By: Arjuna Baladewa.
Catatan: Tulisan ini mencoba membandingkan argumentasi Richard Dawkins dan argumentasi Yesus Kristus. Mungkin membosankan karena sangat panjang. Tapi mungkin juga dapat memberikan sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan. Dan karena panjangnya tulisan ini, maka saya membaginya dalam 4 bagian (yang tetap saja panjang). Ini adalah bagian yang kedua. Untuk bisa mendapatkan pengertian menyeluruh, saya menyarankan untuk membaca ke-empatnya secara berurutan. Bagian PERTAMA dapat dibaca DISINI.
----------------------------
Dalam tulisan saya di bagian PERTAMA, Richard Dawkins mengusulkan nama Yesus sebagai role model bagi moral super niceness yang dia impi-impikan untuk dimiliki oleh umat manusia – yaitu sesuatu yang tidak pernah dia temukan dalam dunia teori evolusinya Darwin. Dan Dawkins ingin agar moral super-niceness seperti itu menyebar ke seluruh dunia. Mari kita lanjutkan.
Menyebarkan Virus Kebaikan
Namun apapun pendapatnya, Dawkins tetap menyebut Yesus qualified untuk disebut sebagai human super niceness. Bila anda tidak percaya bahwa Yesus memiliki karakter moral super niceness seperti yang dibanga-banggakan oleh Dawkins, maka Dawkins mengutip pengajaran Yesus sendiri dari Injil Matius.
Inilah ayat-ayat perkataan dan ajaran Yesus yang dikutip sendiri oleh Dawkins:
“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku (Yesus) berkata kepadamu:
• Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.
• Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu..
• Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.
• Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu.
• Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.”
(Dikutipkan oleh Richard Dawkins – dari Injil Matius 5.38-44).
Very nice bukan? Itulah sebabnya mengapa Dawkins ingin karakter moral seperti Yesus, disebarkan kepada sebanyak mungkin orang. Tapi bagaimana caranya?
“Human super niceness is a perversion of Darwinism because, in a wild population, it would be REMOVED by natural selection. It is also, although I haven't the space to go into detail about this third ingredient of my recipe, an apparent perversion of the sort of rational choice theory by which economists explain human behaviour as calculated to maximize self-interest."
Dawkins melanjutkan:
"Let's put it even more bluntly. From a rational choice point of view, or from a Darwinian point of view, human super niceness is just plain dumb. And yes, it is the kind of dumb that should be encouraged - which is the purpose of my article. HOW CAN WE DO IT?
How shall we take the minority of super nice humans that we all know, and increase their number, perhaps until they even become a majority in the population?
Could super niceness be induced to spread like an epidemic? Could super niceness be packaged in such a form that it passes down the generations in swelling traditions of longitudinal propagation?” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’)
Inilah ide dan cara ‘brilliant’ dari Dawkins, yaitu bagaimana karakter moral (‘ketololan’) seperti yang dimiliki oleh Yesus disebarkan:
“Well, do we know of any comparable examples, where STUPID IDEAS have been known to spread like an epidemic? Yes, by GOD! RELIGION” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’)
Nah sekarang – tertawalah yang keras sepuasnya, karena ini baru benar-benar lucu. Sebab Dawkins – setelah sebelumnya meniru suatu ketololan yang menurutnya perlu disemangati dan disebar-luaskan (plain dumb: moral super niceness) – kini dia ingin meniru cara dari ketololan yang lain: agama (stupid ideas), yang disebarkan oleh para penganutnya yang tolol (stupid people).
Padahal di tempat lain, Dawkins berkata bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah ‘accidental by-product’ dari suatu proses evolusi dengan ketidak-peduliannya yang buta. Jadi agama muncul sebagai produk kebetulan yang tidak dikehendaki dari proses evolusi (misfiring). Namun benarkah demikian Mr. Dawkins? Coba pikirkan kembali. Karena bila evolusi Darwinian adalah betul berjalan secara acak (random) dengan ketidak-pedulian yang buta, maka bagaimana bisa mengatakan bahwa yang ini adalah “kecelakaan yang tidak dikehendaki” dan yang itu adalah “yang dikehendaki (bukan kecelakaan)?”
Apakah Dawkins sedang berasumsi bahwa sebetulnya ada sosok Perencana Kosmik Ilahiah – yaitu si Pemberi hukum moral, sehingga dengannya dia bisa menilai seperti itu? Sebab randomness tidaklah mengenal ‘dikehendaki’ dan ‘tidak dikehendaki’ ataupun ‘kecelakaan’ dan ‘bukan kecelakaan’. Di dalam dunia evolusi yang random, semua hal yang disebut kebetulan (yang dikehendaki) adalah sama seperti kecelakaan (yang tidak dikehendaki), dan semua kecelakaan bisa juga disebut kebetulan (dikehendaki).
Untuk bisa mengatakan sesuatu itu ‘dikehendaki’ dan yang lain ‘tidak dikehendaki,’ maka dia sebetulnya sedang mengasumsikan bahwa alam semesta ini memiliki tujuan dan keinginan. Sehingga dengannya dia bisa membandingkan sebagai standard terhadap apa yang terjadi. Tanpa asumsi ini, dia tidak akan pernah bisa mengatakan bahwa ini ‘dikehendaki dan direncanakan’ melainkan semuanya adalah ‘kecelakaan.’
Bila semuanya adalah kecelakaan – maka tidak akan ada beda antara ‘beragama’ (yang tidak dikehendaki) ataupun yang ‘tidak beragama’ (yang dikehendaki). Oleh karena itu, Dawkins tidak bisa mengatakan bahwa agama adalah anak haram (stupid ideas) dari proses evoulusi atau percaya pada Tuhan adalah sesuatu yang tidak diinginkan dari proses evolusi. Sebab bila tidak ada dasar untuk membedakannya – karena semuanya adalah kecelakaan dan tujuan sama sekali tidak ada – lalu apa gunanya dia menyebarkan yang ‘dikehendaki’ (atheism) itu untuk menggantikan yang ‘tidak dikehendaki (agama)?’
.
Dunia Moral Super Niceness – Tetapi Tanpa Tuhan di Dalamnya?
Sampai disini. Walau bagaimanapun, kampanye Richard Dawkins telah memberikan sudut pandang yang baru dan menarik terhadap sosok Yesus, dengan menggunakanNya sebagai sosok yang diyakininya bisa meng-endorse kebajikan moral dengan kualitas super di dalam dunia TANPA Tuhan.
Namun, walaupun masih ada banyak hal remeh-temeh yang bisa dikritisi dari tulisan Dawkins itu – seperti: Yesus adalah theist karena Dia tidak punya pilihan lain; ataupun pendapatnya bahwa Yesus pasti akan menjadi atheist bila Dia hidup pada masa sekarang; ataupun soal theology Yesus yang dianggapnya beroposisi terhadap YHWH Tuhan agama Yahudi nenek-moyangNya; ataupun bahwa nama-nama lain selain Yesus-pun bisa digunakan sebagai icon bagi kampanyenya, seperti Mahatma Gandhi misalnya (padahal nama lain selain Yesus, tidaklah memiliki alasan transenden Ilahiah). Tetapi tulisan saya ini tidaklah terutama bermaksud membahas remeh-temeh lucu seperti itu secara khusus, namun akan membahas hal yang lebih konseptual dan mendasar dari seluruh argument Mr. Dawkins ini.
Pertanyaannya:
“Bisakah dibangun sebuah dunia dimana masyarakatnya memiliki moral super niceness tetapi tanpa Tuhan di dalamnya?”
Saya akan mencoba memaparkan mengapa argumentasi Mr. Dawkins, walaupun bertujuan luhur, namun ternyata tidak memiliki landasan yang kuat sebagai dasar argumentasinya. Dan apabila tidak ada landasan kokoh dari argumentasinya, maka dapat dipastikan pemikiran dan gerakan-gerakan yang dikampanyekannya ini tidak akan pernah bisa jalan. Apalagi sampai dapat menghasilkan timbulnya orang-orang super niceness seperti yang diimpi-impikan Dawkins. Jauh panggang dari api.
.
Big Brains: Solusi Paling Ultimat?
Mengapa Dawkins menginginkan dunia yang bukan cuma bermoral baik (niceness), yaitu dunia yang tidak cukup diatur oleh hukum-hukum positif – sebab hukum speti itu tidak memadai – tetapi dunia yang bermoral SANGAT baik (super niceness)? Sehingga hukum positive dan perangkatnya akan menjadi pengangguran? Yaitu seperti karakter moral yang dimiliki Yesus ataupun seperti orang Samaria yang baik hati?
Sebab di lubuk hatinya yang paling dalam, Dawkins-pun merindukan ‘sorga’ – sesuatu yang tidak bisa dia dapatkan dalam dunia ‘yang kuat memakan yang lemah’ seperti dijelaskan oleh teori evolusi. Di dalam seluruh kehidupan yang telah dihasilkan oleh mesin proses evolusi ini, dia benar-benar tidak bisa mendapatkannya. Kebaikan dan moral yang ada dalam dunia teori-nya Darwin hanyalah sebuah pertukaran kepentingan dari masing-masing individu serakah (selfish gene) dan bukan sebuah ketulusan – sehingga tidak akan pernah bisa menghasilkan moral super niceness seperti yang dia impi-impikan:
“Darwinians can come up with explanations for human niceness: generalisations of the well-established models of kin selection and reciprocal altruism, the stocks-in-trade of the 'selfish gene' theory, which sets out to explain how altruism and cooperation among individual animals can stem from self-interest at the genetic level. BUT the sort of SUPER NICENESS I am talking about in humans GOES TOO FAR……!” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’)
Namun walaupun Dawkins tidak mendapatkannya di dalam dunia seperti itu. Dia tidak putus asa untuk terus mencarinya dalam dunia materi ini. Menurutnya otak manusia yang besar itu akan bisa dipakai sebagai alat untuk menghasilkan moral super niceness yang dia mau:
“The big brain achieved the evolutionarily unprecedented feat of genuine foresight: became capable of calculating long-term consequences beyond short-term selfish gain. And, at least in some individuals, the brain over-reached itself to the extent of indulging in that super niceness whose singular existence is the central paradox of my thesis.
Big brains can take the driving, goal-seeking mechanisms that were originally favoured for selfish gene reasons, and divert (subvert? pervert?) them away from their Darwinian goals and into other paths.” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’)
Benarkah itu? Tentu saja ada benar-nya. Tetapi masalahnya bukanlah itu. Sebab kode-kode genetis manusia adalah gen serakah tanpa kenal yang namanya baik dan jahat, seperti yang dikatakannya di bawah ini:
"The universe that we observe has precisely the properties we should expect if there is, at bottom, no design, no purpose [i.e. no God], no evil, no good, nothing but pitiless indifference…..”
“…We are machines for propagating DNA…… It is every living object’s sole reason for being.” (Dawkins).
Karena itu Dawkins seolah sedang mengajak manusia: “mari kita memberontak terhadap nature asali diri kita sendiri yang serakah dan tidak pedulian itu dan memberontak menjadi manusia super niceness dengan big brains kita.” Tetapi apakah hal ini juga sama seperti apa yang dikatakan Dawkins sebelumnya, bahwa human super niceness Yesus itu di dalam pandangan teori evolusi adalah suatu ketololan yang baik? Maka apakah pemberontakan ini juga adalah pemberontakan yang baik?
“We, alone on earth, can REBEL against the tyranny of the selfish replicators.” (Dawkins – The Selfish Gene).
Tetapi bagaimana kita memberontak terhadapnya? Sebab bukankah manusia hanyalah kumpulan atom ataupun materi belaka dan hasil produk kebetulan dari alam semesta ini? Pada bagian mana dalam diri manusia yang bisa dianggap sahih untuk melakukan pemberontakan terhadap gen serakahnya sendiri, yang sudah menjadi nature-nya sebagai konsekuensi dari proses evolusi yang terus merubah segala sesuatu? Yaitu gen yang telah membuat manusia bisa survive sebegitu lamanya dan begitu jayanya hingga saat ini, adalah justru karena manusia menggunakan dorongan gen-nya yang menghalalkan segala cara itu untuk bertahan hidup – dengan ketidak-peduliannya yang buta dan keserakahan diri tanpa belas kasihan?
Bukankah itu semua adalah ‘nilai-nilai agung’ yang seharusnya dilestarikan oleh filosofi naturalisme dan bukannya malah dilawan dan dikhianati dengan “pemberontakan baik” seperti yang disarankan Dawkins? Dan bukankah Dawkins sendiri berkata bahwa justru itu adalah “sole reason for being” bagi setiap makhluk hidup?
Lihat apa yang dikatakan oleh seorang Stephen Jay Gould tentang ‘nilai agung’ itu, sehingga manusia berjaya seperti sekarang:
“ … because a small and tenuous species, arising in Africa a quarter of a million years ago, has managed, SO FAR, to survive by HOOK and by CROOK.” (Gould – The Meaning of Life).
Bahkan konsekuensi logis untuk menjaga kemurnian dari ‘nilai-nilai agung’ ini – dalam upaya menghasilkan manusia mahadewa (superman) – jelas tergambar dari pendapat yang mengerikan di bawah ini:
"Equality is a lie concocted by inferior people who arrange themselves in herds to overpower those who are naturally superior to them. The morality of 'equal rights' is a herd morality, and because it opposes the cultivation of superior individuals, it leads to THE CORRUPTION of the human species" (Friedrich Nietzsche).
“If Nature does not wish that weaker individuals should mate with the stronger, she wishes even less that a superior race (like the Germanic race) should intermingle with an inferior one (like the Jewish race). (Why?) Because in such a case all her efforts, throughout hundreds of thousands of years, to establish an evolutionary HIGHER STAGE OF BEING, may thus be rendered FUTILE.” (Adolf Hitler. Mein Kampf. – Catatan: kata dalam kurung ditambahkan).
OK, kembali ke laptop. Bagian mana yang sahih? Big brain, adalah jawaban Dawkins. Ya, big brain adalah senjata paling ultimat bagi manusia untuk memberontak terhadap gen serakahnya sendiri. Tetapi sahih-kah? Valid-kah? Bagaimana manusia bisa memberontak terhadap sang pembentuk dirinya sendiri? Apabila gen serakah itu adalah gen yang ‘menciptakan’ dan ‘membentuk’ suratan keberadaan dirinya sendiri? Termasuk big brain yang ada di batok kepalanya itu? Padahal gen itu sendiri ada, karena sebagai akibat dari proses kebetulan tanpa tujuan (randomness) dari alam semesta?
Alvin Plantinga mencoba menjelaskan hal ini:
“If Dawkins is right that we are the product of mindless unguided natural processes, then he has given us strong reason to doubt the reliability of human cognitive faculties and therefore inevitably to doubt the validity of any belief that they produce – including Dawkins’ own science and his atheism. His biology and his belief in naturalism would therefore appear to be at war with each other in a conflict that has nothing at all to do with God.” (Plantinga)
Hal yang sama juga diungkapkan oleh C.S. Lewis:
“The validity of rational thought… is the necessary presupposition of all other theorizing.” (C.S. Lewis)
Apakah argumentasi Dawkins ini bisa saya sebut sebagai circular thinking (biologically)?
Dan tidak hanya itu saja, sebab bukankah big brain itu juga merupakan kumpulan rumit sebab-akibat dari jaringan syaraf yang berdenyut-denyut ataupun reaksi bio-kimia belaka, tanpa peduli soal baik dan jahat? Atau benar dan salah?
'...that "YOU", your joys and your sorrows, your memories and your ambitions, your sense of personal identity and free will, are in fact no more than the behaviour of a vast assembly of nerve cells and their associated molecules.' (Francis Crick – The Astonishing Hypothesis).
Sebab teori evolusi mengajarkan hanya 4 hal yang penting bagi makhluk hidup – yaitu: feeding, fighting, fleeing, f*cking (maaf) – dan tidak ada berbicara soal salah dan benar atau baik dan jahat, yang ada hanyalah bertahan hidup dan bereproduksi. Makanya tidak heran bila hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi para penganut filosofi naturalism untuk menjelaskannya:
Paul Kurtz: "The central question about moral and ethical principles concerns their ontological foundation. If they are neither derived from God nor anchored in some transcendent ground, they are purely ephemeral."
Julian Baggini: "If there is no single moral authority [i.e. no God] we have to in some sense 'create' values for ourselves ... [and] that means that moral claims are not true or false… you may disagree with me but you cannot say I have made a factual error."
Atheists seperti Paul Kurtz dan Julian Baggini, untungnya masih memiliki kejujuran untuk membuat sebuah pengakuan seperti yang kita dapati dari perkataan mereka di atas. Tetapi masalahnya, Dawkins harus memberikan jawaban. Dia tidak bisa mendiamkan para theist meraja-lela dengan jawaban mereka sendiri. Sayangnya dia tidak memiliki jalan dan jawaban yang lain untuk dipertimbangkan, selain big brain.
Namun dibalik argumentasinya itu, Dawkins tanpa disadari sebetulnya sedang mengasumsikan – ketika dia menilai segala sesuatu dengan menggunakan otaknya yang besar itu – bahwa proses evolusi seolah-olah telah berhenti berproses dan big brain-nya sudah tetap tidak berubah lagi. Dan karena otak sudah tidak berubah lagi dan sudah mencapai bentuknya yang paling ultimate atau independen dari perubahan evolusi, maka otak ini sahih (valid) untuk menilai dan menghakimi segala sesuatu.
Namun bukankah itu adalah DELUSI? Proses evolusi belumlah selesai, dia masih terus berlangsung hingga saat ini pun, merubah segala sesuatu bahkan terhadap big brain itu sendiri, termasuk otak Dawkins – dan dengan demikian – termasuk pendapatnya sendiri.
Dan bila proses evolusi itu masih terus berlangsung tanpa pernah selesai (termasuk meng-evolusi otak semua manusia), maka sampai di titik manakah kita bisa berhenti untuk mengatakan BENAR sebagai benar-benar BENAR atau MORAL sebagai benar-benar MORAL? Karena bila BENAR bukanlah benar-benar BENAR, maka kita tidak akan pernah bisa menilai BENAR sebagai BENAR. Dia terus berubah.
Lagipula otak siapa dari sekian banyak otak, yang dianggap valid dan paling berotoritas untuk menjadi ‘Tu(h)an’ yang perlu ditaati? Otak Dawkins kah? Atau yang lain? Siapa? Yang jelas athiests seperti Paul Kurtz dan Julian Baggini tidak mau menuruti pemikiran (big brain) Dawkins, apalagi theists. Apakah akan ada pemaksaan bagi kaum beragama seperti zaman Stalin atau Mao?
Charles Darwin sendiri – sang bapak teori evolusi – berkata seperti ini:
“But then with me the horrid doubt always arises whether the convictions of man's mind, which has been developed from the mind of the lower animals, are of any value or at all trustworthy. Would any one trust in the convictions of a monkey's mind, if there are any convictions in such a mind?”
Sebaliknya. Kita hanya bisa bisa menggunakan rasionalitas dari pikiran dengan sahih – bila dan hanya bila – pikiran itu adalah sesuatu yang independen (transenden) dari materi yang oleh proses evolusi dirubah terus menerus ini. Saya bukannya tidak mempercayai teori evolusi, tetapi saya mau mengatakan bahwa teori itu terlalu sederhana dan tidak cukup untuk menjelaskan adanya pikiran rasional dan moralitas yang kemudian bisa dipakai sebagai acuan untuk menilai segala sesuatu, tetapi semata-mata timbul dari ‘kecelakaan’ alam semesta.
Oleh karena itu pula maka Thomas Nagel – filsuf dan juga atheist – mengatakan:
“(I must) follow the rules of logic because they are correct – not merely because I am biologically programmed to do so” (Thomas Nagel – The Last Word).
Rasul Paulus menggambarkannya dengan tepat dalam tulisannya kepada Jemaat di kota Roma atas respons saya tentang apa yang diargumentasikan oleh Dawkins soal big brain sebagai alat moralitas ultimat-nya:
“The mind (big brain) governed by the flesh (selfish gene) is death, but the mind governed by the Spirit is life and peace.
The mind (big brain) governed by the flesh (selfish gene) is hostile to God; it does not submit to God’s law, nor can it do so.
Those who are in the realm of the flesh (selfish gene) cannot please God.”
(Romans 8.6-8: New International Version – catatan: kata dalam kurung ditambahkan oleh penulis untuk mendapatkan kesesuaian pemahaman istilah).
Oleh karena itu, big brain (otak) yang dibentuk oleh selfish gene – tidak akan pernah bisa dipakai untuk menilai baik dan jahat (moralitas). Sebab big brain adalah bagian dari masalah (selfish gene). Bila dia adalah bagian dari masalah, maka dia bukanlah solusi. Dan karena dia bukan solusi, maka dia sudah kehilangan tuah-nya dan tidak bisa lagi dipakai sebagai alat paling ultimate yang bisa menghantar manusia menjadi spesies super niceness seperti yang diimpikan oleh Dawkins bila hanya menggunakan otaknya semata.
Untuk menghindari circular thinking dalam seluruh argumentasinya, mungkin Dawkins perlu merenungkan kata-kata bijak dan filosofis dari Einstein di bawah ini:
"Problems cannot be solved by the same level of thinking that created them." (Albert Einstein)
Jadi, bila selfish gene adalah masalah, maka big brain yang diciptakan oleh selfish gene mustahil solusi. Dan akhirnya, bila Dawkins gagal menyajikan argumentasi yang baik dan kokoh dalam upayanya untuk membuat moral super niceness seperti Yesus ini muncul dan tersebar, maka sekarang waktunya bagi kita untuk melihat alternative yang lain: Argumentasi dari YESUS sendiri.
.
(BERSAMBUNG – ke Bagian ke-3 dari 4 tulisan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H