategik (Hodgkinson, 2008). Semakin kita memahami otak, semakin baik jika pengambilan keputusan eksekutif dan perilaku itu penting. Untuk mengembangkan tingkat skeptisisme yang sehat, peneliti dalam bidang strategi harus menyadari apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh ilmu neurosains. Menurut Rumelt, Schendel, dan Teece (1994), akademisi tertentu di bidang manajemen strategik mungkin skeptis tentang validitas penelitian yang menggunakan perusahaan dan industri sebagai unit studi utamanya.
Ilmu lokalisasi otak (brain anatomy) pertama kali dikembangkan oleh Hippocrates dan dokter Romawi Galen, yang mempelajari otak domba (the case for neurostrategy). Peneliti modern Marie-Jean-Pierre Flourens (1794-1867) dan Jean Baptiste Bouillaud (1796-1881) mengidentifikasi proses 'ucapan' yang terjadi di bagian otak lobus frontal depan (gyrus frontalis inferior),  dan mengembangkan teori asimetri lateral (perbedaan antara belahan otak kiri dan kanan), sedangkan Paul Broca (1824-1880) mengidentifikasi proses 'pembicaraan' yang terjadi di daerah otak lobus frontal kiri yang sekarang dikenal dengan sebutan 'broca area'.
Pada saat sekarang, para neurosaintis dunia terus melakukan studi terkait dengan lokalisasi otak ini melalui beberapa tingkat analisis, yaitu; tingkat molecular, cellular, systemic, dan behavioral. Beberapa disiplin ilmu yang termasuk ke dalam neurosains perilaku (behavioral neuroscience), yaitu; neuroeconomics, neuromarketing, social neuroscience, cognitive neuroscience, dan affective neuroscience. Sementara fokus lama pada general managers (GM) dalam bidang strategi merupakan dasar dari argumen neurostrategi. Kebijakan dan strategi bisnis adalah "bidang yang berurusan dengan tugas dan masalah general managers serta mereka yang mengelola organisasi multibisnis atau divisi bisnis multifungsi," menurut Academy of Management. Strategi adalah "tindakan utama yang muncul diambil oleh para GM mewakili pemiliknya, yang melibatkan penyebaran sumber daya (resources), untuk meningkatkan kinerja bisnis dalam konteks eksternal mereka," (Hambrick, dan Chen, 2007: 944).
Landasan strategic management yang merupakan gagasan bahwa sikap dan hubungan sosial manajer umum (general managers) berdampak pada operasi dan output organisasi mereka. Seperti yang terlihat pada penelitian-penelitian strategi di kalangan esalon atas, berkaitan dengan; executive perceptions, risk preferences, beliefs, cognitive schema, attention, causal attributions, competitor perception, dan aspirations (Mezias, Chen, and Murphy, 2002). Selama otak (brain) dan CNS (central nervous system) berperan dalam kognisi, pengaruh (affect), dan persepsi sosial, peneliti bidang strategi harus bersyukur menyambut baik kesempatan ini untuk memeriksa kontribusi behavioral neuroscience. Beberapa kontribusi dimaksud untuk neurostrategi yang dibahas di dalam penelitian tersebut; 1) validasi konstruk, 2) pengujian teori, dan 3) menginformasikan praktik strategi (Powell, 2011).
Berkaitan dengan 'validasi konstruk' neurostrategi ini diberikan contoh bahwa neurosains menghubungkan gagasan mental yang tidak teramati (unobserved mental construct) seperti keengganan kehilangan (loss  aversion) dengan peristiwa fisiologis otak, yang merupakan salah satu cara kontribusinya dalam penelitian ilmu sosial. Secara neural dikodekan di dalam otak bagian striatum dan vlPFC (ventro lateral prefrontal cortex). Sedangkan pada bagian 'pengujian teori', melalui alat bantu fMRI (functional magnetic resonance imaging) 'mental image' terwakili di otak pada area korteks visual (occipital lobes). Tujuannya untuk secara eksperimental menilai antara teori-teori yang sangat sulit dibedakan melalui tes prediksi pasar menggunakan bukti otak.
Selanjutnya pada bagian 'menginformasikan praktik strategi', dijelaskan bagaimana alat pemindaian otak (brain scans) digunakan oleh para pengacara (lawyers) untuk mendemonstrasikan kapasitas mental terdakwa, dan konsultan juri menggunakan data neurosaintifik untuk meramalkan hukuman dan pembayaran kembali dalam keputusan juri. Demikian pula konsultan neuromarketing menggunakan alat tersebut untuk menilai bagaimana konsumen bereaksi secara kognitif dan emosional terhadap atribut produk, kemasan, dan kampanye iklan. Serta di bidang neuropolitics, para kandidat dapat menargetkan preferensi kognitif pemilih dengan menggunakan studi neurosains mana yang pemilih liberal dan mana yang penganut politik konservatif (Powell, 2011).