Mohon tunggu...
Baladewa Arjuna
Baladewa Arjuna Mohon Tunggu... -

Think....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jesus for Atheists (4)

3 Januari 2016   19:44 Diperbarui: 4 Januari 2016   09:20 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk kasus Dawkins, maka pertanyaan yang sama juga bisa ditanyakan dalam formula moral dari Yesus: mengapa moralitas (kasihi sesama – hukum kedua) itu memiliki nilai dan mengapa harus dilakukan? Atau dengan meminjam pertanyaan dari Stephen Hawking:

“What is it that breathes fire into the equation and makes morality meaningful?”

Sebelumnya telah kita lihat bahwa naturalism tidak memiliki jawaban yang memuaskan mengapa kita harus melakukan tindakan-tindakan super niceness seperti yang diajarkan dan diminta oleh Yesus untuk kita lakukan? Karena naturalism tidak memiliki jawaban, maka Dawkins juga tidak memiliki jawabannya, atau bisa juga disebut, dia merasa memiliki jawabannya tetapi mati secara prematur. Karena itulah maka proposal paling jenius yang dapat dia berikan hanyalah mencetak kaos dengan tulisan ‘atheists for Jesus’ yang dibagikan kepada sebanyak mungkin orang dan berharap dengan cemas orang-orang itu akan memiliki karakter moral bintang lima seperti yang Yesus miliki. Dan Dawkins mengakui hal itu:

"It is pretty hard to defend absolutist morals on grounds other than religious ones."

Tetapi Yesus – yang Dawkins pakai sebagai endorser-nya itu sendiri – justru memiliki jawaban yang Dawkins tidak punya. Makanya Yesus membuat hukum moral di atas itu menjadi 2 bagian dan kedua bagian itu sama setaranya, saling mengunci dan tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.

C.S. Lewis setuju dengan Yesus. Lewis mengatakan jawabannya, yaitu ketika ke-takjub-an dan ke-ngeri-an pada Yang Kudus (transenden) pada tempat pertama adalah sebagai landasan dan pelindung dari moralitas pada tempat kedua. Korelasi yang tak terpisahkan.

Atau bisa saya katakan begini: bahwa Hukum Kedua “Kasihi sesamamu” (moralitas) hanya akan bisa berjalan bila ada Hukum Pertama “Kasihi Allah” sebagai landasan untuk menjawab pertanyaan mengapa Hukum kedua harus dijalankan. Tanpa Hukum yang pertama, maka moralitas hanyalah resep diatas kertas yang kemudian dijadikan obat, tetapi tanpa pernah ada yang mau menelannya, karena tidak memiliki alasan siapa yang cukup berotoritas untuk mengatakan bahwa itu adalah betul obat dan mengapa harus menelan obat itu.

Saya tidak mengatakan bahwa seorang atheist tidak bisa hidup dengan moral yang tinggi, ataupun mau mengatakan dengan sombong bahwa seorang theist pasti bermoral baik…..tetapi…. saya mau mengatakan bahwa bila konsisten dan jujur dengan cara pandang masing-masing, maka atheism tidak memberikan landasan cukup kuat untuk bisa mengatakan bahwa keserakahan, kejahatan, atau kekejaman itu adalah sebagai sesuatu yang salah dan tidak benar (lihat kasus Jeffrey Dahmer).

Oleh karena itu, atheisme juga tidak memiliki landasan kuat ketika mengkritik dan menghujat – misalnya – apa yang dilakukan oleh para anggota ISIS ketika menembaki orang-orang dan mengorbankan diri dengan cara meledakkan bom di tengah kerumunan dan mati syahid (seperti yang terjadi di Paris, San Bernardino ataupun tempat-tempat lain). Sebab menurut teori evolusi: itu adalah tindakan pengorbanan diri dari orang yang sedang berupaya mempertahankan keberadaan kelompoknya – yang meyakini nilai-nilai abad ke-7 – supaya tidak hilang ditelan peradaban dan kemajuan zaman. Tidak ada landasan bagi atheisme untuk menilai bahwa tindakan itu baik ataupun jahat bila tidak ada patokan absolut atas moralitas. Sebab orang-orang itu akan melakukan cara apapun, bahkan dengan melakukan pengorbanan diri demi upaya survival kelompoknya sesuai apa yang teori evolusi katakan.

Sebaliknya, tanpa Hukum yang kedua, maka Hukum Pertama “Kasihi Tuhan” hanya akan melahirkan fanatisme menyebalkan yang berbahaya, seperti yang seringkali dipertontonkan oleh para agamis – ‘sang polisi kebenaran’ – dari penganut self-righteous religion yang memaksakan pandangannya, tanpa pernah berpikir bagaimana untuk bisa menjadi rahkmat bagi segenap alam (hubungan horizontal). Sebab yang penting bagi mereka hanyalah menyembah Tuhan (hubungan vertical). Bahkan – seolah-olah – tidak masalah menjadi setan-pun, asalkan menyembah Tuhan, maka sorga-lah bagiannya.

Sebab itulah Yesus marah, karena kaum agamis seperti itu melupakan apa yang hakiki:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun