Mohon tunggu...
AR Rahadian
AR Rahadian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setetes Embun di Pagi Hari

6 April 2017   15:28 Diperbarui: 6 April 2017   23:00 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Penderitaan adalah lambang kekuatan  jiwa, tak akan aku tukarkan penderitaan ini  dengan   sukacita  manusia.  Jiwaku  menemukan ketenangan manakala hatiku bersukacita menerima himpitan kesusahan  dan  kesesakan  kehidupan.  Hatiku  terpenuhi kegembiraan,  manakala  aku  bersukaria  dalam derita-Nya. Hanya satu  tujuan hidupku, membuat  DIA selalu tersenyum di sepanjang kehidupan…

…..Andi Suryadi….

Pagi yang cerah mengiringi hari ini, sinar mentari dengan hangat dan penuh kelembutan  meresap  dalam  setubuh  seorang  kakek  tua,  ia  begitu  menikmati belaian hangat sang mentari. Dalam keterbatasan fisiknya, tak terlihat wajah kelemahan terpancar dari wajahnya. Padahal ia kini hanya dapat terduduk lemah di atas kursi rodanya, kakinya sudah tak dapat lagi menopang tubuhnya. Tangannya tak  lagi sekuat  dulu,  bahkan  hanya bagian yang kiri saja yang masih dapat ia gerakkan. Pandangannya telah menjadi kabur di akibatkan penyakit katarak yang kini hinggap. Penyakit sroke yang ia derita telah menyebabkan sebagian tubuhnya tidak dapat digerakkan secara normal. Di tambah dengan penyakit diabetes yang telah lama hinggap di dalam tubuhnya, yang tak kunjung ada kesembuhan.

Sepeninggal istrinya yang begitu menyayangi dan setia menemaninya, kini ia tinggal di sebuah panti jompo. Walaupun ia memiliki tiga orang anak yang terdiri dari dua orang laki-laki dan satu orang perempuan, namun tak seorangpun yang mau merawatnya. Semuanya mundur secara teratur manakala di tunjuk untuk merawatnya, mereka beralasan hanya merepotkan mengurus seorang tua renta yang sakit-sakitan. Oleh sebab itu mereka kemudian mengirim laki-laki tua itu di sebuah panti jompo  yang bernama “Panti Kasih Tiada Batas” yang di asuh oleh sepasang keluarga muda yang telah mengabdikan diri sejak sepuluh tahun yang lalu. Panti ini dahulunya adalah rumah tempat tinggal mereka yang asri dan luas. Panti ini terletak di jalan kecil yang bernama Jalan Gotong Royong dengan akses jalan besarnya yaitu jalan Sudirman.

“Selamat pagi pak Andi” sebuah sapaan lembut menyapa kakek tua yang ternyata bernama pak Andi,

“Se..se.lamat   pagi,  nak  Aryo  dan  nak  pipit”  Jawabnya  dengan  nada  yang terbata-bata,

“Bagaimana kabarnya pak? Tadi sudah sarapan?” Tanya pipit penuh kelmbutan, Pak Andi hanya menganggukkan kepalanya,

“Sudah di minum obatnya, pak?” lanjutnya “Jika sudah, sekarang bapak istirahat yah, sebab matahari sudah mulai terik”

“Baik nak Pipit, terimakasih” Pak Andi pun menjawab, dan Pipit kemudian membantunya mendorongkan kursi rodanya menuju ruang paviliun.

Disana ada pula beberapa orang kakek dan nenek tua yang sedang asyik menonton acara televisi, di antaranya pak Muharam, pak Liem, pak Zakaria dan ibu Kulsum serta  ibu  Yanti.  Tampak  keceriaan  hadir  disana,  manakala  mereka  menonton sebuah film komedi yang di bintangi oleh almarhum Benyamin. Pak Andi pun larut dalam keceriaan dan hal itu telah mengobati kerinduan di hatinya yang berharap dapat bersama dengan anak dan cucunya, dalam sisa masa hidupnya.

Sore itu setelah melaksanakan  sembahyang,  pak Andi duduk di pinggir jendela. Tampak  tatapan  matanya  kosong,  ia  menerawang  alam  sekeliling  seakan  ia mencari sesuatu yang teramat berarti dalam hidupnya. Sesekali terlihat linangan airmata  membasahi  pipinya  dan tarikan  nafasnya  yang  panjang  pun terdengar begitu  berat…Aku  rindu  engkau  Fiona  istriku,  aku tahu engkau  kini bahagia  di surga-Nya.   Sungguh   Fiona,   engkau   adalah  yang  terbaik   yang  telah  Allah anugerahkan  dalam  hidupku.  Kesetiaan  dan kasihmu  begitu terasa olehku, aku teramat  bersyukur  telah Allah titipkan  engkau dalam  kehidupanku.  Lihatlah aku sekarang kasihku?, di senja usiaku, kini aku dalam kesunyian, dimanakah mereka buah cinta kita? Hanya engkau yang setia dan mengasihiku apa adanya bukan ada apanya.  Sayang,  bawalah  aku  serta  di taman  surga  yang  telah Allah berikan kepadamu…ti..tidak,  aku tidak boleh menangisi apa yang telah dan sedang terjadi padaku, engkau kini telah bahagia dan tak selayaknya aku menghancurkan kebahagianmu. Aku tahu engkau pun menantikan kedatanganku…pasti sayang, aku akan datang kepadamu dan kita akan bersama kembali…Fiona sayang, bersabarlah suatu saat nanti aku pasti akan datang menemui engkau dan bahkan engkau yang akan menjemput  dan mengahantarku  di tanah  perhentian…namun,  Allah masih memberikan padaku untuk sebuah tugas terakhir sebelum masa waktuku berakhir…dan  aku masih belum  mengerti dan memahami akan tugas itu..namun aku akan tetap melakukannya tanpa harus aku memahami…dalam  tarikan nafas yang ku hirup, aku masih dapat merasakan cinta dan kasihmu…terimakasih sayang atas semua kasih yang telah engkau curahkan kepadaku, anak-anak dan seluruh keluarga kita…selamat sore Fiona sayang….dan linangan airmatanya semakin deras membasahi pipinya…ia pun terhanyut dalam elegi rindunya… “Malam pak Andi, bagaimana sudah makan malam?” tanya Aryo,

“Malam nak Aryo, sudah tadi” Jawabnya sambil menganggukkan kepala,

“Sekarang di minum obatnya yah pak” lanjutnya dengan penuh perhatian

Setelah meminum obatnya, pak Andi menarik tangan Aryo, dan berkata,

“Nak Aryo, terimakasih yah atas semuanya. Andai saja putra-putri saya memiliki hati yang penuh perhatian seperti nak Aryo tentunya bahagia sekali hati ini” Katanya sambil mengelus air mata yang mulai berlinang membasahi pipinya,

“Sungguh nak Aryo, saya tidak meminta uang atau pun harta, cukup bagi saya adalah perhatian dan kasih mereka. Dan saya pun masih memiliki sedikit simpanan, sisa setelah saya bagikan harta yang saya punyai kepada mereka. Saya tidak ingin harta mereka..…nak Aryo, apa benar saya hanya merepotkan?” tanyanya dengan lirih,

“Tidak  pak  Andi,  sungguh  bapak  tidak  merepotkan.  Malah  membuat  hati kami bahagia  dan kami sangat  senang  apalagi kami masih diberi kesempatan untuk berbagi kasih”   Jawab Aryo sambil mengusap airmata yang membasahi pipi pak Andi, lanjutnya,

“Pak,  saya  dan istri telah di tinggal oleh kedua  orangtua  kami masing-masing semenjak usia kami masih muda. Dan kami berharap untuk dapat merawat mereka pada masa tuanya, namun Tuhan berkehendak  lain. Tetapi kerinduan hati kami terjawab sudah oleh-Nya, dengan merawat bapak dan yang lainnya seakan-akan telah menghadirkan  kembali sosok kedua orangtua kami. Bapak jangan banyak memikirkan yang lain yah pak, lebih baik bapak bersukacita dan nikmati sisa hidup ini, kami bangga dapat merawat bapak” Dengan penuh perhatian dan kelembutan Aryo menjawab

“Iya  nak  Aryo,  maaf  bapak  yang  terbawa  dalam  kerinduan  hati….terimakasih banyak nak! Telah menguatkan hati bapak” Pak Andi pun berucap,

“Baiklah pak, sekarang istirahat yah, mari saya bantu ke kasur” Kata Aryo sambil mengulurkan tangannya,

“Tidak usah nak Aryo, saya harus terus belajar untuk dapat mandiri” Kilah pak Andi, dan dengan halus menolak bantuan Aryo,

Dengan agak susah payah ia geser kursi rodanya untuk lebih dekat pada bibir kasur, dan dengan semangat yang tinggi ia berusaha keras merengkuh kasur dan mendorongkan badannya. Dengan usahanya yang keras akhirnya tubuh pak Andi pun dengan lembut mendarat di atas kasur, Aryo yang sedari tadi memperhatikan tersenyum dalam hati ia bergumam “…luarbiasa pak Andi ini, semangat hidupnya begitu tinggi”

“Pak Andi, sekarang tidur yah, saya hendak menengok yang lain. Selamat tidur pak Andi” Ucap Aryo sambil berlalu meninggalkan Pak Andi dalam keheningan malam.

Malam mulai larut, namun tiba-tiba mata Pak Andi  terbuka dan ia terbangunkan dari sebuah mimpi…ada apakah ini? pikirnya dalam hati. Ia pun merenungkan dari mimpi yang telah terjadi, dimana dalam mimpinya, ia melihat salah satu cucunya tertabrak kendaraan  dan  saat  itu  ia  melintas  di sekitar  tempat  kejadian,  ia memangku cucunya    dan   membawanya,    namun   nyawa   cucunya   tak   tertolong,   ia menghebuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuannya. Apakah arti mipiku ini? begitulah   pikirannya   menerawang.   Ia   pun  lantas   berdoa   kepada   Tuhan memohonkan   untuk  menjauhkan   hal-hal  buruk  menimpa  semua  cucu  dan anak-anaknya.

Ingatannya  membawa  kembali  pada  perlakuan  anak-anaknya  terhadap  dirinya dimana tiga tahun yang lalu sebelum ia terdampar di panti asuhan ini. Ia tinggal di rumah anaknya yang tertua yang adalah seorang pengusaha dan telah di karunia tiga  orang  anak  yang  lucu  dan  manis.  Namun  hanya  karena  ia  senantiasa menyenggol perabotan hingga suatu ketika sebuah guci kesayangan anaknya, tak sengaja tersenggol dan akhirnya pecah. Dan ia pun masih mengingat bagaimana kata-katanya,

“Pa! tahu ngga berapa harga guci ini? di bayar dengan seluruh uang pensiun papa pun tak akan kebayar, dasar tua bangka! Saya, untuk mendapatkan guci ini saja sangat susah payah, tahu nggak ini barang antik dan langka…seharusnya papa tahu diri! dan lebih hati-hati. Ini, sudah nggak bisa apa-apa masih saja mau keluyuran, kenapa tidak diam saja di kamar?” umpat anaknya,

“Iya nih tua bangka! Kemarin-kemarin gelas kristalku yang berharga jutaan rupiah, kini guci antik yang harganya saja selangit. Papa kan sudah tahu dilarang masuk ruangan keluarga, kenapa bandel juga?” Istri Ardy pun ikut menghardiknya

“Ma…ma..ma..maafkan  papa, Ardy dan Nancy, papa hanya ingin bermain dengan

Mitchel. Apakah_” Belum bicaranya selesai, dengan kasarnya Ardy memotong,

“Sudah!...sudah…!  Saya tidak mau dengar lagi alasan!…mulai hari ini juga beresin pakaian papa!, Ardy sudah tidak mau melihat papa lagi….tua bangka! Hanya merepotkan saja” Bentaknya sambil mendorong kursi roda ayahnya menuju kamar dan membereskan seluruh pakaian ayahnya.

“Benar Pih! Aku sangat setuju dengan pendat papi” Nancy pun turut mendukung suaminya

Ia pun membawa ayahnya ke rumah adik nya.   Andryansah adalah seorang pengacara  yang banyak menangani kasus-kasus  korupsi besar dan kasus besar lainnya, namun setelah mendengar apa yang sudah terjadi di rumah kakaknya ia pun dengan keras menolak untuk merawat ayah mereka. Akhirnya mereka menelepon adik mereka yang bungsu, yang di wakili oleh yang sulung.

“Halo…Devi, kamu lagi dimana?” Ardy langsung bertanya,

“Yah halo kak Ardy, ada apa kak?” Devi berkata dan kemudian bertanya,

“Begini, kamu bisa kan datang ke rumah Andry sekarang?” Lanjut Ardy,

“Saya lagi di mall kak! Tapi tidak jauh dari tempat kak Andry, memang ada apa. Sepertinya serius sekali” Devi menjawab sambil mereka-reka

“Pokoknya kamu sekarang kesini, penting!” Perintah Ardy,

“Baik-baik Kak! Saya segera kesana” lanjut Devi dengan sedikit kesal, namun ia menahannya  sebab selama ini kedua kakaknya  selalu membantu kehidupannya, dimana suaminya hanyalah seorang pegawai biasa yang dapat mencukupi kebiasaannya yang konsumtif.

Sesampainya di tempat Andry, tanpa basa-basi lagi mereka sepakat untuk menyimpan papa mereka di panti asuhan dan untuk biaya selama di sana mereka membebankan  kepada  papa  mereka  sendiri.  Sisa  uang  yang  ada  di tabungan papanya, mereka paksa kepada papanya untuk dikeluarkan dengan alasan untuk biaya berobat. Papanya hanya terdiam  dengan perlakuan mereka dan ia hanya dapat menangis di dalam hatinya.

Ahhhh…Aku sudah mengampuni mereka Tuhan….Aku telah mengampuni perlakuan mereka….ampuni  mereka  Tuhan  sebab mereka tidak mengerti…jauhkan  padaku untuk ingatan-ingatan seperti ini…Tuhan, Engkau adalah Tuhan yang mahapengampun, ampuni anak-anak hamba-mu ini…perbuatlah apa yang Engkau kehendaki kepada tubuh dan hidup hamba-Mu ini, dan jangan Engkau timpakan kehangatan murka-Mu kepada anak-anakku, cucu-cucuku dan seluruh keluarganya…cukuplah  hanya kepada aku, hamba-Mu ini..ia pun kembali berusaha untuk memejamkan matanya dan berharap sang fajar segera menyapa tubuhnya dengan penuh kelembutan.

******

Pagi ini tidak seperti biasanya Pak Andi tidak pergi ke halaman belakang untuk berjemur, setelah sarapan pagi ia lebih banyak berdiam diri di kamarnya dengan sesekali berusaha membaca Kitab Suci yang agak samar untuk di baca. Namun ia berusaha  keras  untuk  dapat  membacanya,  dengan  lebih banyak menggunakan

mata  kirinya  yang  masih  agak  sedikit  normal,  ia terus  berupaya  dan sesekali terdengar  permohonannya   kepada  Tuhan  agar  diberikan  kemudahan  dalam membaca Kitab Suci ini. Ditengah kekhusuannya, terdengar ketukan kecil dan suara dari balik pintu dengan penuh kelembutan,

“Selamat  pagi Pak Andi, maaf apabila saya mengganggu  sejenak” Ucap sebuah suara dari balik pintu,

Pak Andi pun menghentikan sejenak kegiatannya dan menghampiri suara itu, dan ia pun membuka pintu sambil berkata,

“Selamat pagi, sama sekali tidak mengganggu “

“Eh, nak Pipit dan nak Aryo, silahkan masuk?” lanjutnya, mempersilakan masuk

“Terimakasih pak Andi” Jawab Aryo “Oh, yah pak, kenalkan ini adalah Dokter Agung dokter spesialis  bedah, yang bertugas  di rumah sakit terkenal di kota ini” yang kemudian memperkenalkan seseorang kepada pak Andi,

Pak Andi nampak kebingungan dan ini trelihat dari lipatan yang nampak di dahinya. Dalam  hatinya  bertanya,  “….apakah aku hendak dioperasi, tapi apanya yang di operasi?....” Belum hilang rasa bingungnya, pria yang bernama Agung itu kemudian menghampiri pak Andi. Dengan berjongkok ia raih tangan kiri pak Andi dan menempelkannya di dahinya, seraya berkata,

“Pak, saya Agung…mudah-mudahan bapak masih dapat mengingat akan saya, dulu sewaktu saya masih kecil pernah di tolong oleh bapak”

“….” Bertambah bingung lah pak Andi setelah mendengar ucapan itu kemudian iapun mencari-cari  dalam  memori ingatannya,  tentang siapakah gerangan orang yang berada dihadapannya ini.

“Maaf nak, siapa tadi?”

“Saya Agung, pak Andi”

“Agung…Agung….yang mana yah…dan yang pernah saya tolong? Dimana dan kapan?...maaf  nak Agung, sungguh saya tak dapat mengingatnya  karena, saya tidak pernah mau mengingat apa, dimana dan siapa yang telah saya tolong dalam kehidupan saya”

“Maaf  pak  Andi,  mungkin  bapak  akan  mengingatnya  manakala  dulu  di depan Statsiun Kereta Api tepatnya di kedai bu Wanti. Setiap makan siang bapak selalu menyemirkan  sepatu bapak kepada seorang anak kecil, walaupun sepatu bapak masih bersih, masih saja bapak menginginkan anak itu untuk membersihkan sepatu bapak. Selain memberi uang jasa yang sungguh pak! lebih dari tarip, bapak juga memberikan anak itu makan siang gratis” kembali Agung berkata sambil memceritakan sebuah kisah sebagai sarana untuk membantu ingatan pak Andi.

“Kedai Ibu Wanti….depan statsiun….anak kecil…..anak kecil….anak kecil….tan…tan…iya..ya..saya  ingat  sekarang,  anak  kecil yang mempunyai tanda kecoklatan dan bintik hitam di tangan kirinya…ya..ya…,yang selalu ia sembunyikan dibalik bajunya…dimana  ia sekarang?”  Dengan penuh sukacita pak Andi akhirnya dapat mengingat kembali dan menanyakan perihal keberadaan anak tersebut,

”Pak….sayalah anak itu…dan ini lihat…” Jawab Agung sambil memperlihatkan tanda di lengan kirinya kepada pak Andi, setelah melihat tanda itu pak Andi menangis dengan terharunya, dan….

“Ka…kamu…Anak  yang  dulu…Oh..Tuhan,  sungguh  luarbiasa!  karya-Mu,  Engkau penuh  dengan  keajaiban  telah mempertemukan  kami kembali…..Nak,  bolehkah bapak memeluk kamu?”

“Dengan senang hati pak” jawab Agung, lantas mereka pun berpelukan dan terasa sekali aroma kerinduan terobati disana.

