Bila penulis mengadopsi definisi Stephen P. Robbins, budaya perusahaan ke dalam budaya bangsa; merupakan pola nilai-nilai bersama, kepercayaan, dan asumsi yang dianggap sebagai cara yang tepat untuk berpikir dan bertindak dalam suatu bangsa. Jadi di dalam dunia digital sangat mungkin kita fungsikan sebagai penguat perilaku, kebiasaan-kebiasaan konten positif dan budaya Indonesia yang memang sudah dikenal sejak dulu sebagai hal yang baik. Menerapkan butir-butir Pancasila di dalam perilaku dan budaya digital, dibutuhkan menerapkan digital citizenship (Pengamalan Pancasila) secara konsisten, ajek, terus menerus, persisten, dan senantiasa memegang teguh komitmen kepada nilai-nilai luhur bangsa.
Tips Membangun Budaya Digital Positif
Membangun budaya digital bangsa yang baik dapat dimulai dari masing-masing individu. Salah satu contohnya; justru kebiasaan menulis (di media kompasiana ini) terbentuk dan baru dimulai sejak awal pandemi. Sementara pandemi telah berjalan lebih dari setahun. Kebiasaan yang terus menerus kita lakukan akan menjadi budaya. Kemampuan literasi baca dapat kita latih melalui budaya menulis. Seperti menaiki satu per satu anak tangga. Dari 'I won't do it, I can't do it, I want to do it, How do I do it, I'll try to do it, I can do it, I will do it', sampai akhirnya tak terasa ke anak tangga terakhir; 'Yes, I dit it !'.Â
Menjadi prioritas yang perlu diingat; dalam menyikapi disrupsi digital, kita perlu merangkum kecenderungan-kecenderungan sifat otak bekerja. Pertama, otak suka sesuatu yang baru (novelty). Namun terlalu baru otak akan menjadi stres. Sebaliknya, otak suka sesuatu yang dikenal (familiarity), namun lucunya terlalu familiar dan monoton otak pun akan stres karena bosan. Kedua, otak menyenangi sesuatu yang prediktif sifatnya, atau dapat diprediksi. Otak akan stres bisa sesuatu tidak dapat diprediksi. Contoh, bila pandemi ini terus berlanjut tanpa petunjuk dan arahan yang jelas, maka dapat dengan mudah membuat netizen menjadi stres yang akan menambah kegaduhan dan kekisruhan di dunia digital. Kita doakan saja agar pandemi di negeri tercinta ini dapat segera berakhir. Aamiin.
Kemudian, ketiga, otak menyukai feedback. Netizen akan mudah stres manakala status atau postingannya tidak ada respon yang memberikan komentar, tidak ada yang memberikan likes dengan jempol atau simbol love. Akan tetapi, otak juga stres bila feedback yang diperoleh tidak konstruktif sifatnya, alias destruktif yang menyakitkan perasaan. Sebagai catatan juga; walau itu adalah kritikan yang membangun, namun perlu berhati-hati dalam penyampaiannya. Banyak yang tidak suka disampaikan di depan orang lain. Ruang digital adalah ruang publik. Sebagai alternatifnya; kita bisa dm (direct message) atau japri (jalur pribadi) kepada yang bersangkutan.
Terkait ini juga otak mencintai reward atau hadiah. Dopamine reward pathways sangat bekerja dengan efektif. Namun jangan mau dikendalikan oleh pikiran otomatis, atau ketergantungan digital. Kita yang mengendalikan, bukan sebaliknya. Ingat aktifkan segera otak PFC, tingkatkan kesadaran diri. Banyak netizen yang akan stres bila tidak membuka akun media sosial dalam beberapa waktu. Hidupnya mulai gelisah, lebih baik tertinggal dompet ketimbang smartphone yang tertinggal di rumah atau tempat lain.
Keempat, otak suka meniru, ingat cara kerja MNS tadi yang sangat efektif. Membangun budaya digital tidaklah mudah, perlu effort khusus, tidak bisa instan, harus terus menerus secara konsisten dilatih. Memikirkan bagaimana kita dapat memanfaatkan informasi yang berpotensi viral. Viralkan dan banjiri saja konten-konten positif, dan hentikan konten-konten negatif hanya sampai di gawai tangan kita. Kelima, otak aslinya malas dan netral. Hal ini sesungguhnya merupakan bagian dari efisiensi energi listrik otak kita. Namun bisa dilatih tanpa henti, dan tidak putus di jalan. Programkan dan setor terus ke dalam otak informasi positif dan pengetahuan yang bermanfaat. Never give up on our dreams. Terakhir, jangan lupa sifat otak yang memperlakukan informasi secara tidak simetris. 95 informasi positif, bisa luluh lantah dengan 5 informasi negatif yang masuk ke dalam otak melalui panca indera utama kita.
Kita jangan lagi memberikan perintah walaupun bisikan atau ucapan dalam hati kalimat-kalimat negatif. Misalkan; "Saya gaptek" atau gagap teknologi. Kita harus kasih instruksi otak; "Saya bisa". Banyak teknologi digital baru seperti teknologi VR (virtual reality), dan AR (augmented reality). Konten-konten budaya kita harus sudah hadir di medium-medium baru seperti ini. Memperkenalkan budaya Indonesia, selain secara daring alias melalui jaringan internet, namun juga harus gencar melalui aktivitas luring (luar jaringan) seperti mengikuti pameran budaya di luar negeri. Stand atau booth kita jangan sampai terkesan tidak mengikuti perkembangan zaman atau kemajuan teknologi. Harus sudah dapat menunjukkan keindahan budaya Indonesia melalui medium-medium baru tadi (AR, VR, MR, XR, VR/360, dll). Aplikasi Virtual Reality Tourism di Indonesia atau Indonesia Virtual Reality Tourism harus sudah hadir.  Aplikasi Augmented Reality seperti program 'Indonesia in Your Hand' sudah mulai diperkenalkan. Ingat kalimat indah ini; "Sifat-sifat manusia seperti imajinasi, kreativitas, intuisi, emosi dan etika, akan menjadi hal yang lebih penting di masa depan". Melalui komunitas Neuronesia, kami sudah pernah melakukan roadshow kecil di kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Depok pada bulan Desember tahun 2019. Persis sebelum pandemi. Dengan tema yang kami usung berjudul "Access Your Highest Potential - Are You Ready for 2020?" menggunakan teknologi VR sebagai tools-nya. (BIS)