Mohon tunggu...
Bagus Maulana Ikhsan
Bagus Maulana Ikhsan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

work hard play hard

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hak Asuh Anak Pasca Perceraian Perspektif Hukum Keluarga Islam

25 Mei 2024   09:15 Diperbarui: 25 Mei 2024   09:49 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama : Bagus Maulana Ikhsan

Kelas  : HKI 4E / 222121201

TUGAS MERIVIEW SKRIPSI

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN PERSPEKTIF HUKUM KELUARGA ISLAM

(Studi Kasus di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali)

PENDAHULUAN

   Perceraian adalah peristiwa yang tidak diinginkan namun kadang-kadang tak terelakkan dalam kehidupan rumah tangga. Ketika perceraian terjadi, salah satu isu paling penting yang harus diselesaikan adalah hak asuh anak. Hak asuh anak, atau hadhanah, dalam perspektif hukum keluarga Islam, memiliki landasan hukum dan prinsip-prinsip yang bertujuan untuk memastikan kesejahteraan dan kepentingan terbaik anak tetap terjamin meskipun terjadi perpisahan antara orang tua, Hak asuh anak pasca perceraian merupakan salah satu isu yang sangat krusial dan sering menjadi sumber perselisihan dalam proses perceraian. Dalam perspektif hukum keluarga Islam, hak asuh anak, yang dikenal dengan istilah hadhanah, memiliki dasar hukum dan prinsip-prinsip yang jelas untuk memastikan bahwa hak dan kesejahteraan anak tetap terjamin meskipun terjadi perceraian antara kedua orang tua.

   Hak asuh anak dalam perspektif hukum keluarga Islam dirancang untuk melindungi kepentingan terbaik anak dengan penekanan pada peran ibu sebagai pengasuh utama pada usia dini dan tanggung jawab ayah untuk memberikan nafkah. Pengadilan agama memainkan peran penting dalam menilai kemampuan dan kondisi kedua orang tua untuk menentukan siapa yang terbaik untuk menjaga dan merawat anak setelah perceraian. Dengan demikian, hukum keluarga Islam berusaha untuk memastikan bahwa anak-anak yang menjadi korban perceraian tetap mendapatkan perawatan, kasih sayang, dan dukungan yang mereka butuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, Perceraian dapat dilakukan oleh pihak suami dan juga dapat dilakukan oleh pihak istri. Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagaiakibat permohonan yang diajukan oleh isteri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga Pengadilan Agama mengabulkan permohonan dimaksud. Sedangkan talak adalah suatu jenisperceraian yang inisiatifnya dating dari pihak suami. Cerai talak ialah ikrar yang diucapkan oleh suami yang isinya menyatakan bahwa ia mentalak ataumenceraikan isterinya dengan talak satu, atau dua atau tiga.

ALASAN MEMILIH JUDUL SKRIPSI INI :

Pemilihan judul "Hak Asuh Anak Pasca Perceraian dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam" Studi Kasus di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali karena didasarkan pada kepentingan untuk memahami perlindungan hak anak setelah perceraian, relevansi prinsip-prinsip Islam dalam mengatur hak asuh, serta kontribusi terhadap pemahaman dan penegakan hukum keluarga Islam.

PEMBAHASAN

TINJAUAN HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN

A. Akibat Hukum Perceraianterhadap Hak Asuh Anak

1. Pengertian Hak Asuh Anak

   Pengertian hak asuh adalah tanggung jawab resmi untuk memelihara dan memutuskan masa depan anak. Lebih jelas lagi, hak asuh adalah istilah hukum untuk melukiskan orang tua mana yang akan tinggal bersama si anak, apakah hal itu telah diputuskan oleh pengadilan atau tidak. Menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.Selanjutnya Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan definisi yaitu anak adalah anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan."Sedangkan menurut Sayyid Sabiq Hak asuh anak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah, yaitu pemeriharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.

   Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahansedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya. Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan  untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secarabersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu.

    Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati ulama. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlakuselama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun jugaberlanjut setelah terjadinya perceraian. Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang masih dibawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jikatidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang merusaknya. Pengertian hak asuh memiliki keterbatasan sehingga diperluka peraturan lebih lanjut yang salah satunya dapat menggunakan Pasal 66 Undang--Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal ini mengatur tentang perwalian: "Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang masih berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan bendaatau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur dalam undang -- undang.

    Perwalian, adalah pengawasan terhadap pribadi anak danCpengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa, jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh/wali disyaratkan hal-hal sebagai berikut:

1) Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenanya belum memenuhi persyaratan.

2) Berpikiran sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.

3) Beragama Islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu  termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.

4) Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.

    Seseorang yang akan melakukan hadhanah, demi kepentingan anak, maka ia hendaklah sudah balig, berakal, dan tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang membutuhkan tanggung jawab penuh. Seseorang yang terkena gangguan jiwa atau ingatan tidak layak untuk melakukan tugas hadhanah. Dari kalangan Hambali ada yang menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular.

   Memelihara anak adalah mempertanggungjawabkan anak itu jangan sampai ia binasa dan celaka, sehingga dapat berakibat pada tidak tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Seseorang yang akan melakukan hadhanah harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk memelihara dan mendidik anak yang diasuh, dan tidak terikat dengan suatu pekerjaan yang bisa mengakibatkan tugas hadhanah menjadi terlantar. Syarat lain yang tidak kalah pentingnya ialah bahwa seseorang yang melakukan hadhanah hendaklah dapat dipercaya memegang amanah, sehingga dengan itu dapat menjamin pemeliharaan anak yang diasuh. Orang yang rusak akhlak dan agamanya tidak dapat memberikan contoh yang baik kepada anak, oleh karena itu tidak layak melakukan tugas ini. Tugas hadhanah termasuk usaha untuk mendidik anak menjadi muslim yang baik dan hal itu menjadi kewajiban mutlak atas kedua orang tua.

2. Pelimpahan Hak Asuh Anak di Bawah Umur

   Putusnya perkawinan akibat perceraian seringkali disertai denganperebutan hak asuh anak. Pada prinsipnya anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apa pun dan/atau siapa pun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga anak menjadi dewasa. Jadi ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknya, jika kekhasan hubungan dengan orang tua ini menorehkan warna yang negatif, maka hal itu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak secara potensial.

         Anak korban perceraian akan mengalami guncangan psikis,merasa cemas, sulit bergaul, menyalahkan diri sendiri, yang akan berdampak pada menurunnya prestasi di sekolah. Dalam rangka mengurangi dampak perceraian terhadap anak setelah fase berpisahnya orang tua mereka. Erat kaitannya dengan kompetensi orang tua untuk mengasuh anak. Indonesia hanya mengenal hak asuh tunggal (legal custody) yakni penetapan hak asuh anak baik pihak ayah maupun pihak ibu Asas tunggal menempatkan pilihan pada hak asuh anak berada pada ibu (mother custody) atau pada ayah (father custody). Hak asuh anak oleh ibu (mother custody) didukung oleh doktrin aliran psikologi psikoanalisis Sigmund Freud yang menempatkan ibu sebagai peran tunggal dengan Oedipus complex adalah salah satu bukti kedekatan anak dengan ibunya. Freud berpendapat bahwa hubungan sang anak dengan ibunya sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi dan sikap-sikap sosial si anak di kemudian hari. Dalam soal ini seorang ibu memang mudah dilihat berperan penting bagi seorang anak yang dapat memperoleh kepuasan apabila dorongan rasa lapar dan haus itu diatasi dan ibulah yang punya andil yang besar dalam kondisi demikian.

      Perselisihan mengenai penguasaan anak Pengadilan memberi keputusannya yaitu bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan bebas memberikan ketetapannya dalam memberikan hak asuh anak setelah mendengar keterangan-keterangan para pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung misalnya keluarga sedarah atau keluarga terdekat yang mengetahui permasalahan rumah tangga pihak yang bercerai. Dalam hal ini tidak merupakan keharusan bahwa anak diserahkan pada salah seorang dari orang tua.

       Pengangkatan orang ketiga sebagai wali dimungkinkan bilamana kedua orangtuanya dibebaskan dari kekuasaan orang tua. Hal ini diakibatkan karena orang tuanya dinilai tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. Biasanya dalam mengambil keputusan siapa yang berhak mengurus anak-anaknya dilihat siapa yang cakap dijadikan wali. Pihak suami atau istri dapat mengajukan permohonan perubahan keputusan hakim agar keputusan tersebut ditinjau kembali. Oleh pengadilan, orang yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaan tersebut (ontheven) berdasarkan alasan ia tidak cakap (ongeschikt) atau tidak mampu (onmachtig) untuk melakukan kewajiban memelihara dan mendidik anaknya. Yang dimaksudkan oleh Undang-undang, ialah suatu kenyataan bahwa seorang ayah atau ibu mempunyai sifat-sifat yang menyebabkan ia tidak lagi dianggap cakap untuk melakukan kekuasan orang tua.

       Bab III Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur tentang tanggungjawab orangtua terhadap kesejahteraan anak. Dimana dikatakan pertama-tama yang bertanggungjawab atas kesejahteraan anak adalah orangtua (Pasal 9). Orangtua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orangtua terhadap anak (Pasal 10 ayat 1). Apabila ini terjadi maka ditunjuk orang atau badan sebagai wali.

     Pencabutan kuasa asuh ini tidak menghapuskan kewajiban orangtua tersebut untuk membiayai sesuai kemampuannya terhadap penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya. Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orangtua ini ditetapkan dengan keputusan hakim. Jadi jelasnya pencabutan kuasaasuh itu harus diajukan kepada pengadilan, demikian juga pengembaliannya. Bentuknya adalah permohonan penetapan hakim. Untuk itu harus ada pihak yang mengajukan permohonan misalnya salah seorang dari keluarga. Didasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juga diatur mengenai pencabutan kekuasaan orangtua, yaitu apabila salah satu atau kedua orangtua dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan Putusan Pengadilan, dalam hal-hal sebagai berikut: (a) Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya, (b) Ia berkelakuan buruk sekali. Jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikanya adalah menjadi tanggungjawab ayahnya. Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut.

3. Dasar Hukum Pelimpahan Hak Asuh Anak

     Mengenai dasar hokum terjadinya proses hak asuh atau perwalian adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa tentang penguasaan anak adalah rangkaian dari hokum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak tersebut belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang penjelasan UU No.1 Tahun 1974 secara luas dan rinci. Dalam Peradilan agama masalah penguasaan anak masih mempergunakan hukum hadhanah dari KHI ketika memutus perkara yang berhubungan tentang penguasaan anak itu.

Merujuk pada Pasal 41 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah: (1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak Pengadilan memberikan keputusannya; (2) Bapak yang bertanggungjawab atas semuanya biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. (3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas istri.

 b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini, anah (pemeliharaan) anak dipegang oleh ibu yang telah diceraikan oleh suaminya. Akan tetapi, kalau sang istri sudah menikah lagi dengan lakilaki lain maka gugurlah hak pemeliharaan anak dari si ibu tadi.Lebih lanjut dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). 

khususnya pada pasal 105 (a) diatur mengenai hak asuh anak berbunyi bahwa dalam hal terjadinya perceraian maka: (a) Pemeliharaan anak yang ghairu mumayyiz atau belum berumur 12 tahun, adalah hak ibunya; (b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai hak pemeliharaan anak; (c) Biaya pemilaharaan anak ditanggung ayahnya. Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.

B. Tanggung Jawab Orang Tua Kepada Anak Pasca Bercerai

1. Pengertian Orang Tua

     Menurut Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dinyatakan bahwa orangtua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Orangtua ialah yang pertama bertanggungjawab atas terwujudnya kesejahteraan anak, baik secara jasmani maupun rohani. Tanggungjawab ini mengandung kewajiban memelihara serta mendidik anak sedemikian rupa sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbudi pekerti luhur, berbakti kepada orang tua, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berkemampuan untuk meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan Pancasila.

     Orangtua adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu ibu dan bapak. Dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan : 1) ayah dan ibu kandung, 2) orang yang dianggap tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya), 3) orang yang disegani/dihormati di kampung atau tertua.16 Orang tua merupakan sebutan yang umum digunakan bagi bapak dan ibu oleh seorang anak. Sebutan bapak bagi orang tua yang berjenis kelamin laki-laki, sebutan ibu bagi orang tua yang berjenis kelamin wanita. Menurut syariat Islam Bapak (Ayah) memiliki kedudukan yang penting dan mulia. "Bapak adalah kepala keluarga yang memimpin ibu, anak-anak dan pelayan". Bapak bertanggungjawab terhadap mereka dan akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah SWT. Sedangkan Ibu adalah orang yang tugasnya melahirkan anak-anak, memelihara dan mendidik anak, serta mengatur rumah tangga.

2. Akibat Hukum dari Perceraian

     Putusnya perkawinan yang terjadi antara suami isteri dapat menimbulkan akibat terhadap perkembangan dan penghidupan anak. Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 41 Undang undang Perkawinan ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian, yaitu: 1. Terhadap anak-anak; 2. Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan); 3. Terhadap nafkah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya).

     Akibat perceraian menurut Pasal 41 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak". Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusan. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggung jawab pihak bapak, kecuali dalam pelaksanaan pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Akan tetapi bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu dapat ikut memikul biaya tersebut. Kecuali itu pengadilan dapat pula memberikan keputusan tentang siapa diantara mereka berdua yang menguasai anak yakni memeliharanya dan mendidiknya, apabila terjadi perselisihan antara keduanya. Keputusan pengadilan dalam hal ini tentu juga didasarkan kepada kepentingan anak.

3. Hubungan antara Orang Tua dengan Anak Setelah Perceraian

         Perceraian membawa dampak yang tidak baik bukan hanya terhadap hubungan antara mantan suami isteri saja, namun juga terhadap hubungan dengan anak-anaknya. Anak menjadi korban utama akibat perceraian orang tuanya, anak yang seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang orang tuanya menjadi terabaikan, selain itu juga mengganggu perkembangan psikis dari anak-anaknya. Oleh karena itu hubungan orang tua dengan anak tidak boleh putus sehingga diberikan hak asuh atas anak terhadap salah satu orang tua.

       Putusnya perkawinan akibat perceraian seringkali disertai dengan perebutan hak asuh anak. Pada prinsipnya anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orangtua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apa pun dan/atau siapa pun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga anak menjadi dewasa. Jadi ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknya, jika kekhasan hubungan dengan orangtua ini menorehkan warna yang negatif, maka hal itu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak secara potensial. Dalam rangka mengurangi dampak perceraian terhadap anak setelah fase berpisahnya orang tua mereka.

       Erat kaitannya dengan orangtua untuk mengasuh anak. Pengertian hak asuh menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak berbunyi kuasa Asuh, adalah kekuasaan orangtua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya. Pengertian hak asuh adalah tanggungjawab resmi untuk memelihara dan memutuskan masa depan anak. Lebih jelas lagi, hak asuh adalah istilah hukum untuk melukiskan orang tua mana yang akan tinggal bersama si anak, apakah hal itu telah diputuskan oleh pengadilan atau tidak.

       Hak asuh anak dalam hukum Islam dikenal dengan istilah hadhanah, yaitu pemeriharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fiqh karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya. Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh atau mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu danayah secara bersama berkewajiban untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu.

     Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasannya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibandingkan dengan ayah, sedangkan dalam usia yang sangat muda itu dibutuhkan kasih sayang. Bila anak berada dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah. Hal ini sudah merupakan pendapat yang disepakati ulama.

4. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak Pasca Perceraian

        Permasalahan anak setelah perceraian tidak akan terjadi sepanjang orangtuanya sama-sama mempunyai iktikad yang baik untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ibu memegang hak pemeliharaan anak-anak sedangkan ayah memberikan nafkah. UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 30 menyebutkan bahwa suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Selanjutnya dalam Pasal 45 disebutkan sebagai berikut: 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal 1 berlaku sampai anak itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara keduanya putus. 

         Kewajiban mendidik dan memelihara anak-anak dilakukan oleh kedua orang tua terhadap anak-anaknya, sampai anak-anaknya menjadi dewasa dan mampu berdiri sendiri walaupun kedua orang taunya telah bercerai. Selanjutnya dalam Pasal 47 dinyatakan sebagai berikut: 1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. 2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

       Kekuasaan orang tua ini dapat saja dicabut akan tetapi orang tua tidak dibebaskan dari kewajiban memberi biaya nafkah anak hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 49 UU No.1 tahun 74 tentang Perkawinan, sebagai berikut salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal: a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya. b. Ia berkelakuan sangat buruk.

HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN DI DESA KEPOH KECAMATAN SAMBI KABUPATEN BOYOLALI

A. Gambaran Umum Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali

         Desa Kepoh adalah salah satu desa yang termasuk wilayah Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali Propinsi Jawa Tengah. Desa Kepohmerupakan desa yang cukup bagus perkembangan ekonominya dalam beberapa tahun terakhir dan memiliki akses jalan yang mudah. Batas-batas Desa Kepoh adalah: sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bendo Kecamatan Nogosari, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Demangan, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Jagoan, dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tegal Giri Kecamatan Nogosari. Kondisi tanah persawahan di Desa Kepoh yang terdiri dari tanah sawah dengan sistem irigasi setengah teknis, dengan sistem irigasi tadah hujan, ratarata dapat dipanen 3 kali dalam setahun untuk sawah dengan sistem irigasi teknis dengan rata-rata sekali dalam setahun untuk sawah dengan system irigasi setengah teknis. Tanah pemukiman adalah tanah yang dihuni penduduk, tanah untuk tempat peribadatan, kuburan dan untuk jalan desa serta untuk perkantoran. Selanjutnya gambaran angka perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali adalah merujuk pada data yang tercatat pada monografi desa dimana pada tahun 2020 tercatat sebanyak 2 kasus perceraian, kemudian pada tahun 2021 sebanyak 3 kasus perceraian, dan pada tahun 2022 mencapai 5 kasus perceraian. Berdasarkan data tersebuttingkatperceraian di Desa Kepoh terlihat meningkat.

B. Tinjauan Hukum Keluarga Islam Terhadap Hak Asuh Anak Pasca Perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali

        Hak asuh anak pada ketiga kasus yang diteliti menunjukkan bahwa hak asuh anak di bawah umur (seperti pada keluarga NO dan SR) adalah pada ibunya. Sedangkan pada keluarga BS hak asuh anak ada pada bapaknya karena ibunya tidak bersedia mengasuh anak tersebut dan pergi ke luar kota. Berdasarkan ketiga contoh kasus perceraian di atas dapat diketahui bahwa hak asuh anak setelah perceraian tetap berada pada ibu atau bapaknya. Secara umum hak asuh anak yang masih di bawah umur setelah perceraian ada pada ibunya, sedangkan bapaknya bertanggungjawab memberikan nafkah kepada anak tersebut. Alasan hak asuh anak yang masih di bawah umur terletak pada ibunya adalah ibu merupakan orang terdekat yang akrab dengan anak. Ibu lebih memiliki kelembutan, sehingga dapat memberikan kasih sayang dan perhatian lebih terhadap anaknya. Hal ini sejalan dengan Pasal 41 huruf (a) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,dinyatakan "baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusannya". Selanjutnya berdasarkan pasal 41 huruf (b), disebutkan bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.

      Diperkuatdengan ketentuan di dalam KHI yang juga mengaturmengenai hakasuh anak, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam BAB XIV pasal 98 yaitu: (1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan; (2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan; (3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

        Sebagaimana fakta bahwa keluarga yang bercerai telah dikarunia anak yang masih dibawah umur, maka kepentingan dari anak haruslah diutamakan karena anak-anak masih kecil maka hak pengasuhan pada ibunya. Sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 126 K/Pdt/2001 tanggal 28 agustus 2003 yang menyebutkan: bila terjadi perceraian, anak yang masih dibawah umur pemeliharaannya seyogyanya diserahkan pada orang terdekat dan akrab dengan si anak yaitu ibu. Merujuk pada Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan "anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaanya. Walaupun penguasaan anak jatuh pada ibu tidaklah berarti bapaknya tidak dapat bertemu dengan anak-anaknya. Bapak tetap wajib untuk memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan bagi anak-anaknya tersebut.

        Menurut Kompilasi hukum Islam (KHI) lebih lanjut dikemukakan bahwa pada kasus cerai, hak asuh anak di bawah umur diberikan kepada ibunya. Sesuai dengan Pasal 105 KHI bahwa hak asuh anak yang masih berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya. Sedangkan yang bertanggungjawab dan berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak adalah bapak, sedangkan ibu hanya bersifat membantu dimana ibu hanya berkewajiban menyusui dan merawatnya. Bapak bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak dan bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.

      Selain itu dalam ketentuan perundangan yang lain, misalnya Pasal 104 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan dengan jelas bahwa,"semua biaya penyusuan anak di pertanggungjawabkan kepada ayahnya, apabila ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya. Lebih lanjut dijelaskan dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, dalam hal terjadinya perceraian bahwa, "pemeliharaan anak yang belum mumayyis atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan yang sudah mumayyis diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dengan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

      Seorang anak yang masih di bawah umur sangat memerlukan orang lain untuk membantunya dalam kehidupannya, seperti makan, pakaian, membersihkan diri, bahkan sampai kepada pengaturan bangun dan tidur. Karena itu, orang yang menjaganya perlu mempunyai rasa kasih sayang, kesabaran, dan mempunyai keinginan agar anak itu tumbuh menjadi anak baik (shaleh) di kemudian hari. Disampingitu, harus mempunyai waktu yang cukup pula untuk melakukan tugas itu. Untuk itu dapat disimpulkan bahwa pihak yang memiliki syarat-syarat tersebut adalah pihak ibu sianak.

      Hasil kajian menunjukkan bahwa hak asuh anak yang masih di bawah umur terletak pada ibunya. Sesuai dengan Pasal 105 KHI bahwa hak asuh anak yang masih berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya. Selanjutnya menurut Pasal 156 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan bahwa hak asuh anak yang masih di bawah umur 12 tahun adalah hak dari pada ibu kandungnya, dan posisi ibu kandung terebut dapat di gantikan apabila ibu tersebut telah meninggal dunia. Menurut Pasal ini disebutkan posisi ibu dapat digantikan oleh ayah apabila siibu telah meninggal dunia dan perempuan garis keatas dari ibu (nenek atau tantenya) juga sudah tidak ada.

      Kompilasi Hukum Islam menyatakan hak hadhanah yang utama jatuh ketangan ibu memiliki pertimbangan bahwa ibu yang memiliki ikatan batin yang lebih kuat kepada anak dan ibu yang mempunya rasa kasih sayang yang lebih dibandingkan bapak. Hal ini terlihat pada kasus perceraian keluarga NO dan SR dimana hak asuh anak pada kedua kasus perceraian tersebut jatuh pada ibunya. Pihak ibu keberatan jika hak asuh diserahkan kepada bapaknya karena anak masih kecil dan ada kekhawatiran terhadap dengan kondisi anak menjadi terlantar jika ikut bapaknya.

      Kompilasi Hukum Islam juga telah mengatur tentangvkekuasaan orangtua terhadap anak pasca perceraian dengan kriteria umur 12 tahun, karena usia ini anak dianggap telah akal baligh. Berdasarkan kriteria 12 tahun ini, maka anak yang belum memasuki usia 12 tahun akan berada dibawah kekuasaan ibunya. Setelah melewati usia 12 tahun, anak diperbolehkan menentukan pilihan sendiri, apakah ikut ibu atau ayah. Namun demikian angka 12 tahun ini bukan angka mati berdasarkan kriteria manfaat atau madharat, majelis hakim dapat menentukan keputusannya sendiri menyesuaikan keadaan dan fakta dalam persidangan.

        Merujuk pada kasus perceraian pada keluarga NO dan SR dimana hak asuh anak diserahkan kepada ibunya tentunya telah mempertimbangkan banyak faktor yang melatarbelakangi, di antaranya adalah karena factor psikologis, kedekakatan antara ibu dan anak sejak kandungan menjadikan mereka tak mungkin mudah untuk dipisahkan. Ibu lebih memiliki kelembutan, sehingga dapat memberikan kasih sayang dan perhatian yang lebih terhadap anaknya khususnya yang masih di bawah umur. Ibu juga merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya.

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil dari kajian ini adalah:

1. Hak asuh anak pasca perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali pada keluarga BS adalah pada bapaknya karena ibunya pergi dan dinilai tidak sanggup atau kurang baik untuk diberikan hak asuh anak, sehingga demi pertimbangan kemaslahatan tumbuh kembangnya anak yang lebih baik untuk kedepannya maka hak asuh diberikan kepada pihak bapak. Hak asuh pasca perceraian pada keluarga NO dan SR adalah ada pada ibunya karena anak masih kecil (belum mumayyiz atau umur di bawah 12 tahun). Ibu memiliki ikatan batin yang lebih kuat kepada anak, mempunyai rasa kasih sayang yang lebih, dan memiliki waktu lebih banyak untuk mengasuh dan merawat anak. Ibu diharapkan mampu mengasuh anak agar tumbuh menjadi anak baik (shaleh) di kemudian hari.

2. Tinjauan hukum keluarga Islam terhadap hak asuh anak setelah perceraian di Desa Kepoh Kecamatan Sambi Kabupaten Boyolali hak asuh anak pada keluarga NO dan SR yang masih berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya, dan keluarga BS anaknya yang masih dibawah umur ikut ayah dikarenakan ibunya tidak ada kabar sama sekali. Tidak selamanya hak hadhanah itu jatuh kepada ibu, sang bapak pun berhak mempunyai hak yang sama dengan ibu, bila syarat-syarat penentuan ibu tidak memenuhi krieteria untuk memberikan kepentingan anak, seperti murtad, tidak berakhlak mulia, gila, dan sebagainya. Karena dalam hal pengasuhan anak ini yang pertama harus diperhatikan adalah kepentingan anak dan memiliki kemampuan dan kesanggupan untuk memberikan rasa aman kepada anak yang menjadi korban perceraian .Sedangkan yang bertanggungjawab dan berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak adalah bapak (Pasal 105 KHI). Hak asuh anak dapat diberikan kepada bapaknya apabila si ibu telah meninggal dunia dan perempuan garis keatas dari ibu sudah tidak ada atau si ibu dinilai tidak sanggup atau kurang baik untuk diberikan hak asuh anak untuk kemaslahatan tumbuh kembang anak (Pasal 156 KHI).

RENCANA SKRIPSI YANG AKAN DI TULIS

JUDUL : KEDUDUKAN PERKAWINAN DIBAWAH UMUR MENURUT HUKUM ISLAM

ARGUMENTASI

     Dalam Islam, perkawinan dibawah umur (nikah di bawah usia) tidak diperbolehkan dan diharamkan. Argumentasi ini didasarkan pada beberapa aspek hukum Islam yang berbeda-beda. Pertama, hukum Islam memandang perkawinan sebagai suatu perjanjian yang harus dilakukan dengan kesadaran dan persetujuan penuh dari kedua belah pihak. Kedua, hukum Islam juga memandang bahwa perkawinan harus dilakukan dengan tujuan yang jelas dan tidak hanya untuk kepentingan material atau status sosial.

     kedudukan perkawinan dibawah umur menurut hukum Islam dapat dibuat dengan mempertimbangkan beberapa aspek hukum Islam yang berbeda-beda. Hukum Islam melarang perkawinan dibawah umur karena perkawinan harus dilakukan dengan kesadaran dan persetujuan penuh dari kedua belah pihak, serta memiliki tujuan yang jelas dan tidak hanya untuk kepentingan material atau status sosial. Perempuan dalam perkawinan harus dilindungi dan dihormati, dan perkawinan dibawah umur dapat mengancam status perempuan. Kesadaran dan persetujuan penuh dari kedua belah pihak juga harus dipertimbangkan dalam perkawinan. Dengan demikian, perkawinan dibawah umur tidak dapat diterima secara hukum dalam Islam.

#hukumperdataislamdiindonesia

#uinsurakarta2024

#prodiHKI

#muhammadjulijanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun