Mohon tunggu...
Baladewa Arjuna
Baladewa Arjuna Mohon Tunggu... -

Think....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

‘Atheists for Jesus’ (2)

31 Desember 2015   09:14 Diperbarui: 2 Januari 2016   20:45 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebab teori evolusi mengajarkan hanya 4 hal yang penting bagi makhluk hidup – yaitu: feeding, fighting, fleeing, f*cking (maaf) – dan tidak ada berbicara soal salah dan benar atau baik dan jahat, yang ada hanyalah bertahan hidup dan bereproduksi. Makanya tidak heran bila hal ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi para penganut filosofi naturalism untuk menjelaskannya:

Paul Kurtz: "The central question about moral and ethical principles concerns their ontological foundation. If they are neither derived from God nor anchored in some transcendent ground, they are purely ephemeral."

Julian Baggini: "If there is no single moral authority [i.e. no God] we have to in some sense 'create' values for ourselves ... [and] that means that moral claims are not true or false… you may disagree with me but you cannot say I have made a factual error."

Atheists seperti Paul Kurtz dan Julian Baggini, untungnya masih memiliki kejujuran untuk membuat sebuah pengakuan seperti yang kita dapati dari perkataan mereka di atas. Tetapi masalahnya, Dawkins harus memberikan jawaban. Dia tidak bisa mendiamkan para theist meraja-lela dengan jawaban mereka sendiri. Sayangnya dia tidak memiliki jalan dan jawaban yang lain untuk dipertimbangkan, selain big brain.

Namun dibalik argumentasinya itu, Dawkins tanpa disadari sebetulnya sedang mengasumsikan – ketika dia menilai segala sesuatu dengan menggunakan otaknya yang besar itu – bahwa proses evolusi seolah-olah telah berhenti berproses dan big brain-nya sudah tetap tidak berubah lagi. Dan karena otak sudah tidak berubah lagi dan sudah mencapai bentuknya yang paling ultimate atau independen dari perubahan evolusi, maka otak ini sahih (valid) untuk menilai dan menghakimi segala sesuatu.

Namun bukankah itu adalah DELUSI? Proses evolusi belumlah selesai, dia masih terus berlangsung hingga saat ini pun, merubah segala sesuatu bahkan terhadap big brain itu sendiri, termasuk otak Dawkins – dan dengan demikian – termasuk pendapatnya sendiri.

Dan bila proses evolusi itu masih terus berlangsung tanpa pernah selesai (termasuk meng-evolusi otak semua manusia), maka sampai di titik manakah kita bisa berhenti untuk mengatakan BENAR sebagai benar-benar BENAR atau MORAL sebagai benar-benar MORAL? Karena bila BENAR bukanlah benar-benar BENAR, maka kita tidak akan pernah bisa menilai BENAR sebagai BENAR. Dia terus berubah.

Lagipula otak siapa dari sekian banyak otak, yang dianggap valid dan paling berotoritas untuk menjadi ‘Tu(h)an’ yang perlu ditaati? Otak Dawkins kah? Atau yang lain? Siapa? Yang jelas athiests seperti Paul Kurtz dan Julian Baggini tidak mau menuruti pemikiran (big brain) Dawkins, apalagi theists. Apakah akan ada pemaksaan bagi kaum beragama seperti zaman Stalin atau Mao?

Charles Darwin sendiri – sang bapak teori evolusi – berkata seperti ini:

“But then with me the horrid doubt always arises whether the convictions of man's mind, which has been developed from the mind of the lower animals, are of any value or at all trustworthy. Would any one trust in the convictions of a monkey's mind, if there are any convictions in such a mind?”

Sebaliknya. Kita hanya bisa bisa menggunakan rasionalitas dari pikiran dengan sahih – bila dan hanya bila – pikiran itu adalah sesuatu yang independen (transenden) dari materi yang oleh proses evolusi dirubah terus menerus ini. Saya bukannya tidak mempercayai teori evolusi, tetapi saya mau mengatakan bahwa teori itu terlalu sederhana dan tidak cukup untuk menjelaskan adanya pikiran rasional dan moralitas yang kemudian bisa dipakai sebagai acuan untuk menilai segala sesuatu, tetapi semata-mata timbul dari ‘kecelakaan’ alam semesta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun