Digital Citizenship
Mari mulai saat ini kita bangun kebiasaan dan berbudaya digital yang sehat dan cemerlang. Niatkan meggunakan internet dan manfaatkan media digital hanya untuk melakukan suatu hal kebaikan. Beruntung Indonesia sudah punya prinsip dan jati diri yang kuat. Di dunia nyata kita dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah dan sopan santun. Hal ini menjadi modal utama yang kuat.Â
Di dunia yang baru; digital age, new medium, dunia digital atau dunia maya, Pancasila harus tetap menjadi prinsip-prinsip kita bermedia sosial (digital citizenship).Â
Kita tidak usah marah dan protes oleh perusahaan yang melakukan survai dan mengindikasikan sebagai bangsa yang paling tidak sopan. Namun sebaliknya kita harus berterima kasih karena sudah diingatkan. Sehingga kita dapat bangkit bersama-sama mengembalikan citra tadi (rewiring our brains). Ingat; prinsipnya, otak setiap manusia negara mana pun adalah sama. Otak kita plastis, dapat berubah sepanjang usia. Diperkuat oleh temuan dan kajian neurosains yang menelurkan konsep neuroplastisitas (neuroplasticity). Bahwa otak kita dapat berubah sepanjang usia.
Kita bisa melatih dan membangun kebiasaan-kebiasaan positif. Creating new synapses dan menebalkan neural pathways, serta memutus-mutuskan kebiasaan lama yang buruk. Melatih untuk meminimalis pikiran-pikiran otomatis kita agar tidak selalu ingin segera meggerakkan jari jemari kita. Jejak rekam digital kita sangatlah kejam (digital footprint). Lebih kejam dari ibu tiri. Tunda dulu dan berpikir ulang berkali-kali sebelum bertindak menekan tombol 'enter'. Apakah apa-apa yang kita posting akan berdampak buruk dan menyakitkan perasaan orang lain? Apakah memang benar-benar bermanfaat untuk orang lain? Mengandung makna yang baik atau tidak? 'Saring sebelum sharing'.
Society 5.0
Jepang telah menyadari ini semua. Di dalam konsep Society 5.0 mereka menyebutnya sebagai super smart society atau human-centered society. Bahwa dalam menyikapi perubahan bagi mereka bukan kemajuan teknologi yang lebih penting, namun manusianya lah sebagai faktor utama. Setiap orang dan setiap bangsa akan menyikapi perubahan yang berbeda-beda. Seperti sekarang ini, bagi masyarakat Indonesia pandemi justru mempercepat proses bertransformasi digital. Pada umumnya secara garis besar; perubahan akan disikapi sebagai kabar baik (good news) atau sebaliknya sebagai kabar buruk (bad news). Sayangnya bila itu dianggap sebagai kabar buruk, kecenderungan emosi kita sangat cepat menular. Manusia sebagai mahluk sosial - yang memiliki fungsi otak sosial (social brain)Â bekerja atas dasar prinsip MNS atau mirror neurons system. MNS bangsa kita sangat efektif bekerja.
Menyikapi Perubahan Kemajuan Digital
Selain cepat menular (viral) dan berpotensi memengaruhi orang lain, bila menyikapi perubahan sebagai bad news yang menakutkan akan menimbulkan stres dan berdampak negatif bagi dirinya. Stress memengaruhi otak, menstimulus produksi kortisol. Otak memang butuh kortisol untuk menjaga keseimbangan homeostasis di kepala. Namun jumlah yang diperlukan sedikit. Jadi stres yang sedikit sebenarnya bagus untuk meningkatkan daya resiliensi kita, sehingga semakin tangguh menghadapi perubahan.
Di dalam bermedia digital jangan mudah terpancing. Jangan mudah pundungan, baperan atau gampang tersinggung dari komentar-komentar yang negatif, serta jenis bullying lainnya atau perudungan yang melecehkan kita.  Stres yang sedikit ini disebut eustress atau stres yang baik, karena berdampak positif. Meningkatkan daya 'digital resilience' kita, yang merupakan bagian dari upaya membangun serta melatih ketangguhan mental dalam bermedia digital ('digital mental toughness'). Tentunya selain kita juga selalu bersikap positif pada perubahan dan kemajuan teknologi digital ('digital positivity'). Serta harus tetap selalu waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan kejahatan digital, sampah digital, berita-berita kebohongan, hoaks dan konten-konten negatif lainnya.
Akan tetapi bila dosisnya berlebih, banjir kortisol di kepala akan memutus-mutuskan sinaps hubungan antar sel-sel otak tersebut (neurons). Sehingga membuat bodoh seseorang. Di sini lah dampak buruknya bermedia digital yang sebenarnya bila kita tak piawai mengelolanya. Kemajuan digital yang semula bertujuan mencerdaskan bangsa, malah sebaliknya tanpa sadar berpotensi membodohi masyarakat digital secara masif.