Mohon tunggu...
Bagus Pinandoyo Basuki
Bagus Pinandoyo Basuki Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary, pemerhati hukum dan politik

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Benarkah Perppu 1/2020 Menimbulkan Kekuasaan Absolut bagi Pemerintah?

4 April 2020   09:45 Diperbarui: 4 April 2020   18:40 2228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari lalu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Perppu 1/2020).

"Hal ihwal kegentingan yang memaksa", sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), juga parameter yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009, dirasa oleh Pemerintah telah terpenuhi, sehingga Perppu ini lahir sebagai respon luar biasa untuk menangani dampak yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19.

Dikutip dari laman kemenkeu.go.id disebutkan bahwa  Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengantisipasi reaksi COVID-19 dari sisi ekonomi terutama di pasar keuangan, sebab hal ini menimbulkan volatilitas gejolak yang luar biasa. 

Lebih lanjut dalam konferensi Pers (01/04), Menteri Keuangan menegaskan bahwa "Extraordinary time required extraordinary policy and action. Oleh karena itu, membutuhkan action dan policy yang extraordinary yaitu kebijakan dan tindakan-tindakan yang tidak akan dilakukan dalam situasi normal,".

Oleh karena kondisi yang sedemikian rupa, Perppu ini selain bermuatan Kebijaan Keuangan Negara dalam menghadapi pandemic global Covid-19, juga memberikan kewenangan kepada anggota KSSK untuk mengambil tindakan-tindakan sesuai kewenangannya masing-masing yang pada pokoknya untuk menyelamatkan perekonomian nasional dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

Melihat materi muatan Perppu 1/2020 ini, sejatinya Pemerintah bukan saja sedang menggunakan kewenangan atributif berdasarkan konstitusi, tapi juga sedang menggunakan kewenangan diskresinya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan  (UU 30/2014). 

Dalam Pasal 1 angka 9 UU 30/2014 dijelaskan bahwa "Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundangundangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan".

Nah, yang menarik dalam Perppu 1/2020 ini, tercantum pada Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3), yang ternyata menimbulkan polemik dan suara sumbang ditengah masyarakat, dan tidak sedikit yang mem-framing bahwa Pemerintah melalui ketentuan ini ingin menciptakan kekuasaan absolut.

Salah satu anggota Komisi VIII DPR RI, dikutip dari laman dpr.go.id/berita (akses 03/04), mengingatkan agar pemerintah tidak mencuri kesempatan di tengah  situasi krisis menyusul terbitnya Perppu 1/2020. Lebih lanjut, salah satu Wakil Ketua MPR sebagaimana dikutip harianterbit.com/nasional (akses 03/04), menuding Pemerintah ingin berlindung dengan Pasal tersebut agar tidak bisa terjerat kasus korupsi.

Sebelum kita mengulas apakah materi muatan Pasal 27 Perppu 1/2020 seperti yang dikhawatirkan banyak pihak, ada baiknya kita coba menggali terlebih dahulu latar belakang lahirnya ketentuan Pasal ini.

Penulis bukan penggagas dan juga tidak mengikuti proses lahirnya Perppu 1/2020 sehingga tidak dapat mengemukakan suasana kebatinan para penyusun Perppu ini khususnya Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3).

Meskipun demikian, menarik apa yang disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono sebagaimana dikutip dari laman tirto.id (akses 03/04), bahwa menurutnya lahirnya Pasal 27 dalam Perppu 1/2020 tidak bisa dilepaskan dari pengalaman di masa krisis 1998 dan 2008, dimana para pengambil kebijakan rentan diseret ke meja hijau jika ditemukan adanya kerugian negara.

Salah satu contohnya adalah kebijakan BPPN dalam penerbitan surat keterangan lunas dalam kasus BLBI karena krisis moneter 1998 dan juga kebijakan KSSK yang memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) alias bailout kepada Bank Century untuk mencegah krisis perbankan di tahun 2008.

Berulangkali kebijakan/diskresi yang diambil Pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi hari ini dipermasalahkan dikemudian hari, baik oleh aparat penegak hukum maupun lawan politik Pemerintah. 

Masih terngiang diingatan bagaimana Pemerintah mengatasi krisis perbankan 2008 dalam berbagai daya dan upaya, namun  Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Century "ngotot" berpendapat tidak terjadi krisis, sehingga bailout Bank Century dinilai mengandung unsur pidana karena tidak didasarkan data dan kondisi.

Belajar dari pengalaman tersebut, saat ini Pemerintah perlu memberikan jaminan lebih bahwa berbagai kebijakan yang diambil untuk mengatasi ancamanan perekonomian nasional tidak dinilai/dijustifikasi sebagai tindak pidana dan bukan merugikan keuangan negara, karena dalam situasi penanganan krisis bantuan likuiditas yang diberikan oleh Pemerintah harus dimaknai sebagai biaya ekonomi yang  tentu tidak dapat dikembalikan.

Lalu apakah benar Pasal 27 Perppu 1/2020 akan digunakan oleh Pemerintah untuk membentuk kekuasaan absolut?

Mari kita urai materi muatan Pasal 27 Perppu 1/2020. Pasal ini berada pada bagian akhir beleid, dalam Bab V Ketentuan Penutup. Pasal ini tidaklah berdiri sendiri, begitu banyak regelling darurat yang diatur didalam pasal-pasal sebelumnya.

Dan yang perlu kita ingat, bahwa Pemerintah tidak akan menerbitkan Perppu 1/2020 ini jika tidak ada ancaman yang membahayakan pertumbuhan  ekonomi Indonesia dan pandemi global Covid-19 yang telah meng-infeksi lebih dari 200 negara.

Baik hari ini maupun di-tahun-tahun berikutnya harus dipahami dan dimaknai sebagai suatu kondisi/kejadian yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, dan oleh karenanya Perppu ini terbit.

Selanjutnya, mari kita maknai rumusan Pasal 27 ayat (1) Perppu 1/2020.  

"Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau Lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas system keuangan dan program pemuihan ekonomi nasinal, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara"

Melalui rumusan ketentuan ini, Pemerintah ingin dipahami bahwa tindakannya yang dengan itikad baik dimaksudkan untuk mengatasi dampak pandemi, tentu akan mengakibatkan sejumlah pengeluaran negara yang mungkin tidak akan kembali dan juga kemungkinan hilangnya potensi penerimaan negara.

Maka Pemerintah menginginkan hal tersebut dinilai sebagai biaya ekonomi untuk recovery  dan tidak dimaknai sebagai kerugian negara secara umum yang berlaku dalam kondisi normal.

Seakan sadar akan kemungkinan digunakan pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi, pembuat Perppu membatasi ketentuan ini hanya berlaku bagi Lembaga anggota KSSK yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.

Lebih lanjut,  rumusan Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020,

"Anggota KSSK, Sekretaris KSSK, Anggota Sekretariat KSSK dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin Simpanan dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undangan ini, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ."

Melalui rumusan ketentuan ini, semakin memberikan gambaran bahwa sesungguhnya kebijakan darurat yang ditempuh Pemerintah melalui Perppu ini sepenuhnya dilakukan dengan itikad baik untuk mengatasi suatu kondisi/kejadian yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Dan apabila ternyata dalam pelaksanaan Perppu terdapat pihak yang beritikad tidak baik dan menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka kondisi demikian bukanlah termasuk yang dilindungi berdasarkan ketentuan Pasal ini.

Sebagaimana telah Penulis kemukakan, bahwa  melalui Perppu ini, sejatinya Pemerintah sedang menggunakan kewenangan atributifnya berdasarkan konstitusi dan kewenangan diskresinya sebagaimana diatur dalam UU 30/2014. 

Selain harus memenuhi tujuannya, diskresi atau kebijakan juga harus memenuhi syarat pengambilan diskresi yakni (1) Sesuai dengan tujuan diskresi, (2) Tidak bertentangan dengan tujuan pengambilan diskresi (3) Sesuai dengan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) (4) Didasarkan pada alasan yang objektif (5) Tidak ada benturan kepentingan (6) Dilakukan dengan itikad baik. (vide Pasal 24 UU 20/2014).

Oleh karena hal tersebut, sepanjang persyaratannya dipenuhi, maka diskresi/kebijakan yang diambil oleh Pemerintah dalam pelaksanaan Perppu 1/2020 ini tidak dapat dipidana dan apa yang diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Perppu 1/2020, menurut Penulis sudah tepat dan  tidak perlu diperdebatkan.

Pada dasarnya model perlindungan yang demikian bukanlah hal baru dan justru telah lama dikenal dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengakomodirnya dengan istilah "alasan penghapus pidana" yang dielaborasi oleh para ahli hukum menjadi 3 (tiga) bagian yakni; alasan pembenar, alasan pemaaf dan alasan penghapus penuntutan. 

Untuk tema pembahasan kali ini, alasan pembenar cukup relevan diketengahkan, yakni alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan menjadi perbuatan yang patut dan benar. 

Salah satu payung hukum alasan pembenar diatur dalam Pasal 50 KUHP yang menyebutkan "tidak dikenakan hukuman pidana seorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan suatu peraturan hukum perundang-undangan".

Yang terakhir, rumusan Pasal 27 ayat (3) Perppu 10/2020:

"Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara"

Pembuat Perppu menyadari betul bahwa kebijakan Pemerintah yang diambil untuk mengatasi suatu kondisi/kejadian yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan haruslah memiliki kepastian hukum.

Sebagai salah satu nilai dasar kaidah hukum, yang diketengahkan oleh Gustav Radbruch, kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Perppu 1/2020 menurut Penulis setidaknya memenuhi empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. 

Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti "itikad baik", "kesopanan". 

Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah

Dapat dibayangkan, apabila berbagai kebijakan yang diambil untuk mengatasi pandemi atas dasar Perppu ini diuji di Peradilan Tata Usaha Negara dan dibatalkan oleh Majelis Hakim, maka tentu bukan saja tidak memiliki kepastian hukum, tetapi lebih jauh tujuan lahirnya Perppu ini tidak akan tercapai.

Peran Lembaga Legislatif/DPR Dalam Penerbitan Perppu

Sebagaimana kita ketahui penerbitan Perppu sepenuhnya merupakan kewenangan Pemerintah q.q. Presiden RI, namun demikian berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU 12/2011, mengatur bahwa Perppu yang telah diterbitkan harus diajukan ke DPR pada persidangan berikutnya. 

Yang diajukan Presiden ke DPR bukan langsung materi Perppu, melainkan dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengesahan Perppu (vide. Pasal 71 UU 12/2011 juncto Pasal 60 Perpres 87/2014). Anggota DPR tinggal memberikan persetujuan atau tidak. DPR itu diputuskan dalam rapat paripurna.

Jika DPR memberikan persetujuan, maka status Perppu itu berubah menjadi Undang-Undang. Terhadap Perppu yang telah ditetapkan menjadi undang-undangan, berlakukan mekanisme layaknya undang-undang (seperti pengundangan ke dalam Lembaran Negara).

Sebaliknya, jika DPR tidak setuju alias menolak mengesahkan Perppu, Presiden harus mencabut Perppu dan harus menyatakan Perppu itu tidak berlaku. 

Hal demikian juga diatur dalam Pasal 71 bagian b (UU MD3) yang menyatakan bahwa, DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang Penulis ketengahkan, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah melalui Pasal 27 hanya sebatas ingin memberikan gambaran bahwa Pemerintah tidak akan menerbitkan Perppu 1/2020 ini jika tidak ada ancaman yang membahayakan pertumbuhan ekonomi nasional dan pandemi global Covid-19 yang telah meng-infeksi lebih dari 200 negara, baik hari ini maupun dimasa yang akan datang harus dipahami dan dimaknai sebagai suatu kondisi/kejadian yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Pembentuk Perppu sama sekali tidak bermaksud untuk menciptakan kekuasaan absolut bagi Pemerintah, karenanya nyatanya perlindungan yang diberikan melalui ketentuan Pasal 27 Perppu 1/2020 bukan tak terbatas.

Lebih Lanjut, pandangan sebagian kalangan bahwa Pemerintah bermaksud mencuri kesempatan ditengah situasi krisis, takut terjerat korupsi bahkan mengamankan penyalahgunaan wewenang, merupakan sudut pandang yang sangat sempit dan tidak holistik, karenanya nyatanya Pasal 27 tidak berdiri sendiri, banyak regelling yang diatur dalam pasal-pasal sebelumnya, yang jika dicermati, materi muatan Perppu 1/2020 ini jauh dari kata egoisme Pemerintah.

Bola sudah di DPR, sudah saatnya lembaga legislatif memberikan dukungan penuh kepada Pemerintah dengan menyediakan perangkat hukum yang memadai dan landasan yang kuat bagi Pemerintah  untuk mengambil kebijakan dan langkah konkret dalam mengatasi pandemi global Covid-19.

Lenteng Agung, 4 April 2020.

*) Pandangan pribadi Penulis, tidak mencerminkan pendapat institusi tempat penulis bekerja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun