Andi kecil berjalan pulang menuju rumah dengan pakaian yang kusut, sepatu yang sangat kotor, memang biasa itu, bahkan jika menanam sayur di kaos kaki Andi tentu akan tumbuh dengan sangat subur. Andi yang sedang duduk di bangku kelas 6 sekolah dasar itu seperti biasanya berjalan perlahan sembari mengamati perkampungan pemulung yang kumuh, bau dan selalu menjadi langganan banjir setiap tahunnya, bahkan ketika Andi di jalan pulang, bekas dari muntahan sungai tetap masih menjadi pemandangan yang menghadirkan estetika tersendiri bagi Andi dan orang kampung lainnya.
Dari kejauhan, rumah kecil Andi sudah mulai terlihat. Ayahnya sedang sibuk memasukkan botol-botol plastik bekas ke dalam karung untuk segera ditukarkan menjadi rupiah. Kedatangan Andi memberikan rasa lega bagi ayahnya, ya, melihat Andi yang pulang lebih awal dari biasanya membuat Andi bisa istirahat lebih lama dan kemudian membantu memilah botol, kaleng, kertas dan besi-besi tua.
Tanpa banyak bicara Andi duduk di kursi tua yang ayahnya dapat, masih sangat layak, hal itu pun memang selalu menjadi pertanyaan Andi kenapa orang-orang begitu cepat membuang yang lama dan membeli yang baru, bukankah di dalam dunia ini hal yang benar-benar tidak berguna bagi orang lain tetap bisa menjadi berguna? Jelas Andi tidak tahu pasti.
Andi kecil memang selalu ingin tahu, sayangnya pengetahuan tidak mau tinggal lama dengannya, bahkan ketika ia mencoba menangkapnya, pengetahuan itu begitu liar ditangannya. Dunia memang selalu menarik perhatian Andi, bahkan sampah-sampah yang dikumpulkan juga perlu dipertanyakan. Sering sekali Andi bertanya kepada ayahnya, tapi, ayahnya mungkin tidak punya banyak jawaban untuk semua pertanyaan Andi, tapi, kalau soal harga barang-barang bekas, harga beras itu sudah tentu bisa dijawab dengan sangat mudah oleh ayahnya.
Mata Andi tertuju pada tumpukan koran di sampingnya, memang koran-koran itu sangat sedikit, tidak seperti biasanya. Tentu saja Andi langsung bertanya "kenapa hanya setebal lima jengkal pak?"
"orang-orang sudah jarang baca koran, ndi"
"kenapa orang-orang jarang baca koran?"
"tidak tahu. Mungkin sedang bosan"
"ohhh" Andi mengangguk, kemudian bertanya lagi "kalau buku? Apakah orang-orang juga bosan membaca buku?"
"mungkin saja, setiap hal di dunia ini tentu ada bosannya"
Andi mengambil selembar koran dan membaca, perlahan ia membuka satu persatu lembar koran itu. Meskipun koran itu adalah koran yang diterbitkan minggu kemarin, tapi, Andi tentu tidak peduli.
Kemudian Andi bertanya lagi, "pak, apa itu September hitam?"
Ayahnya keheranan, tapi, ia tetap melanjutkan pekerjaannya dan tidak merespons Andi. Memang biasa seperti itu, Andi akan diam kalau ayahnya tidak menjawab, itu sudah cukup membuat Andi paham ayahnya tidak punya jawaban. Tapi, kali ini Andi tetap bertanya pada Ayahnya.
"September hitam itu apa, pak?"
"tidak tahu, ndi." Jawab pasrah ayahnya
"di sini di tulis banyak orang berkumpul untuk mengenang setiap peristiwa-peristiwa di bulan September" mata Andi tetap membaca koran itu. Kemudian ia bertanya sendiri "kira-kira kenapa dengan September hitam?, mungkinkah ini sebuah hari untuk mengenang para pahlawan seperti hari pahlawan? Atau mengenang sebuah kemenangan seperti tujuh belas agustusan?, tapi, kalaupun sama, siapa yang mereka lawan? Kan penjajah sudah tidak ada, setidaknya itu yang dikatakan buku-buku pelajaran di sekolah"
"sudahlah, ndi. Lupakan saja, lebih baik kau makan" perintah ayahnya
Ya, karena di suruh untuk makan, tentu saja Andi pergi makan, perutnya sudah lapar. masalah sejarah bisa nanti-nanti saja, atau mungkin setelah makan Andi akan lupa sama seperti kebanyakan orang. Sungguh kasihan Andi, ingin belajar untuk mengenyangkan pikiran malah disumpal mulut dan perutnya dengan nasi yang tidak enak dan juga beberapa ikan asin, tapi, yang penting kenyang bukan?
Andi makan dengan begitu lahapnya, lupa ia dengan koran, dengan informasi, dengan sejarah, tertutup semua ingatan itu dengan nasi dan ikan asin, sungguh malang nasibmu, ndi.
**
Malam tiba, Andi sibuk menulis di meja belajar yang sekali lagi ayahnya dapatkan di tempat pembuangan sampah, tapi, meja seperti ini sudah syukur sekali, sudah sangat mewah bagi Andi. Ayah Andi sibuk memilah barang bekas sekali lagi, agar cepat selesai ia sudah memberitahu Andi agar bisa membantunya, supaya besok bisa mulung dengan lancar.
Setelah selesai mengerjakan tugasnya Andi langsung menghampiri ayahnya dan membantu memilah botol-botol bekas. Satu persatu botol itu masuk karung, dan itu berarti besok sudah bisa ditukarkan dengan uang.
Di bawah lampu yang sangat redup itu Andi kembali lagi teringat dengan koran tadi siang yang ia baca, dan ia melihat Ayahnya dan kemudian bertanya lagi "pak, September Hitam itu apa?, kenapa banyak orang mengenangnya?"
Ayah Andi melirik Andi dengan kebingungan, bingung dan berpikir apa jawaban untuk pertanyaan Andi itu, tapi, sekali lagi ayahnya mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menghindari pertanyaan Andi.
"bapak lupa ada gorengan di dalam, tolong ambilkan, ndi" perintah ayahnya
Andi langsung bergegas, siapa tidak suka gorengan? Tanpa basa basi mereka menikmati gorengan dingin yang dibeli sejak tadi pagi. Sekali lagi, Andi lupa dengan pertanyaannya, lebih baik makan gorengan, sejarah bisa nanti-nanti saja, atau mungkin bisa kita lupakan, intinya perut kenyang kan?
Ayah Andi memang sedikit merasa bersalah. Ya, tidak bisa menjawab pertanyaan Andi memang membuat ayahnya merasa bahwa ia gagal sebagai ayah untuk mendidik Andi dengan benar. Tapi, mau bagaimana lagi? Ayah Andi hanya seorang pemulung yang hanya tahu baca tulis dan berhitung, Bukan karena ia takut memberitahukan kebenaran, dan juga di dunia ini tentu tidak ada yang takut terhadap sejarah bukan? Dan tidak ada pula yang takut terhadap kebenaran.
Kehidupan menjadi seorang pemulung memang sudah diwariskan oleh keluarga Andi sejak zaman kakek neneknya. Tapi, ayah Andi tidak mau mewariskan dinasti keluarga mereka pada Andi, bukan karena sampah berkurang atau barang-barang bekas berkurang, bukan itu. Tetapi, karena memang sudah seharusnya mengakhiri dinasti keluarga mereka sebagai seorang pemulung.
Ayah Andi memang bukan pembesar, tetapi, pengetahuan untuk menjalani hidup hari ini dan besok tentu ia miliki. Meskipun tidak bisa menjawab pertanyaan Andi, setidaknya Andi tidak kelaparan, tidak mengemis, tidak memeras, tidak merampas, itu sudah cukup.
Mengumpulkan keberanian, ayah Andi kemudian berkata kepada Andi.
"nak, maaf, tidak bisa aku menjawab pertanyaanmu yang begitu banyak kepalamu. Jangan kiranya kau berharap banyak pada aku ini. kau masih muda, belajarlah mencari tahu sendiri, masalah makan biar urusanku."
Matanya ayah Andi berkaca-kaca, ia menarik nafas dan menghembuskannya berserta pengakuan terhadap dirinya yang tidak berdaya di hadapan pertanyaan-pertanyaan Andi.
Ayahnya melanjutkan lagi perkataannya. "nak, jangan kau ikuti jejakku, siapa pun tidak mau mengikuti jejak dari ayah yang tidak berdaya seperti aku ini, dan kau sesekali pun jangan. Pesanku tidak banyak mengakhiri nasehat ini. intinya belajarlah apa yang kau mau dan yang kau bisa. Dan juga percayalah bahwa besok matahari belum runtuh dan belum boleh runtuh karena kau masih mencari, masih mengayuh, menelusuri sungai-sungai hidupmu. Hiduplah untuk hari ini, untuk besok dan seterusnya, jangan mati di bulan September ini dan juga di bulan-bulan lainnya."
Mendengar ucapan ayahnya Andi hanya mengangguk dan melanjutkan memakan gorengan dingin itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H