Begitu pula corpus callosum yang menghubungkan kedua hemisphere otak perempuan jumlahnya lebih banyak atau lebih besar kecepatan 'bandwith'-nya, karenanya kecenderungan kemampuan dan kebiasaan berpikirnya (neural pathways) lebih holistik dan seakan-akan lebih multi-tasking. Bisa menjadi suatu kekuatan tersendiri dari segi kepemimpinan secara holistik dan inklusif. Begitu pula, alasan beberapa perusahaan menunjuk perempuan menjadi CEO (chief executive officer) atau menjadi pemimpin dalam organisasi lainnya. Walau dalam proses pengambilan keputusan sebenarnya tidak ada yang paralel dilakukan secara bersamaan. Proses komunikasi datanya antar limbik dan PFC (prefrontal cortex) lebih secara sequential, atau berurutan.
Kecenderungan-kecenderungan fungsi otak perempuan yang lebih detil, lebih teliti dan lebih telaten, serta lebih sabar (slow thinking) menjadi kekuatan-kekuatan tersendiri, walau masih banyak perlu penelitian-penelitian lebih lanjut. Perbedaan-perbedaan secara kimia seperti produksi dan peredaran chemicals flow di kepala (neurotransmitter, hormon, enzim, dll), seperti; estrogen, testosteron, oksitosin dan vasopressin. Serta kecenderungan ukuran fisik organ-organ struktur otak seperti; hippocampus, amygdala, locus coeruleus-noradrenergic system dan lain-lain.
Diperlukan juga penelitian lebih lanjut terkait proses pengambilan keputusan dan berpikirnya otak pria dan perempuan, bagaimana studi dan analisis komparasinya. Khususnya terkait 3 sirkuit jaringan otak yang terlibat dalam pengambilan keputusan; default mode network, salience network, dan central executive network.
Memaksimalkan Kinerja dan Peranan Perempuan
Di Indonesia sudah banyak perempuan menempati posisi penting dan telah membuktikan kinerjanya. Baik sebagai pimpinan perusahaan (CEO) di BUMN atau pun perusahaan swasta. Bahkan tidak main-main, posisi menteri keuangan saat ini masih diduduki oleh perempuan. Salah satu lembaga yang sangat krusial tentunya, perempuan terbukti dapat menjalankan fungsi dan peranannya. Bagaimana kajian neurosainsnya? Bila aktivitas sirkuit otak limbik para kaum perempuan lebih aktif dibandingkan pria, dengan menggunakan logika sederhana hukum kekekalan energi, bisa jadi aktivitas jaringan sirkuit yang melibatkan organ PFC (prefrontal cortex) yang menjalankan fungsi eksekutif menjadi lebih berkurang.
Namun dengan konsep neuroplastisitas semuanya bisa dilatih. Tidak ada yang fixed dan given. Neurons that fire together wire together, if we don't use it we lose it. Kalimat pertama ini telah menjadi pepatah, yang telah disampaikan sejak tahun 1949 oleh seorang neuropsychologist; Donald Olding Hebb. Beliau digambarkan juga sebagai bapak ilmu neuropsikologi. Namun, sebuah makalah yang diterbitkan baru-baru ini di Neuron menunjukkan bahwa; selain kesamaan respons, target proyeksi juga membatasi konektivitas lokal (Kim, dkk., 2018). Aplikasi konsep neuroplasticity dalam pengertian proses pembelajaran (learning, unlearning, relearning), bahwa; dengan mencoba melakukan (creating new synapses) dan repetisi pengulangan yang menebalkan neural pathways, otak kita mampu beradaptasi dan tidak membedakan gender apakah dia pria ataupun perempuan.
Disrupsi teknologi dan pandemi COVID-19 hanya merupakan sebagian dari perubahan itu sendiri. Dengan kelebihan yang memiliki kemampuan bandwith koneksi antar belahan otaknya tadi lebih besar dibanding pria, kaum perempuan memiliki keunggulan lebih fleksibel dalam berpikir kognitif dalam menyikapi perubahan. Mereka terus akan membuka diri terhadap perubahan dan senantiasa berpikiran bertumbuh. Unlock your brain dan rewiring your brain menjadi sangat akrab di kuping perempuan. Kemampuan mereka berdigital seperti digital skills, digital ethics, digital safety dan digital culture dengan sabar dan uletnya secara terus menerus mau beradaptasi dengan meluangkan lebih banyak waktunya untuk membaca. Sementara literasi baca merupakan basis atau kata kunci suksesnya untuk meningkatkan literasi digital. Mereka menjadi contoh tidak hanya kepada kaumnya saja, namun juga kepada keluarganya, tim yang dipimpin, maupun orang-orang yang berada di sekitarnya.
Dalam menghadapi perubahan yang terus terjadi dan semakin cepat terjadinya, perempuan tetap lebih tenang menyikapinya dan relatif lebih cepat beradaptasi.
Peran perempuan dalam perubahan menjadilah sangat vital. Aslinya atau sifat dasar otak mereka menyukai perubahan atau menyukai hal-hal yang baru (novelty). Sehingga sering disebut; perempuan adalah kunci perubahan! Namun anehnya mereka juga akan mudah menjadi stress manakala terlalu banyak perubahannya. Karena otak kita menyukai sesuatu yang dikenal (familiarity) dan mencintai simplicity.Â
Sebagian besar dari kaum perempuan dalam menghadapi perubahan yang bergejolak selama memasuki pandemi kemarin, mereka tidak panik karena bagi mereka mengenali pandemi ini sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu, walau jenis virusnya saja yang berbeda. Mereka dengan tekun mempelajarinya dari internet dan berita, melalui media sosial dan konvensional serta para narsum dan pakar di bidangnya. Sehingga mereka juga berkeyakinan bahwa pandemi dapat diperkirakan tidak akan terjadi di sepanjang masa. Mereka hanya membutuhkan arahan perubahan ini dan membagikannya kepada orang-orang di sekitarnya sebagai pengaruh positif. Mereka mulai khawatir bila tidak ada kepastian atau sinyal-sinyal indikasi bahwa pandemi ini akan segera berakhir. Walau mengenalnya, mereka hanya perlu waktu untuk memahami cara pencegahan dan penanganan secepatnya saat terjangkit atau dinyatakan positif. Bagi sebagian perempuan ada juga yang merasakan dan melihatnya pandemi sebagai sesuatu yang asing, namun berkeyakinan bisa diramalkan dan akan ada akhirnya. Dengan sabar dan telaten mereka mencoba menguraikan permasalahan yang menimbulkan keresahan satu per satu. Mereka membutuhkan clarity untuk meyakinkan tim dan orang-orang terdekatnya. Namun sebagian kaum perempuan yang kebingungan juga akan segera dapat ditenangi sesama kaum perempuan lainnya. Mereka belajar bagaimana memiliki sikap yang agile dalam menyikapi segala perubahan yang sedang dan akan terjadi.
Dalam konteks memimpin atau berhubungan dengan individu lainnya, seperti bermedia sosial, kaum perempuan lebih banyak mengharapkan feedback atau tanggapan. Mereka akan lebih senang bila kolom komentar terisi. Akan menjadi sedih bila berjam-jam atau berhari-hari tidak ada yang menyapanya, tidak ada yang mengomentari atau memberikan tanggapan. Tidak ada yang like atau memberikan jempol, tidak ada yang memberikan penanda love atau menyukai, dan tidak satupun orang yang merespon dengan tulisan (texting) dan gambar (image), serta video pendek ataupun gambar bergerak (gif). Namun uniknya mereka juga akan stress dan marah bilamana memperoleh tanggapan atau komentar namun yang destruktif menyakitkan hati, atau tidak konstruktif.