“Dari beberapa kali pertemuan, suatu saat ayah menanyakan tentang sekolah dan cita-citaku, aku jawab aku telah putus sekolah dan bercita-cita untuk menjadi seorang dokter bedah, agar dapat mengoperasi penyakit ibu dan menyembuhkan penyakitnya. Dan ayah juga memperhatikan perilaku saya yang selalu menyembunyikan tangan kiri, saya waktu itu menolak dikarenakan malu, setelah ayah melihatnya, ayah bilang jangan malu nak! Tanda yang ada di tanganmu adalah tanda dari Allah yang telah menetapkan lewat tanganmu banyak orang yang akan engkau selamatkan. Sungguh! Ayah kata-kata itu adalah doa bagi saya dan yang telah membangkitkan semangat untuk giat belajar. Dan diluar dugaanku, ayah pun dengan sukarela mau menjadi ayah angkatku. Bahkan ayah pula yang membawa ibu berobat hingga ibu mendapatkan bantuan pengobatan gratis dari suatu yayasan yang ayah kenal. Terimakasih ayah, atas semua budi baikmu yang tak ternilai oleh harta bahkan nyawa sekalipun, aku dapat menjadi seperti semua bukan karena kepintaran dan kerja keras ku, namun semua berkat jasa dan doa dari ayah” Kembali ia mengusap airmatanya,
“Ayah, tiga tahun yang lalu, saat saya ada seminar di kota ini, saya mencari-cari akan keberadaan ayah. Saya menanyakan ketempat dulu ayah bekerja, dan mereka katakan jikalau ayah sempat dipindahkan kebeberapa kota, lalu mereka menyarankan agar mencari data-data tentang ayah di sekertariat pensiunan. Dan saya pun meminta alamatnya lalu saya melanjutkan pencarian tentang ayah ke kantor sekertariat. Dari sanalah saya temukan alamat ayah, namun sayang ternyata rumah ayah telah di jual dan pemilik yang baru tidak mengetahui akan keberadaan ayah. Hampir-hampir saya putus asa di buatnya, namun perjuangan saya akhirnya membuahkan hasil juga, ini semua berkat pertolongan Allah, seminggu yang lalu, Andi anak kami yang baru berumur lima tahun. Di tengah malam terbangun dan ia menangis, herannya ia mengatakan kepada kami bertemu seorang kakek duduk dikursi roda dan memangkunya serta berkata ini aku kakekmu. Setelah kejadian itu ia senatiasa meminta kami untuk menemui kakeknya, kami ajak untuk menemui ayah mertua saya, dia bilang bukan kakek yang ini, ia bilang kakek Andi. Saya tidak menyadari pada saat itu, jika yang dikatakan anak kami adalah kakek yang namanya Andi, setelah saya renungkan akhirnya menemukan jawabannya bahwa kakek yang dimaksud anak kami adalah ayah. Saya pun mencari kembali ke kantor pensiunan ayah dan melacak dari beberapa data mungkin ayah dirawat di sebuah rumah sakit. Jika berdasarkan dari mimpi anak kami yang mengatakan ayah duduk di kursi roda. Setelah dilacak melalui jaminan kesehatan milik yayasan pensiun tempat ayah dulu mengabdi, menunjukkan bahwa ayah pernah di rawat beberapa kali di rumah sakit yang kini saya bekerja di sana. Dan disana terdapat data nomor telepon dari seseorang yang bernama Ardy Firmansyah, kemudian saya menelepon nomor tersebut namun yang menerima adalah asisten rumah tangga pak Ardy. Saya katakan bahwa, saya dari pihak rumah sakit dan hendak menanyakan perihal kesehatan Pak Andy untuk data asuransi. Akhirnya asisten itu menceritakan tentang ayah dan memberikan alamat ini kepada saya” Agung pun mengahiri kisahnya yang begitu panjang,
Pak Andi terlihat menangis penuh haru dan tampak pula mata Arya dan pipit yang sejak tadi duduk di pinggir kasur dan menyimak kisah tersebut ikut larut dalam keharuan, dan mata mereka pun berkaca-kaca .
“Ayah, tujuan saya kemari dan menemui ayah adalah salahsatunya menunaikan amanah dari almarhumah ibu yang mengatakan kepada saya, agar saya mencari ayah untuk mengucapkan terimakasih atas semua yang telah ayah lakukan kepada saya dan ibu” Lanjut Agung,
“Nak Agung, nggak perlu sampai repot-repot seperti ini, sebab sudah kewajiban kita untuk saling menolong dan berbagi bukan saja dengan saudara dan orang yang kita kenal. Namun kepada semua sesama kita, wajib bagi kita untuk murah hati dan ringan tangan dalam menolong serta membantu. Dan dalam membantu terus terang, saya tak mengharapkan pamrih apapun” Ucap pak Andi
Sebelum Agung mengucapkan kata-katanya muncullah dari balik pintu seorang anak laki-laki dan dengan lincahnya ia berlari dan menghampiri pak Andi, seraya memeluk kedua pahanya dan mengucap,
“Papa..ini kakekku…” Ucapnya, dan ia pun memegang tangan pak Andi dan menempelkan di dahinya sebagai tanda hormat,
“…….” Pak Andi hanyut dalam kesedihan, haru dan bahagia. Ia begitu bahagia manakala seorang anak kecil menyebutnya kakek dan memeluknya dengan hangat, tiga tahun lamanya ia menahan kerinduan akan cucunya hadir dan berkata “kakek” serta memeluknya, kini bagaikan hujan sehari yang telah menghidupkan tanah yang telah mati, terobati sudah dahaga kerinduanya oleh setetes embun di pagi hari….terimakasih Tuhan atas segala nikmat yang telah Engkau berikan…kini aku mengerti, inilah tugas yang terakhir dari-Mu yaitu menantikan kedatangan satu keluarga kecil yang akan menghapuskan dahaga kerinduanku, satu keluarga yang akan menghidupkan jiwa dan hati yang telah kering….terimakasih Tuhan atas segala kesempatan yang telah Engkau berikan…..
*****____________*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H