Mohon tunggu...
AR Rahadian
AR Rahadian Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setetes Embun di Pagi Hari

6 April 2017   15:28 Diperbarui: 6 April 2017   23:00 634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Pak Andi, sekarang tidur yah, saya hendak menengok yang lain. Selamat tidur pak Andi” Ucap Aryo sambil berlalu meninggalkan Pak Andi dalam keheningan malam.

Malam mulai larut, namun tiba-tiba mata Pak Andi  terbuka dan ia terbangunkan dari sebuah mimpi…ada apakah ini? pikirnya dalam hati. Ia pun merenungkan dari mimpi yang telah terjadi, dimana dalam mimpinya, ia melihat salah satu cucunya tertabrak kendaraan  dan  saat  itu  ia  melintas  di sekitar  tempat  kejadian,  ia memangku cucunya    dan   membawanya,    namun   nyawa   cucunya   tak   tertolong,   ia menghebuskan nafasnya yang terakhir dalam pangkuannya. Apakah arti mipiku ini? begitulah   pikirannya   menerawang.   Ia   pun  lantas   berdoa   kepada   Tuhan memohonkan   untuk  menjauhkan   hal-hal  buruk  menimpa  semua  cucu  dan anak-anaknya.

Ingatannya  membawa  kembali  pada  perlakuan  anak-anaknya  terhadap  dirinya dimana tiga tahun yang lalu sebelum ia terdampar di panti asuhan ini. Ia tinggal di rumah anaknya yang tertua yang adalah seorang pengusaha dan telah di karunia tiga  orang  anak  yang  lucu  dan  manis.  Namun  hanya  karena  ia  senantiasa menyenggol perabotan hingga suatu ketika sebuah guci kesayangan anaknya, tak sengaja tersenggol dan akhirnya pecah. Dan ia pun masih mengingat bagaimana kata-katanya,

“Pa! tahu ngga berapa harga guci ini? di bayar dengan seluruh uang pensiun papa pun tak akan kebayar, dasar tua bangka! Saya, untuk mendapatkan guci ini saja sangat susah payah, tahu nggak ini barang antik dan langka…seharusnya papa tahu diri! dan lebih hati-hati. Ini, sudah nggak bisa apa-apa masih saja mau keluyuran, kenapa tidak diam saja di kamar?” umpat anaknya,

“Iya nih tua bangka! Kemarin-kemarin gelas kristalku yang berharga jutaan rupiah, kini guci antik yang harganya saja selangit. Papa kan sudah tahu dilarang masuk ruangan keluarga, kenapa bandel juga?” Istri Ardy pun ikut menghardiknya

“Ma…ma..ma..maafkan  papa, Ardy dan Nancy, papa hanya ingin bermain dengan

Mitchel. Apakah_” Belum bicaranya selesai, dengan kasarnya Ardy memotong,

“Sudah!...sudah…!  Saya tidak mau dengar lagi alasan!…mulai hari ini juga beresin pakaian papa!, Ardy sudah tidak mau melihat papa lagi….tua bangka! Hanya merepotkan saja” Bentaknya sambil mendorong kursi roda ayahnya menuju kamar dan membereskan seluruh pakaian ayahnya.

“Benar Pih! Aku sangat setuju dengan pendat papi” Nancy pun turut mendukung suaminya

Ia pun membawa ayahnya ke rumah adik nya.   Andryansah adalah seorang pengacara  yang banyak menangani kasus-kasus  korupsi besar dan kasus besar lainnya, namun setelah mendengar apa yang sudah terjadi di rumah kakaknya ia pun dengan keras menolak untuk merawat ayah mereka. Akhirnya mereka menelepon adik mereka yang bungsu, yang di wakili oleh yang sulung.

“Halo…Devi, kamu lagi dimana?” Ardy langsung bertanya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun