Mohon tunggu...
Bambang Iman Santoso
Bambang Iman Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - CEO Neuronesia Learning Center

Bambang Iman Santoso, ST, MM Bambang adalah salah satu Co-Founder Neuronesia – komunitas pencinta ilmu neurosains, dan sekaligus sebagai CEO di NLC – Neuronesia Learning Center (PT Neuronesia Neurosains Indonesia), serta merupakan Doctoral Student of UGM (Universitas Gadjah Mada). Lulusan Magister Manajemen Universitas Indonesia (MM-UI) ini, merupakan seorang praktisi dengan pengalaman bekerja dan berbisnis selama 30 tahun. Mulai bekerja meniti karirnya semenjak kuliah, dari posisi paling bawah sebagai Operator radio siaran, sampai dengan posisi puncak sebagai General Manager Divisi Teknik, Asistant to BoD, maupun Marketing Director, dan Managing Director di beberapa perusahaan swasta. Mengabdi di berbagai perusahaan dan beragam industri, baik perusahaan lokal di bidang broadcasting dan telekomunikasi (seperti PT Radio Prambors dan Masima Group, PT Infokom Elektrindo, dlsbnya), maupun perusahaan multinasional yang bergerak di industri pertambangan seperti PT Freeport Indonesia (di MIS Department sebagai Network Engineer). Tahun 2013 memutuskan karirnya berhenti bekerja dan memulai berbisnis untuk fokus membesarkan usaha-usahanya di bidang Advertising; PR (Public Relation), konsultan Strategic Marketing, Community Developer, dan sebagai Advisor untuk Broadcast Engineering; Equipment. Serta membantu dan membesarkan usaha istrinya di bidang konsultan Signage – Design and Build, khususnya di industri Property – commercial buildings. Selain memimpin dan membesarkan komunitas Neuronesia, sekarang menjabat juga sebagai Presiden Komisaris PT Gagasnava, Managing Director di Sinkromark (PT Bersama Indonesia Sukses), dan juga sebagai Pendiri; Former Ketua Koperasi BMB (Bersatu Maju Bersama) Keluarga Alumni Universitas Pancasila (KAUP). Dosen Tetap Fakultas Teknik Elektro dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Surapati sejak tahun 2015.

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Mempromosikan Budaya Indonesia Melalui Media Digital

17 Agustus 2021   12:57 Diperbarui: 18 Agustus 2021   00:29 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Bambang Iman Santoso, Neuronesia Community

Selasa, 17 Agustus 2021. Tanpa disadari kehidupan sehari-hari kita sudah sangat dekat dengan dunia digital. Peradaban manusia signifikan jauh berbeda dengan 10-20 tahun yang lalu. Lawrence (2013) telah mendefinisikan bahwa 'new normal' sesungguhnya adalah perubahan yang terus berlangsung dan semakin cepat terjadi. Disrupsi digital tidak dapat dihindari memengaruhi lingkungan semua sendi kehidupan kita yang terus bergejolak dan turbulensi, penuh ketidakpastian, sangat rumit dengan kebaruan, dan selalu membingungkan, serta menimbulkan keberagaman yang semakin kompleks. Dikenal dengan istilah VUCA/TUNA/D-VUCAD World.

Disrupsi Digital menimbulkan diversity semakin kompleks. Indonesia dikenal dari dulu sebagai ahlinya keberagaman, hingga keluar kalimat falsafah berbunyi 'Bhinneka Tunggal Ika' yang digenggam oleh kaki burung Garuda Pancasila. Bayangkan, dari Sabang sampai dengan Merauke terbentang 17.504 pulau, yang terdiri dari 1.331 suku etnis, dengan 741 bahasa daerah yang berbeda, serta memiliki 245 aliran kepercayaan dan 6 agama resmi (Sumber: Dokumentasi Kristianus Nugroho, 2019).

Dengan adanya disrupsi digital sebagai dampak kemajuan teknologi informasi komunikasi (TIK), masyarakat Indonesia hari ini telah memiliki hak akses informasi yang sama, selama memiliki gawai atau perangkat digital dan menangkap sinyal baik gratis maupun berbayar. Sementara mereka umumnya memiliki kemampuan literasi baca dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Ditambah lagi selama dua dekade ini kita telah memasuki alam demokrasi yang membebaskan setiap orang berbicara, berpendapat atau berkomentar terutama di ruang digital tersebut. Sehingga diversity benar-benar semakin beragam. Sesungguhnya cognitive diversity merupakan potensial yang dahsyat bila kita lihai mengelolanya melalui cognitive collaborations. Namun sebaliknya, bila tak pandai akan menimbulkan kekisruhan dan kegaduhan yang berujung pada perpecahan.

Transformasi Digital

Transformasi digital menyebabkan bergesernya paradigma secara umum. Zaman now lebih mengutamakan kolaborasi dibanding kompetisi berdarah-darah yang hanya menimbulkan banjir kortisol di kepala. Stres akan memutus-mutuskan sinaps sambungan antar sel-sel otak neurons kita. Membuat bodoh dan melemahkan sistem imun tubuh manusia. Era sekarang adalah eranya berbagi dan bertukaran pikiran, informasi, pengetahuan serta pengalaman (new era = mind share). Tidak hanya sibuk memperluas atau mempertahankan pangsa pasar (market share).

Berkolaborasi dengan masing-masing pihak pada dasarnya menyadari kekuatan dan kelemahan kita juga orang lain. Mereka sadar betul, bahwa setiap orang berbeda. Every connectome is unique, every brain is unique. Masing-masing pastinya memiliki kelebihan (strengths). Fokus hanya kepada kelebihan atau kekuatan ini saja (strengths-based approach). Membangun kompetensi memang penting, namun semuanya dapat dipelajari, semuanya bisa dilatih. 

Repetisi adalah proses pengulangan menebalkan neural pathways atau jalan-jalan pikiran yang membentuk kebiasaan dan ketrampilan. Dasar pembentukan budaya, baik secara sadar maupun tidak.

Dalam 1-2 dekade ini, Indonesia sangat mengalami banyak kemajuan infrastruktur jaringan telekomunikasi. Kita harus berterima kasih kepada mereka yang telah berjasa membangun infrastruktur tersebut dan membesarkan industri ini. Namun ada 2 catatan khususnya terkait dengan budaya digital bangsa kita. Pertama, kemajuan pemanfaatan sistem informasi yang pesat tadi belum diimbangi dengan literasi baca dan literasi digital yang kuat. Konten positif yang mengedukasi dan mendidik memberikan ilmu pengetahuan masih relatif sedikit dibandingkan dengan konten negatif.

Kedua, di balik kesuksesan infrastruktur jaringan tadi, dari sisi teknologi informasi kita masih diperlakukan sebagai pasar yang didominasi hanya menggunakan karya teknologi luar (users). Bayangkan semua peralatan elektronik telekomunikasi tadi bila kandungan lokalnya mayoritas diproduksi oleh anak bangsa. Tidak hanya peralatan jaringan telekomunikasi, bahkan gawai (gadget) atau electronic devices seperti komputer (PC, desktop, notebook, macbook, netbook, dlsbnya) dan smartphone (handphone, iphone, android phone, tap, pad, dll) semuanya masih import. Menyedihkan memang, tapi faktanya sperti itu.

Karenanya literasi digital masyarakat menjadi mendesak untuk segera ditingkatkan. Kemampuan digital (digital skills) menjadi sangatlah penting dimiliki oleh setiap anak bangsa. Menjadi kemampuan umum yang disyaratkan untuk setiap warga negara kita. Seringkali netizen Indonesia menjadi terkesan tidak etis atau dikenal paling tidak sopan, disebabkan bukan karena mereka memang benar-benar berniat berbuat jahat. Namun umumnya karena lebih banyak mereka yang tak cakap (unskilled) memanfaatkan teknologi media digital ini. Bahkan banyak yang secara tidak sadar telah membahayakan keselamatan diri atau orang lain dalam bermedia digital karena kemampuan literasi digitalnya tadi masih sangat rendah (unsafe & unsecure).  

Digital Citizenship

Mari mulai saat ini kita bangun kebiasaan dan berbudaya digital yang sehat dan cemerlang. Niatkan meggunakan internet dan manfaatkan media digital hanya untuk melakukan suatu hal kebaikan. Beruntung Indonesia sudah punya prinsip dan jati diri yang kuat. Di dunia nyata kita dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah dan sopan santun. Hal ini menjadi modal utama yang kuat. 

Di dunia yang baru; digital age, new medium, dunia digital atau dunia maya, Pancasila harus tetap menjadi prinsip-prinsip kita bermedia sosial (digital citizenship). 

Kita tidak usah marah dan protes oleh perusahaan yang melakukan survai dan mengindikasikan sebagai bangsa yang paling tidak sopan. Namun sebaliknya kita harus berterima kasih karena sudah diingatkan. Sehingga kita dapat bangkit bersama-sama mengembalikan citra tadi (rewiring our brains). Ingat; prinsipnya, otak setiap manusia negara mana pun adalah sama. Otak kita plastis, dapat berubah sepanjang usia. Diperkuat oleh temuan dan kajian neurosains yang menelurkan konsep neuroplastisitas (neuroplasticity). Bahwa otak kita dapat berubah sepanjang usia.

Kita bisa melatih dan membangun kebiasaan-kebiasaan positif. Creating new synapses dan menebalkan neural pathways, serta memutus-mutuskan kebiasaan lama yang buruk. Melatih untuk meminimalis pikiran-pikiran otomatis kita agar tidak selalu ingin segera meggerakkan jari jemari kita. Jejak rekam digital kita sangatlah kejam (digital footprint). Lebih kejam dari ibu tiri. Tunda dulu dan berpikir ulang berkali-kali sebelum bertindak menekan tombol 'enter'. Apakah apa-apa yang kita posting akan berdampak buruk dan menyakitkan perasaan orang lain? Apakah memang benar-benar bermanfaat untuk orang lain? Mengandung makna yang baik atau tidak? 'Saring sebelum sharing'.

Society 5.0

Jepang telah menyadari ini semua. Di dalam konsep Society 5.0 mereka menyebutnya sebagai super smart society atau human-centered society. Bahwa dalam menyikapi perubahan bagi mereka bukan kemajuan teknologi yang lebih penting, namun manusianya lah sebagai faktor utama. Setiap orang dan setiap bangsa akan menyikapi perubahan yang berbeda-beda. Seperti sekarang ini, bagi masyarakat Indonesia pandemi justru mempercepat proses bertransformasi digital. Pada umumnya secara garis besar; perubahan akan disikapi sebagai kabar baik (good news) atau sebaliknya sebagai kabar buruk (bad news). Sayangnya bila itu dianggap sebagai kabar buruk, kecenderungan emosi kita sangat cepat menular. Manusia sebagai mahluk sosial - yang memiliki fungsi otak sosial (social brain) bekerja atas dasar prinsip MNS atau mirror neurons system. MNS bangsa kita sangat efektif bekerja.

Menyikapi Perubahan Kemajuan Digital

Selain cepat menular (viral) dan berpotensi memengaruhi orang lain, bila menyikapi perubahan sebagai bad news yang menakutkan akan menimbulkan stres dan berdampak negatif bagi dirinya. Stress memengaruhi otak, menstimulus produksi kortisol. Otak memang butuh kortisol untuk menjaga keseimbangan homeostasis di kepala. Namun jumlah yang diperlukan sedikit. Jadi stres yang sedikit sebenarnya bagus untuk meningkatkan daya resiliensi kita, sehingga semakin tangguh menghadapi perubahan.

Di dalam bermedia digital jangan mudah terpancing. Jangan mudah pundungan, baperan atau gampang tersinggung dari komentar-komentar yang negatif, serta jenis bullying lainnya atau perudungan yang melecehkan kita.  Stres yang sedikit ini disebut eustress atau stres yang baik, karena berdampak positif. Meningkatkan daya 'digital resilience' kita, yang merupakan bagian dari upaya membangun serta melatih ketangguhan mental dalam bermedia digital ('digital mental toughness'). Tentunya selain kita juga selalu bersikap positif pada perubahan dan kemajuan teknologi digital ('digital positivity'). Serta harus tetap selalu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan kejahatan digital, sampah digital, berita-berita kebohongan, hoaks dan konten-konten negatif lainnya.

Akan tetapi bila dosisnya berlebih, banjir kortisol di kepala akan memutus-mutuskan sinaps hubungan antar sel-sel otak tersebut (neurons). Sehingga membuat bodoh seseorang. Di sini lah dampak buruknya bermedia digital yang sebenarnya bila kita tak piawai mengelolanya. Kemajuan digital yang semula bertujuan mencerdaskan bangsa, malah sebaliknya tanpa sadar berpotensi membodohi masyarakat digital secara masif.

Jangan mau dijajah oleh digital, jangan larut dengan berita (amygdala hijack). Aktifkan fungsi otak PFC (prefrontal cortex) kita, naikkan kesadaran dengan mengelola nafas secara teratur, untuk meregulasi agar dapat berpikiran jernih (clear mind). Karenanya jenis stress level 2 ini disebut distress, stres yang menimbulkan dampak negatif. Sedangkan kalau hal ini terjadi berulang kali dalam jangka waktu yang panjang dalam keseharian kita, maka akan masuk ke level berikutnya, yaitu menjadi chronicle stress. Cara kerja otak yang disebut HPA axis (hypothalamic-pituitary-adrenal  axis), banjir kortisol di kepala tidak hanya membuat bodoh saja, namun juga melemahkan dan merusak sistem imun tubuh manusia. Terkait hal ini kita bisa googling untuk mengetahui lebih lanjut dengan keyword: 'PNI' atau psikoneuroimunologi (psychoneuroimmunology).

Memanfaatkan perubahan analoginya seperti kita berselancar di atas ombak. Makin tinggi ombak itu, katakan 4 s/d 5 meter, semakin senang mereka menikmatinya. Sementara bagi yang tak cakap berenang dapat tergulung ombak bahkan mengakibatkan kematian seseorang. Dalam menyikapi perubahan, pilihannya ada di kita sendiri. Apakah kita akan beradaptasi dan happy berselancar di atas perubahan, atau kita akan tergerus, tergulung dan tenggelam oleh perubahan tersebut.

Literasi Digital, Budaya Baru Bangsa 

Di Zaman Now literasi digital menjadi kemampuan umum yang wajib dimiliki setiap warga Indonesia, namun literasi baca menjadi prasyaratnya. Sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dan kekisruhan di dunia digital. Digital sebagai tools esensinya mempermudah hidup kita, bukan sebaliknya. Dia berfungsi sebagai booster kepanjangan indera kita yang memperkuat seluruh perilaku kita yang positif maupun yang negatif. Karenanya perilaku di dunia nyata harus dirapihkan dan diperbaiki terlebih dulu sebelum memiliki perilaku dan budaya digital yang baik.

Kita harus bisa tidak hanya memperkenalkan, namun juga mampu menunjukkan kepada dunia budaya kita yang sesungguhnya, yang telah dikenal baik sebelumnya, secara ajek, konsisten, persisten dan penuh komitmen yang tinggi. Banjirkan konten-konten positif di setiap elemen budaya kita. Mulai dari gastronomi atau kuliner makanan tradisional, berbagai macam jenis tarian dan karya seni anak bangsa lainnya, lagu dan dialek beragam bahasa, alam pemandangan yang indah, kekayaan flora dan fauna, taman-taman bumi geopark kita, dan lain sebagainya.

Untuk meningkatkan pemahaman literasi digital, kita jangan mau mengikuti rasa malas untuk membaca, sehingga tidak mudah terjebak dengan istilah-istilah baru tanpa memaknainya. Saat kita sebut kata 'digital' pengertiannya seperti apa. Pemahaman digital sangatlah luas. Supaya tidak tersesat, dan untuk mudah mengingatnya, cukup menyimpan kalimat pertanyaan berikut; "Is it Digital?". IS mewakili information system, dan IT merepresentasikan information technology. Kita tak usah memperdebatkan perbedaan kedua istilah tersebut. Orang mengatakan; sebelas dua belas lah. Analoginya seperti kata 'sales' dan 'marketing'. Keduanya sangat penting. IT atau teknologi informasi lebih menekankan kepada teknologi. Sedangkan literasi digital konteksnya lebih banyak pada keterampilan kita dalam memanfaatkan IS atau sistem informasi.

Agar literasi digital kita lebih mumpuni, sebaiknya kita cakap mengelola sistem informasi atau MIS (management information system). Ada 5 'ware' yang harus diperhatikan dan terampil di masing-masing area ini, yaitu: software (perangkat lunak), hardware (perangkat keras), netware atau network (jaringan), dataware-house atau database (yang nantinya ke arah teknologi Big Data), serta brainware atau end-users (sebagai sisi para penggunanya). Untuk menghasilkan budaya digital yang baik, kita tidak bisa menghindar dari kelima area ini.

Indonesia memang bukan negara super power. Tetapi termasuk negara 'super rich' dengan kekayaan sumber daya alam. Bila diimbangi dengan kecerdasan SDM-nya maka akan menjadi kekuatan baru setidaknya di Asia Pasifik. Sesuai dengan tujuan bangsa ini; "mencerdaskan kehidupan bangsa".

Gerakan Nasional Literasi Digital

Salah satu upaya serius pemerintah adalah mengejarnya dengan meningkatkan kemampuan literasi digital masyarakat. Tidak hanya mendukung pembangunan program-program aplikasi oleh anak bangsa, pemerataan coverage akses internet, atau pun perancangan kesatuan big data yang stratejik, serta program gerakan literasi digital nasional melalui 4 pilar utama (digital skills, digital ethics, digital safety, dan digital culture). Tetapi juga memikirkan penyediaan laptop buatan dalam negeri. Pemerintah akan menggelontorkan dana sebanyak Rp 17 triliun untuk memproduksi laptop karya anak bangsa (Sumber: https://jurnalmedan.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-1492270990/pemerintah-gelontorkan-anggaran-rp17-triliun-untuk-produksi-leptop-merah-putih-karya-anak-bangsa).

Berdasarkan kajian-kajian ilmiah pengetahuan ilmu neurosains modern, bahwa memintarkan otak manusia sesungguhnya adalah menyambung-nyambungkan neurons kita, sel-sel otak yang berlistrik, yang jumlahnya rata-rata sekitar 86-100 milyar. Masing-masing neurons berpeluang mempunyai hubungan (synapses) lebih dari 10.000 koneksi. Sehingga bisa membuat triliunan sinaps yang dapat dibentuk. Kalau ditarik garis lurus sambungan-sambungan tersebut bisa mencapai lebih jarak diameter galaksi bimasakti. Bila lekukan-lekukan lobus; girus dan sulkus dibeberkan menjadi bidang datar, luasnya kurang lebih hampir mencapai setengah lapangan bola standar. Setiap anak bangsa harus menyadari hal ini. Betapa dahsyatnya otak kita sebagai karunia Allah untuk tidak disia-siakan. Berhati-hatilah dengan niat dan bisikan-bisikan pikiran negatif. Tombol kendalinya ada di kita, tergantung instruksi yang diberikan kepada otak. 

Budaya Digital Indonesia

Budaya Digital Indonesia menjadi penting karena merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital. Budaya digital sejatinya merupakan hasil olah pikir, kreasi, dan cipta karya manusia berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). 

Budaya digital bukan karena terbentuk hanya adanya lingkungan yang menuntut seperti pada saat ini. Memang benar pandemi mempercepat proses transformasi digital. Tetapi kita menginginkan sebagai bangsa yang baik lebih proaktif, bukan karena reaktif. Bangsa yang memiliki inisiatif yang membangun karakter bangsa modern cerdas memanfaatkan kemajuan teknologi digital.

Karakter positif yang dimaksud tentunya tidak akan terbentuk secara instan dan hanya untuk beberapa saat saja. Tapi yang terus menerus dilakukan dari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun dan seterusnya. Karakter yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai yang tertuang di butir-butir Pancasila sudah final. Tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun cara mengkomunikasi dan mengedukasinya perlu disesuaikan dengan generasi-generasi baru secara terus menerus terkoneksi dengan internet (Gen C, generasi yang 'always connected').

Termasuk di dalamnya milenial, yaitu; generasi x, y dan z. Bahkan generasi baru yang akan sering disebut sebagai generasi alpha, generasi corona, atau generasi zoom. Mereka sering dikenal dengan sebutan sebagai 'digital native', yang dilahirkan dengan lingkungan telah serba digital. Berbeda dengan senior yang pada umumnya dikategorikan sebagai 'digital immigrant'. Mereka lebih penuh dengan tantangannya berjuang berempati dan tetap dapat berkomunikasi secara efektif kepada generasi yang lebih muda, terutama di ruang digital

Pesan yang harus disampaikan oleh para digital immigrants kepada digital natives, tidak hanya nilai-nilai luhur; agama, keyakinan, adat istiadat, sopan santun, ramah tamah, gemar menolong dan seterusnya yang telah tertuang di nilai-nilai Pancasila tadi. Mereka harus yakin, bangga dan mencintai dengan produk-produk karya anak bangsa sendiri. Mencintai produk dalam negeri artinya memprioritaskan produk-produk buatan anak bangsa dibanding hasil produksi bangsa asing. Sehingga memperkokoh pilar kehidupan ekonomi bangsa. Pengamalan Pancasila di ruang digital benar-benar diuji. Budaya digital dan komunikasi zaman now yang harus disesuaikan. Banyak masalah etika bermedia digital berawal tidak cakapnya berbahasa dan berkomunikasi dengan berbagai macam netizen yang memiliki pola pikir dan perilaku berbeda.

Setiap warga Indonesia tidak hanya memiliki hak yang sama atas akses informasi secara umum. Tapi lebih detil dijelaskan bahwa memiliki kebebasan mengakses internet, seperti ketersediaan infrastruktur, kepemilikan dan kontrol layanan penyedia internet, kesenjangan digital, kesetaraan akses antar gender, penapisan dan blokir.

Namun juga diberikan hak untuk berekspresi. Jaminan atas keberagaman konten, bebas menyatakan pendapat, dan penggunaan internet dalam menggerakan masyarakat sipil. Serta hak untuk merasa aman. Bebas dari penyadapan massal dan pemantauan tanpa landasan hukum, perlindungan atas privasi,  hingga aman dari penyerangan secara daring atau dalam jaringan (Sumber: SAFENet,  2019).

Kenapa Literasi Digital Penting Bagi Budaya Bangsa

Literasi digital bangsa penting untuk dikebut, mengejar ketertinggalan hari ini. Tantangan ke depan akan lebih berat. Human connectome project dunia sedang menyiapkan 'Digital Brain' buatan. Jaringan sirkuit otak secara bertahap semuanya akan dipetakan. Tidak hanya bagian cortex luar, sampai ke dalam limbic system otak kita (sub cortical). Robot akan terampil tidak hanya berpikir dan berperilaku rasional. Mereka akan memiliki perasaan. Mereka bisa senang dan beriperilaku sopan santun dan ramah tamah layaknya manusia. Namun juga akan dapat seakan-akan merasakan kesedihan, sakit hati, kecewa dan marah. Belum lagi kalau manusia berhasil terhubung dan terbiasa menggunakan Super Brain Computer. Baca tulisan saya di laman kompasiana ini dengan judul: "Bila Otak Telah Berhasil Terhubung ke Komputer Kuantum."

Dunia secara strategis telah menyiapkan blue print untuk mengantisipasi kemajuan teknologi digital tersebut. Masing-masing negara telah membangun standar sesuai dengan visi misi untuk mewujudkan mimpinya. Memang Jepang membangun dengan konsepnya tadi, yaitu 'Society 5.0'. Berbeda dengan China yang menargetkan 'Made in China 2025'. Sedangkan Eropa dikenal dengan gagasannya; 'Industry 4.0'. Lain lagi dengan Asia, yaitu membangun konsep 'Smart Cities'. Beda lagi  dengan Amerika dikenal dengan 'Industrial Internet'. Masing-masing cetak biru tersebut untuk mengantisipasi kesiapan IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Robotics, Big Data, dan Blockchain. Setidaknya transformasi digital telah menjadi pilar-pilar kebijakan masing-masing negara tersebut (Sumber: Mayumi Fukuyama, Society 5.0: Aiming for a New Human-Centered Society).

Contoh-Contoh Aplikasi Budaya Digital Indonesia

Dalam membudayakan digital, kita harus selalu ingat berangkat dari pemikiran bahwa digital hanya sebagai tools yang mempermudah hidup kita. Digital bukan segalanya. Terlalu banyak manfaatnya, namun juga perlu selalu diwaspadai terhadap dampak negatif. Melalui 'digital marketing strategy' yang baik, kita dapat memperkenalkan, memengaruhi dan memasarkan budaya kita kepada dunia. Gerakannya jangan sendiri-sendiri dan sporadis tanpa arah yang baik. Kita dapat memanfaatkan media sosial yang ada. Potensinya sangat dahsyat. Kalau saja menyadari setiap netizen Indonesia berpotensi menjadi agen budaya digital bangsa ini yang baik, dengan jumlah pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 ini mencapai 202,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 15,5 persen atau 27 juta jiwa jika dibandingkan pada Januari 2020 lalu. Total jumlah penduduk Indonesia sendiri saat ini adalah 274,9 juta jiwa. Ini artinya, penetrasi internet di Indonesia pada awal 2021 mencapai 73,7 persen.

Kalau jumlah itu dikuantisir, bayangkan berapa cuitan, status, texting, imaging, konten video terkait budaya dengan ciri yang khas Indonesia. Aplikasi messenger, live streaming, dan jumlah transaksi rupiah melalui ewallet dan devisa negara lewat transaksi-transaksi digital. Potensinya sangat dahsyat. Belum lagi bila kita menyediakan pelatihan-pelatihan daring (online learning) bagi netizen dunia yang ingin mengenal dan mempelajari budaya bangsa ini.

Lantas kegiatan budaya digital kita seperti apa saja, mereka ingin mengetahui seperti di dunia nyata. Budaya digital didefinisikan sebagai bentuk budaya baru dimana budaya kemanusiaan akan mendigitalkan dan berubah menjadi bentuk baru. Budaya digital adalah keseluruhan gaya hidup dan kebiasaan yang diciptakan oleh inovasi yang dibawa oleh zaman di mana manusia hidup, teknologi lebih banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Sumber : https://www.igi-global.com/dictionary/digital-culture/50701).

Salah satu bentuknya misal; penulis memperkenalkan lukisan-lukisan kaca kepada dunia. Agar semua terangkum dan terwadahi kami memberikan nama Lukisan Kaca Indonesia, atau dikenal dengan singkatan LKI. Berbentuk sebagai komunitas. Sehingga di dalamnya bisa saja pelaku atau artisan yang memang melukis dari berbagai daerah. Tidak hanya pedagang dan pembeli atau penggemar lukisan ini. Atau juga kolektor pengumpul lukisan kaca. Bisa juga para kurator yang mengamati hasil-hasil lukisan kaca yang bertebaran dari berbagai daerah dengan memiliki khas masing-masing. Belum lagi latar belakang cerita di balik setiap lukisan tersebut. Berbagai macam jenis kontennya. Ada yang lebih ke kaligrafis, ada yang lebih banyak ke arah seperti memindahkan karya batik, terkait cerita wayang ramayana, mahabrata dan lain sebagainya. Ada juga yang terkait dengan karikatur politik atau situasi kondisi saat mereka melukis. Serta  ada pula yang terkait dengan keindahaan alam Indonesia, kuliner makanan asli kita, tarian juga pakaian adat masing-masing daerah, dan seterusnya.

Lukisan kaca termasuk yang unik dan langka. Perlu dilestarikan, kalau tidak akan punah dan menghilang. Sementara bisa saja sebagian masyarakat kita malah kurang mengenal. Sedangkan minat netizen luar negeri sangat tinggi terhadap karya seni ini. Tidak seperti batik, umumnya masyarakat kita telah akrab dan mencintai. Sudah menjadi bagian kehidupan kita sehari-hari. Dipakai saat acara-acara resmi dan keseharian bekerja atau beraktivitas, tidak hanya pada acara resepsi pernikahan. Bahkan tidak sekedar kain dan pakaian. Filosofi batik sangat dalam, sudah menjadi way of life masyarakat kita.

Terkait dengan budaya layar atau budaya digital, lukisan kaca sangat menjadi unik. Pertama, kesulitan dalam mengabadikan atau memfotonya. Mencari sudut tanpa pantulan sangat sulit. Baik menggunakan bantuan cahaya tambahannya maupun tidak, tetap akan berbayang. Kedua, warna-warninya sangat unik menarik sebagai konten digital. Mudah memeliharanya, cukup dilap akan mengkilat kembali. Ketiga, nilai kesenian yang tinggi. Karena tingkat kesulitan melukis di media kaca sangatlah rumit. Melukisnya dari balik kaca, sehingga kiri menjadi kanan, kanan menjadi kiri, belakang menjadi depan, depan menjadi belakang (reverse glass painting). Bila melukis petani di depan sawah mungkin relatif lebih mudah. Nah, bagaimana bila mereka melukis wayang yang kompleks. Template detilnya ada di dalam otak mereka.

Keempat, lukisan kaca ini tidak hanya kaya dengan latar belakang cerita gambar-gambarnya. Akan lebih menarik dikaitkan dengan kehidupan dan karakter pribadi serta perilaku masing-masing pelukisnya. Kelima, seni delivery juga tidak mudah. Harus sangat hati-hati, mulai dari packaging dan proses pengirimannya. Apalagi jarak yang jauh, seperti lintas benua. Harus menggunakan jasa asuransi. Karena bila kaca sebagai medianya pecah, maka lukisannya pun sudah tidak lagi bernilai. Bila kita tertarik untuk mendalaminya, masih banyak lagi keunikan dari lukisan kaca ini. Masih banyak karya seni dan semua atribut budaya kita yang bisa kita naikkan ke media digital untuk dapat diperkenalkan kepada dunia.

Apakah Perilaku Digital Kita Akan Berubah Pasca Pandemi?

Betul kita harus bersyukur, dapat mengambih hikmah dari pandemi sekarang ini. Setidaknya perilaku manusia lebih higienis, lebih dekat dengan teknologi digital, lebih sosial - bersimpati dan berempati terhadap saudara atau teman yang terpapar positif dan bahkan beberapa di antaranya telah mendahului kita. Terutama juga terhadap kesulitan ekonomi. Lebih religius, mendekat diri keapada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Bahwasannya ternyata manusia sangat ringkih (fragile) terhadap sesuatu yang tidak terlihat. Lebih merindukan keasrian alam (back to nature). Serta menjadi lebih rasional, informatif dan berwawasan. Punya waktu lebih banyak mengkonsumsi informasi dan pengetahuan dari media digital. Hal ini semua tentunya memengaruhi kita dalam berbudaya digital.

Kebiasaan-kebiasaan positif yang telah terbentuk tadi bisa saja akan luntur, saat kita beraktivitas normal kembali, larut dalam keseharian kita. Kembali secara tanpa sadar pikiran-pikiran otamatis mengendalikan kita dalam berpikir dan bertindak. Bila kita menggambarkannya dengan piramida, di mana semakin ke bawah semakin sulit untuk berubah. Namun sesuai konsep neuroplastisitas otak kita tadi, bahwa biar bagaimanapun semuanya dapat berubah. DNA yang paling terbawah posisinya, atau paling sulit berubah saja hari ini dengan kemajuan teknologi juga tetap dapat berubah. Kemudian naik setingkat lagi seperti belief seseorang, values atau nilai-nilai yang diyakini, moral, ethics, kepribadian, dan yang paling mudah berubah adalah cara berpikir dan berperilaku. Jadi perilaku atau behavior paling mudah berubah, karena secara kasat mata dapat terlihat perubahannya. Begitu pula dengan perilaku dan budaya kita di ruang digital.

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi

Bila penulis mengadopsi definisi Stephen P. Robbins, budaya perusahaan ke dalam budaya bangsa; merupakan pola nilai-nilai bersama, kepercayaan, dan asumsi yang dianggap sebagai cara yang tepat untuk berpikir dan bertindak dalam suatu bangsa. Jadi di dalam dunia digital sangat mungkin kita fungsikan sebagai penguat perilaku, kebiasaan-kebiasaan konten positif dan budaya Indonesia yang memang sudah dikenal sejak dulu sebagai hal yang baik. Menerapkan butir-butir Pancasila di dalam perilaku dan budaya digital, dibutuhkan menerapkan digital citizenship (Pengamalan Pancasila) secara konsisten, ajek, terus menerus, persisten, dan senantiasa memegang teguh komitmen kepada nilai-nilai luhur bangsa.

Tips Membangun Budaya Digital Positif

Membangun budaya digital bangsa yang baik dapat dimulai dari masing-masing individu. Salah satu contohnya; justru kebiasaan menulis (di media kompasiana ini) terbentuk dan baru dimulai sejak awal pandemi. Sementara pandemi telah berjalan lebih dari setahun. Kebiasaan yang terus menerus kita lakukan akan menjadi budaya. Kemampuan literasi baca dapat kita latih melalui budaya menulis. Seperti menaiki satu per satu anak tangga. Dari 'I won't do it, I can't do it, I want to do it, How do I do it, I'll try to do it, I can do it, I will do it',  sampai akhirnya tak terasa ke anak tangga terakhir; 'Yes, I dit it !'. 

Menjadi prioritas yang perlu diingat; dalam menyikapi disrupsi digital, kita perlu merangkum kecenderungan-kecenderungan sifat otak bekerja. Pertama, otak suka sesuatu yang baru (novelty). Namun terlalu baru otak akan menjadi stres. Sebaliknya, otak suka sesuatu yang dikenal (familiarity), namun lucunya terlalu familiar dan monoton otak pun akan stres karena bosan. Kedua, otak menyenangi sesuatu yang prediktif sifatnya, atau dapat diprediksi. Otak akan stres bisa sesuatu tidak dapat diprediksi. Contoh, bila pandemi ini terus berlanjut tanpa petunjuk dan arahan yang jelas, maka dapat dengan mudah membuat netizen menjadi stres yang akan menambah kegaduhan dan kekisruhan di dunia digital. Kita doakan saja agar pandemi di negeri tercinta ini dapat segera berakhir. Aamiin.

Kemudian, ketiga, otak menyukai feedback. Netizen akan mudah stres manakala status atau postingannya tidak ada respon yang memberikan komentar, tidak ada yang memberikan likes dengan jempol atau simbol love. Akan tetapi, otak juga stres bila feedback yang diperoleh tidak konstruktif sifatnya, alias destruktif yang menyakitkan perasaan. Sebagai catatan juga; walau itu adalah kritikan yang membangun, namun perlu berhati-hati dalam penyampaiannya. Banyak yang tidak suka disampaikan di depan orang lain. Ruang digital adalah ruang publik. Sebagai alternatifnya; kita bisa dm (direct message) atau japri (jalur pribadi) kepada yang bersangkutan.

Terkait ini juga otak mencintai reward atau hadiah. Dopamine reward pathways sangat bekerja dengan efektif. Namun jangan mau dikendalikan oleh pikiran otomatis, atau ketergantungan digital. Kita yang mengendalikan, bukan sebaliknya. Ingat aktifkan segera otak PFC, tingkatkan kesadaran diri. Banyak netizen yang akan stres bila tidak membuka akun media sosial dalam beberapa waktu. Hidupnya mulai gelisah, lebih baik tertinggal dompet ketimbang smartphone yang tertinggal di rumah atau tempat lain.

Keempat, otak suka meniru, ingat cara kerja MNS tadi yang sangat efektif. Membangun budaya digital tidaklah mudah, perlu effort khusus, tidak bisa instan, harus terus menerus secara konsisten dilatih. Memikirkan bagaimana kita dapat memanfaatkan informasi yang berpotensi viral. Viralkan dan banjiri saja konten-konten positif, dan hentikan konten-konten negatif hanya sampai di gawai tangan kita. Kelima, otak aslinya malas dan netral. Hal ini sesungguhnya merupakan bagian dari efisiensi energi listrik otak kita. Namun bisa dilatih tanpa henti, dan tidak putus di jalan. Programkan dan setor terus ke dalam otak informasi positif dan pengetahuan yang bermanfaat. Never give up on our dreams. Terakhir, jangan lupa sifat otak yang memperlakukan informasi secara tidak simetris. 95 informasi positif, bisa luluh lantah dengan 5 informasi negatif yang masuk ke dalam otak melalui panca indera utama kita.

Kita jangan lagi memberikan perintah walaupun bisikan atau ucapan dalam hati kalimat-kalimat negatif. Misalkan; "Saya gaptek" atau gagap teknologi. Kita harus kasih instruksi otak; "Saya bisa". Banyak teknologi digital baru seperti teknologi VR (virtual reality), dan AR (augmented reality). Konten-konten budaya kita harus sudah hadir di medium-medium baru seperti ini. Memperkenalkan budaya Indonesia, selain secara daring alias melalui jaringan internet, namun juga harus gencar melalui aktivitas luring (luar jaringan) seperti mengikuti pameran budaya di luar negeri. Stand atau booth kita jangan sampai terkesan tidak mengikuti perkembangan zaman atau kemajuan teknologi. Harus sudah dapat menunjukkan keindahan budaya Indonesia melalui medium-medium baru tadi (AR, VR, MR, XR, VR/360, dll). Aplikasi Virtual Reality Tourism di Indonesia atau Indonesia Virtual Reality Tourism harus sudah hadir.  Aplikasi Augmented Reality seperti program 'Indonesia in Your Hand' sudah mulai diperkenalkan. Ingat kalimat indah ini; "Sifat-sifat manusia seperti imajinasi, kreativitas, intuisi, emosi dan etika, akan menjadi hal yang lebih penting di masa depan". Melalui komunitas Neuronesia, kami sudah pernah melakukan roadshow kecil di kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Depok pada bulan Desember tahun 2019. Persis sebelum pandemi. Dengan tema yang kami usung berjudul "Access Your Highest Potential - Are You Ready for 2020?" menggunakan teknologi VR sebagai tools-nya. (BIS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun