Yesus tahu itu, karena itu Dia menyindir si ahli Taurat dengan menggunakan figuran seorang imam dan seorang Lewi yang notabene adalah representasi dari orang-orang yang sangat agamis; dan di sisi lain, Yesus menggunakan aktor utama orang Samaria yang bahkan dianggap ‘setengah’ kafir dan inferior oleh orang Yahudi.
Anda bisa lihat dalam perumpamaan Yesus di atas, si imam dan orang Lewi yang sholeh itu memiliki seluruh alasan yang mungkin untuk menolong; sebaliknya, orang Samaria ini memiliki segudang alasan kebencian untuk membiarkan si Yahudi ini tergeletak di jalanan.
(Yohanes): “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah,’ dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari Dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.” (1 Yoh 4.20-21 – ditulis 95 M)
Yesus menolak pendapat keduanya, baik keinginan Dawkins maupun keinginan dari para ahli Taurat dan orang-orang Farisi itu. Sebab kedua bagian hukum itu – KASIHI ALLAH dan KASIHI SESAMA – adalah sebagai formula hukum yang HARUS ADA BERSAMA-SAMA: saling bertaut (interlock), saling rambah (overlap), dan saling setara (equal) satu sama lain. Dan bukankah itu adalah sama dengan model manusia-Ilahi yang sedang ditunjukkan oleh YESUS - yaitu DIRINYA SENDIRI? Dimana Yang Ilahi dan yang insani, saling bertaut (interlock) dan saling rambah (overlap) di dalam diri Yesus? Kasih Allah kepada manusia dan kasih manusia kepada Allah – hadir, saling bertaut dan saling rambah di dalam diri Yesus. Oleh sebab itulah maka moral super baik menjadi mungkin.
Imam dan orang Lewi dalam perumpamaan itu, walaupun adalah orang-orang yang sangat agamis sekali, tetapi tidak menggunakan persamaan dalam formula moral hukum Taurat, malah lebih menggunakan ‘big brain’ nya untuk mengambil keputusan. Dan lihat! Big brain alone gagal untuk mendorong tindakan mengasihi sesamamu manusia.
Inilah alasan-alasan 'ngeles-nya' orang-orang ketika big brain dipakai sebagai alat pengambilan keputusan atas moralitas – kasus ‘Orang Samaria yang Baik Hati’ (saya kutipkan dari David Guzik Commentary on the Bible):
(i). Think of all the EXCUSES that they could have used:
- "This road is too dangerous for me to stop and help the man."
- "He might be a decoy for an ambush."
- "I've got to get to the temple and perform my service for the Lord."
- "I've got to get home and see my family."
- "Someone really should help that man."
- "If I'm going to serve at the temple I can't get my clothes bloody."
- "I don't know first aid."
- "It's a hopeless case."
- "I'm only one person; the job is too big."
- "I can pray for him."
- "He brought it on himself, he should have never been alone on such a dangerous road."
- "He never asked for help"
(ii). But all of these are simply excuses. "I never knew a man refuse to help the poor who failed to give at least one admirable excuse." (Spurgeon)
Perhatikanlah, bagaimana rasionalitas dari ‘big brains’ justru sangat terampil untuk membuat excuse sehingga membuat mereka mengambil tindakan yang berlawanan dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang super niceness.
Bahkan atheist dari Kanada, Kai Nielson mengatakan demikian:
“… Pure practical reason, even with a good knowledge of the facts, will not take you to morality.”