Setelah selesai mengerjakan tugasnya Andi langsung menghampiri ayahnya dan membantu memilah botol-botol bekas. Satu persatu botol itu masuk karung, dan itu berarti besok sudah bisa ditukarkan dengan uang.
Di bawah lampu yang sangat redup itu Andi kembali lagi teringat dengan koran tadi siang yang ia baca, dan ia melihat Ayahnya dan kemudian bertanya lagi "pak, September Hitam itu apa?, kenapa banyak orang mengenangnya?"
Ayah Andi melirik Andi dengan kebingungan, bingung dan berpikir apa jawaban untuk pertanyaan Andi itu, tapi, sekali lagi ayahnya mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menghindari pertanyaan Andi.
"bapak lupa ada gorengan di dalam, tolong ambilkan, ndi" perintah ayahnya
Andi langsung bergegas, siapa tidak suka gorengan? Tanpa basa basi mereka menikmati gorengan dingin yang dibeli sejak tadi pagi. Sekali lagi, Andi lupa dengan pertanyaannya, lebih baik makan gorengan, sejarah bisa nanti-nanti saja, atau mungkin bisa kita lupakan, intinya perut kenyang kan?
Ayah Andi memang sedikit merasa bersalah. Ya, tidak bisa menjawab pertanyaan Andi memang membuat ayahnya merasa bahwa ia gagal sebagai ayah untuk mendidik Andi dengan benar. Tapi, mau bagaimana lagi? Ayah Andi hanya seorang pemulung yang hanya tahu baca tulis dan berhitung, Bukan karena ia takut memberitahukan kebenaran, dan juga di dunia ini tentu tidak ada yang takut terhadap sejarah bukan? Dan tidak ada pula yang takut terhadap kebenaran.
Kehidupan menjadi seorang pemulung memang sudah diwariskan oleh keluarga Andi sejak zaman kakek neneknya. Tapi, ayah Andi tidak mau mewariskan dinasti keluarga mereka pada Andi, bukan karena sampah berkurang atau barang-barang bekas berkurang, bukan itu. Tetapi, karena memang sudah seharusnya mengakhiri dinasti keluarga mereka sebagai seorang pemulung.
Ayah Andi memang bukan pembesar, tetapi, pengetahuan untuk menjalani hidup hari ini dan besok tentu ia miliki. Meskipun tidak bisa menjawab pertanyaan Andi, setidaknya Andi tidak kelaparan, tidak mengemis, tidak memeras, tidak merampas, itu sudah cukup.
Mengumpulkan keberanian, ayah Andi kemudian berkata kepada Andi.
"nak, maaf, tidak bisa aku menjawab pertanyaanmu yang begitu banyak kepalamu. Jangan kiranya kau berharap banyak pada aku ini. kau masih muda, belajarlah mencari tahu sendiri, masalah makan biar urusanku."
Matanya ayah Andi berkaca-kaca, ia menarik nafas dan menghembuskannya berserta pengakuan terhadap dirinya yang tidak berdaya di hadapan pertanyaan-pertanyaan Andi.