“Nak,  bagaimana  ceritanya  hingga dapat menemukan  bapak disini?” Tanya pak

Andi,

“Pak Andi, mohon maaf sebelumnya bolehkah saya memanggil bapak dengan sebutan ayah?” pintanya

“Boleh nak, dengan senang hati apabila itu membuat hatimu nyaman” Jawab pak

Andi,

“Terimakasih ayah, lima belas tahun yang lalu saat itu saya sudah putus sekolah

dan kehidupan kami sangat susah. Ayah telah meninggalkan kami saat aku masih berumur tujuh tahun, kemudian tinggalah saya dengan ibu yang waktu itu bekerja sebagai buruh cuci dan bersih-bersih rumah. Sampai saya duduk di bangku kelas lima sekolah dasar saya masih dapat bersekolah, namun saat saya duduk di kelas enam sekolah dasar, ibu sakit-sakitan sehingga tidak dapat bekerja lagi, ibu terkena TBC. Dan saya memutuskan untuk berhenti sekolah dan membantu ibu mencari nafkah  dengan  menjadi tukang  semir,  yang  akhirnya  membawa  saya bertemu dengan ayah yang baik ini” Sesaat Agung menghentikan kisahnya untuk mngusap air mata yang menetes di pipinya,

“Dari beberapa kali pertemuan, suatu saat ayah menanyakan tentang sekolah dan cita-citaku,  aku jawab  aku telah putus  sekolah  dan bercita-cita  untuk menjadi seorang dokter bedah, agar dapat mengoperasi penyakit ibu dan menyembuhkan penyakitnya. Dan ayah juga memperhatikan perilaku saya yang selalu menyembunyikan tangan kiri,  saya waktu itu menolak dikarenakan malu, setelah ayah melihatnya,   ayah bilang jangan malu nak! Tanda yang ada di tanganmu adalah tanda dari Allah yang telah menetapkan lewat tanganmu banyak orang yang akan engkau selamatkan. Sungguh! Ayah kata-kata itu adalah doa bagi saya dan yang telah membangkitkan semangat untuk giat belajar. Dan diluar dugaanku, ayah pun  dengan  sukarela  mau  menjadi  ayah  angkatku.  Bahkan  ayah  pula  yang membawa  ibu berobat hingga ibu mendapatkan  bantuan pengobatan gratis dari suatu yayasan yang ayah kenal. Terimakasih ayah, atas semua budi baikmu yang tak ternilai oleh harta bahkan nyawa sekalipun, aku dapat menjadi seperti semua bukan karena kepintaran dan kerja keras ku, namun semua berkat jasa dan doa dari ayah” Kembali ia mengusap airmatanya,

“Ayah, tiga tahun yang lalu, saat saya ada seminar di kota ini, saya mencari-cari akan  keberadaan  ayah.  Saya  menanyakan  ketempat  dulu  ayah  bekerja,  dan mereka katakan jikalau ayah sempat dipindahkan kebeberapa kota, lalu mereka menyarankan agar mencari data-data tentang ayah di sekertariat pensiunan. Dan saya pun meminta alamatnya  lalu saya melanjutkan pencarian tentang ayah ke kantor  sekertariat.  Dari  sanalah  saya  temukan  alamat  ayah,  namun  sayang ternyata rumah ayah telah di jual dan pemilik yang baru tidak mengetahui akan keberadaan ayah. Hampir-hampir saya putus asa di buatnya, namun perjuangan saya  akhirnya  membuahkan  hasil  juga,  ini  semua  berkat  pertolongan  Allah, seminggu  yang  lalu, Andi anak kami yang baru berumur lima tahun. Di tengah malam terbangun dan ia menangis, herannya ia mengatakan kepada kami bertemu seorang  kakek  duduk  dikursi  roda  dan  memangkunya  serta  berkata  ini aku kakekmu.  Setelah  kejadian  itu  ia  senatiasa  meminta  kami  untuk  menemui kakeknya, kami ajak untuk menemui ayah mertua saya, dia bilang bukan kakek yang  ini, ia bilang  kakek  Andi.  Saya  tidak  menyadari  pada  saat  itu, jika yang dikatakan anak kami adalah kakek yang namanya Andi, setelah saya renungkan akhirnya menemukan jawabannya bahwa kakek yang dimaksud anak kami adalah ayah.  Saya  pun mencari kembali ke  kantor  pensiunan  ayah dan melacak  dari beberapa data mungkin ayah dirawat di sebuah rumah sakit. Jika berdasarkan dari mimpi anak  kami yang  mengatakan  ayah duduk  di kursi roda. Setelah dilacak melalui jaminan  kesehatan  milik  yayasan  pensiun  tempat  ayah dulu mengabdi, menunjukkan bahwa ayah pernah di rawat beberapa kali di rumah sakit yang kini saya bekerja di sana. Dan disana terdapat data nomor telepon dari seseorang yang bernama Ardy Firmansyah, kemudian saya menelepon nomor tersebut namun yang menerima adalah asisten rumah tangga pak Ardy. Saya katakan bahwa, saya dari pihak rumah sakit dan hendak menanyakan perihal kesehatan Pak Andy untuk data asuransi. Akhirnya asisten itu menceritakan tentang ayah dan memberikan alamat ini kepada saya” Agung pun mengahiri kisahnya yang begitu panjang,

Pak Andi terlihat menangis penuh haru dan tampak pula mata Arya dan pipit yang sejak tadi duduk di pinggir kasur dan menyimak kisah tersebut ikut larut dalam keharuan, dan mata mereka pun berkaca-kaca .

“Ayah, tujuan saya kemari dan menemui ayah adalah salahsatunya menunaikan amanah dari almarhumah ibu yang mengatakan kepada saya, agar saya mencari ayah untuk mengucapkan terimakasih atas semua yang telah ayah lakukan kepada saya dan ibu” Lanjut Agung,

“Nak Agung, nggak perlu sampai repot-repot seperti ini, sebab sudah kewajiban kita untuk saling menolong dan berbagi bukan saja dengan saudara dan orang yang kita kenal. Namun kepada semua sesama kita, wajib bagi kita untuk murah hati dan ringan  tangan  dalam  menolong  serta  membantu.  Dan dalam  membantu  terus terang, saya tak mengharapkan pamrih apapun”  Ucap pak Andi

Sebelum  Agung  mengucapkan  kata-katanya  muncullah  dari balik  pintu seorang anak laki-laki dan dengan lincahnya ia berlari dan menghampiri pak Andi, seraya memeluk kedua pahanya dan mengucap,

“Papa..ini kakekku…” Ucapnya, dan ia pun memegang tangan pak Andi dan menempelkan di dahinya sebagai tanda hormat,

“…….”  Pak  Andi hanyut  dalam  kesedihan,  haru dan bahagia.  Ia begitu  bahagia manakala  seorang  anak  kecil  menyebutnya  kakek  dan  memeluknya  dengan hangat, tiga tahun lamanya ia menahan kerinduan akan cucunya hadir dan berkata “kakek” serta memeluknya, kini bagaikan hujan sehari yang telah menghidupkan tanah yang telah mati, terobati sudah dahaga kerinduanya oleh setetes embun di pagi hari….terimakasih Tuhan atas segala nikmat yang telah Engkau berikan…kini aku mengerti, inilah tugas yang terakhir dari-Mu yaitu menantikan kedatangan satu keluarga kecil yang akan menghapuskan dahaga kerinduanku, satu keluarga yang akan menghidupkan jiwa dan hati yang telah kering….terimakasih Tuhan atas segala kesempatan yang telah Engkau berikan…..

*****____________*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun