2. Pelimpahan Hak Asuh Anak di Bawah Umur
  Putusnya perkawinan akibat perceraian seringkali disertai denganperebutan hak asuh anak. Pada prinsipnya anak berhak diasuh oleh orang tuanya karena orang tualah yang paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak tergantikan oleh apa pun dan/atau siapa pun. Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak hingga anak menjadi dewasa. Jadi ikatan yang khas tersebut menorehkan warna positif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, maka anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknya, jika kekhasan hubungan dengan orang tua ini menorehkan warna yang negatif, maka hal itu akan sangat berpengaruh terhadap masa depan anak secara potensial.
     Anak korban perceraian akan mengalami guncangan psikis,merasa cemas, sulit bergaul, menyalahkan diri sendiri, yang akan berdampak pada menurunnya prestasi di sekolah. Dalam rangka mengurangi dampak perceraian terhadap anak setelah fase berpisahnya orang tua mereka. Erat kaitannya dengan kompetensi orang tua untuk mengasuh anak. Indonesia hanya mengenal hak asuh tunggal (legal custody) yakni penetapan hak asuh anak baik pihak ayah maupun pihak ibu Asas tunggal menempatkan pilihan pada hak asuh anak berada pada ibu (mother custody) atau pada ayah (father custody). Hak asuh anak oleh ibu (mother custody) didukung oleh doktrin aliran psikologi psikoanalisis Sigmund Freud yang menempatkan ibu sebagai peran tunggal dengan Oedipus complex adalah salah satu bukti kedekatan anak dengan ibunya. Freud berpendapat bahwa hubungan sang anak dengan ibunya sangat berpengaruh dalam pembentukan pribadi dan sikap-sikap sosial si anak di kemudian hari. Dalam soal ini seorang ibu memang mudah dilihat berperan penting bagi seorang anak yang dapat memperoleh kepuasan apabila dorongan rasa lapar dan haus itu diatasi dan ibulah yang punya andil yang besar dalam kondisi demikian.
   Perselisihan mengenai penguasaan anak Pengadilan memberi keputusannya yaitu bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu. Bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan bebas memberikan ketetapannya dalam memberikan hak asuh anak setelah mendengar keterangan-keterangan para pihak-pihak lain yang terlibat secara langsung misalnya keluarga sedarah atau keluarga terdekat yang mengetahui permasalahan rumah tangga pihak yang bercerai. Dalam hal ini tidak merupakan keharusan bahwa anak diserahkan pada salah seorang dari orang tua.
    Pengangkatan orang ketiga sebagai wali dimungkinkan bilamana kedua orangtuanya dibebaskan dari kekuasaan orang tua. Hal ini diakibatkan karena orang tuanya dinilai tidak mampu menjalankan kewajibannya sebagai orang tua. Biasanya dalam mengambil keputusan siapa yang berhak mengurus anak-anaknya dilihat siapa yang cakap dijadikan wali. Pihak suami atau istri dapat mengajukan permohonan perubahan keputusan hakim agar keputusan tersebut ditinjau kembali. Oleh pengadilan, orang yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaan tersebut (ontheven) berdasarkan alasan ia tidak cakap (ongeschikt) atau tidak mampu (onmachtig) untuk melakukan kewajiban memelihara dan mendidik anaknya. Yang dimaksudkan oleh Undang-undang, ialah suatu kenyataan bahwa seorang ayah atau ibu mempunyai sifat-sifat yang menyebabkan ia tidak lagi dianggap cakap untuk melakukan kekuasan orang tua.
    Bab III Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur tentang tanggungjawab orangtua terhadap kesejahteraan anak. Dimana dikatakan pertama-tama yang bertanggungjawab atas kesejahteraan anak adalah orangtua (Pasal 9). Orangtua yang terbukti melalaikan tanggungjawabnya, yang mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orangtua terhadap anak (Pasal 10 ayat 1). Apabila ini terjadi maka ditunjuk orang atau badan sebagai wali.
   Pencabutan kuasa asuh ini tidak menghapuskan kewajiban orangtua tersebut untuk membiayai sesuai kemampuannya terhadap penghidupan, pemeliharaan dan pendidikan anaknya. Pencabutan dan pengembalian kuasa asuh orangtua ini ditetapkan dengan keputusan hakim. Jadi jelasnya pencabutan kuasaasuh itu harus diajukan kepada pengadilan, demikian juga pengembaliannya. Bentuknya adalah permohonan penetapan hakim. Untuk itu harus ada pihak yang mengajukan permohonan misalnya salah seorang dari keluarga. Didasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 juga diatur mengenai pencabutan kekuasaan orangtua, yaitu apabila salah satu atau kedua orangtua dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu tertentu atas permintaan orangtua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang dengan Putusan Pengadilan, dalam hal-hal sebagai berikut: (a) Ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya, (b) Ia berkelakuan buruk sekali. Jika terjadi perceraian dimana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu atau nenek seterusnya ke atas. Akan tetapi, mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikanya adalah menjadi tanggungjawab ayahnya. Berakhirnya masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah dapat ditanya kepada siapa dia akan terus ikut.
3. Dasar Hukum Pelimpahan Hak Asuh Anak
   Mengenai dasar hokum terjadinya proses hak asuh atau perwalian adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara tegas menyebutkan bahwa tentang penguasaan anak adalah rangkaian dari hokum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak tersebut belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang penjelasan UU No.1 Tahun 1974 secara luas dan rinci. Dalam Peradilan agama masalah penguasaan anak masih mempergunakan hukum hadhanah dari KHI ketika memutus perkara yang berhubungan tentang penguasaan anak itu.
Merujuk pada Pasal 41 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat itu adalah: (1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengasuhan anak Pengadilan memberikan keputusannya; (2) Bapak yang bertanggungjawab atas semuanya biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. (3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagian bekas istri.