“The big brain achieved the evolutionarily unprecedented feat of genuine foresight: became capable of calculating long-term consequences beyond short-term selfish gain. And, at least in some individuals, the brain over-reached itself to the extent of indulging in that super niceness whose singular existence is the central paradox of my thesis.
Big brains can take the driving, goal-seeking mechanisms that were originally favoured for selfish gene reasons, and divert (subvert? pervert?) them away from their Darwinian goals and into other paths.” (Dawkins – ‘Atheists for Jesus’)
Benarkah itu? Tentu saja ada benar-nya. Tetapi masalahnya bukanlah itu. Sebab kode-kode genetis manusia adalah gen serakah tanpa kenal yang namanya baik dan jahat, seperti yang dikatakannya di bawah ini:
"The universe that we observe has precisely the properties we should expect if there is, at bottom, no design, no purpose [i.e. no God], no evil, no good, nothing but pitiless indifference…..”
“…We are machines for propagating DNA…… It is every living object’s sole reason for being.” (Dawkins).
Karena itu Dawkins seolah sedang mengajak manusia: “mari kita memberontak terhadap nature asali diri kita sendiri yang serakah dan tidak pedulian itu dan memberontak menjadi manusia super niceness dengan big brains kita.” Tetapi apakah hal ini juga sama seperti apa yang dikatakan Dawkins sebelumnya, bahwa human super niceness Yesus itu di dalam pandangan teori evolusi adalah suatu ketololan yang baik? Maka apakah pemberontakan ini juga adalah pemberontakan yang baik?
“We, alone on earth, can REBEL against the tyranny of the selfish replicators.” (Dawkins – The Selfish Gene).
Tetapi bagaimana kita memberontak terhadapnya? Sebab bukankah manusia hanyalah kumpulan atom ataupun materi belaka dan hasil produk kebetulan dari alam semesta ini? Pada bagian mana dalam diri manusia yang bisa dianggap sahih untuk melakukan pemberontakan terhadap gen serakahnya sendiri, yang sudah menjadi nature-nya sebagai konsekuensi dari proses evolusi yang terus merubah segala sesuatu? Yaitu gen yang telah membuat manusia bisa survive sebegitu lamanya dan begitu jayanya hingga saat ini, adalah justru karena manusia menggunakan dorongan gen-nya yang menghalalkan segala cara itu untuk bertahan hidup – dengan ketidak-peduliannya yang buta dan keserakahan diri tanpa belas kasihan?
Bukankah itu semua adalah ‘nilai-nilai agung’ yang seharusnya dilestarikan oleh filosofi naturalisme dan bukannya malah dilawan dan dikhianati dengan “pemberontakan baik” seperti yang disarankan Dawkins? Dan bukankah Dawkins sendiri berkata bahwa justru itu adalah “sole reason for being” bagi setiap makhluk hidup?
Lihat apa yang dikatakan oleh seorang Stephen Jay Gould tentang ‘nilai agung’ itu, sehingga manusia berjaya seperti sekarang:
“ … because a small and tenuous species, arising in Africa a quarter of a million years ago, has managed, SO FAR, to survive by HOOK and by CROOK.” (Gould – The Meaning of Life).