Kukunjungi lagi batas provinsi ini, Prambanan. Sebuah candi yang menyimpan kisah cinta bandung wondowoso pada putri loro jonggrang. Cinta sebelah tangan yang membuat bandung wondowoso tega mengutuk gadis pujaannya menjadi patung ke-1000. Di situ jua awal kisah kita terekam. Sebuah kenangan yang enggan berhenti mengejarku Tapi kisah kita lain, tak jelas siapa yang patah hati. Aku atau kau? Atau malah kita sama-sama merasakan cinta yang bertepuk sebelah tangan?
Ada sinar cerah di wajahmu saat aku mengiyakan ajakanmu untuk berkeliling berdua saja. Alasanmu bersama rombangan terlalu ramai dan riuh. Berdua saja lebih asyik, katamu. Aku tak mempedulikan alasanmu itu apa adanya atau hanya sekedar pembenaran semata. Benak lelaki sepertiku hanya dapat mensyukurinya. Ya, sebelumnya tak ada gadis cantik sepertimu yang mau bercakap-cakap akrab denganku. Apalagi ketika kau memintaku untuk foto berdua. Semerbak wangi taman penuh bunga membanjiri sekujur jiwa.
Kau minta agar aku tak ragu berpose lebih dekat denganmu. Kedua tanganmu erat memegang payung untuk kita berteduh, dan tangan kananku bergerak sendirinya melingkari bahumu. Atas bantuan pengunjung lainnya, kilatan cahaya kamera mengambil gambar tubuh kita yang membelakangi Candi Siwa, Candi brahma, Candi Wisnu dan tumpukan batu-batu lainnya peninggalan masa lampau..
“Sebaiknya kita kembali ke rombongan” pintaku
“Untuk apa?” ketus manismu langsung kusuka.
“Kita belum mencatat laporan observasinya”
“Aku sudah beli buku soal prambanan tadi, jadi tak usah khawatirkan soal laporan”
“Tapi..”
“Teman-teman kita paling melakukan hal yang sama” kalimatku terpotong olehmu.
Siang yang menyengat sudah tergantikan oleh tirai langit senja. Degup jantung kian terpacu kencang saat kau membawaku semakin jauh dari rombangan. Awalnya aku berpikir akan mencuri kesempatan untuk lari darimu, tapi justru karena sikap anehmu itulah aku berlaku patuh. Meski begitu, tetap saja aku agak mendesakmu pulang.
“Sudah waktunya kita ke parkiran, kawan-kawan dan dosen pasti sudah lama menunggu kita. Ayolah!”
“Tapi acara kita belum selesai”
“Maksudmu?”
“Aku tak ingin pulang. Bawalah aku keliling Jogja, terserah kemana saja”
“Kau tidak letih?”
“Tidak, kecuali tak ada kau”
Batinku berkecamuk, digeluti oleh rasa penasaran. Ada apa dengan wanita satu ini, pikirku. Berbagai pertanyaan muncul di ruang kepalaku, tetapi tak mampu untuk kulemparkan padamu. Aku menuruti saja maumu dan malah melintas dalam benakku ini akan jadi keuntungan buatku. Siapa tahu akan menjadi pengakhir segala hasratku soal cinta. Ya, mungkin lebih baik daripada harus menunggu keberanian muncul untuk mendekati wanita. Kenapa yang sudah tersaji harus kutepis?
Kita susuri keramaian ruas jalan malioboro. Tak ada yang ingin kita beli. Hanya sekedar memuaskan mata oleh pernak-pernik yang dihamparkan para pedagang. Rinai gerimis tak membuatku kedinginan, hanya derai senyummu saja yang membuat bibirku beku. Rasa lapar di perutku juga tak begitu terasa saat bersamamu. Barangkali aku lebih terpuaskan karena kau tak henti-hentinya mencubit kecil tubuhku saat aku menceritakan sebuah lelucon padamu. Dalam batin, berguna juga aku banyak membaca buku obat stress yang berisi banyak cerita konyol. Ya, setidaknya dapat menjadi bahan pembicaraan dan barangkali dapat sedikit menghiburmu. Meskipun lelucon itu kusampaikan dengan kaku, kau tetap memberi repon tawa yang positif.
“Ke mana kita sekarang?’ tanyaku
“Sebaiknya kita cari tempat makan, kau pasti lapar bukan?”
“Tidak juga”
Beberapa jenak sorot matamu yang tajam menghujamku. Lalu tawa kecil membuncah dari bibirmu yang ranum.
“Apa yang lucu?”
Kau tak menjawab. Seakan ingin menyimpannya sendiri dan akupun tak berusaha mendesakmu. Aku hanya bisa menebak-nebak dalam hati, mungkin rasa gugupku terlalu mudah untuk kau baca sehingga tak berani jujur bahwa aku memang sudah lapar.
Kugiring perjalanan kita selanjutnya ke Bale Raos yang terletak sekitar Karaton Yogyakarta. Kau memesan Bebek Suwar-Suwir dan aku lontong kikil. Untuk soal minuman sama-sama kita menunjuk beer Djawa di daftar menu. Kau makan dengan lahap, keceriaan tampak dari wajahmu meski mulutmu sedang menguyah. Sedangkan makanku sendiri jadi lamban karena terlalu paku pada tingkahmu. Tak tahulah, apa itu rasa suka atau barangkali cinta, keraguan masih timbul tenggelam..
Hawa malam menggidik rasa, kemarau resah menjaring suasana. Sungguh tak kusangka akan secepat ini. Menginap satu kamar dengan seorang teman perempuan, baru pertama kali kulakukan denganmu. Secepat itukah wanita sepertimu ditaklukkan?. Atau malah sebaliknya: aku lelaki yang gampang bertekuk lutut? Keringatku mengucur deras, seperti gunung es yang melumer. Padahal adegan itu belum sama sekali kita mulai karena aku masih ragu dan kau juga sepertinya hanya bisa melirikku sesekali. Aku tak tahu apakah kau menunggu inisiatifku untuk memulainya atau kau mencoba membuat permainan dengan caramu sendiri. Aku tak tahu.
“Sebaiknya aku tidur di Sofa” ucapku setengah ragu. Ya, takut keceriaanmu seharian tadi berubah muram seketika.
“Percuma kita patungan memesan kamar, kalau akhirnya harus ada yang mengalah.”
“Bukan begitu maksudku”
“Kita hanya tidur di satu ranjang, tidak melakukan hal lebih seperti yang kau bayangkan”
“Memang, tapi aku tak biasa”
Lagi-lagi kau tak mau menjawab. Aneh. Bingung semakin mengelubungiku. Kau langsung mematikan lampu, lalu menutup seluruh tubuhmu dengan selimut. Lalu apa arti desah nafasmu yang menggoda saat bicara? Apa pula arti kerdip matamu tadi?
***
“Apa yang membuatmu ingin dekat denganku kemarin?”
“Kenapa baru kau tanyakan sekarang?” kau berbalik tanya
“Mungkin kau sedang ada masalah berat?”
“Sudahlah lupakan saja soal kemarin. Toh kita tak berbuat hal yang melanggar norma”
Aku bungkam. Tak berani menyanggahmu. Cepat sekali hubungan kita kembali ke titik nol. Tak ada lagi keakraban seperti kemarin. Hakmu sebenarnya, karena yang membangun adalah kau sendiri. Aku hanya sang penyambut yang tersangkut dalam pusaran kabut. Ya, aku terlanjur jatuh cinta padamu. Cinta yang sekonyong-konyong datang menerkam.
Ironisnya lagi, akupun kembali pada titik keterpendaman. Lagi-lagi hanya bisa menyangkutkan kata-kata pada kertas. Tak berani kuungkap padamu. Beberapa kali sengaja aku tersenyum kecil agar kau menghampiriku. Tapi aku tak berani mencari-cari alasan untuk berbicara denganmu, meminjam catatan misalnya. Atau pura-pura tak tahu tugas apa yang harus dikumpulkan minggu depan. Aku hanya pandai berharap kau melihatku saat aku sedang melihatmu. Tidak lebih.
Dari kejauhan kulihat engkau asyik bercengkerama dengan gank-mu di kantin. Aku membatin, apakah di antara keramaian itu, kau akan melirik sekejap saja padaku yang duduk sendiri di taman kampus ini? Tak inginkah kau menghampiriku, lalu bertanya tentang apa yang sedang kutulis?
Ternyata tak sedetikpun ekor matamu terlempar padaku. Tak seperti waktu itu, saat aku menipumu soal lapar di perut. Asal kau tahu, kali ini berbalik, bukan perutku yang lapar, tapi jiwa ini lapar karena kau acuhkan. Jiwaku butuh energi yang tersembul dari setiap senyummu dan untaian kata-katamu yang mesra nan menggoda.
Apakah kau kecewa karena aku enggan tidur denganku? Atau karena aku yang terlalu berpikir jauh karena mengganggap malam itu adalah malam yang masuk akal bagi persetubuhan?
Usahaku sudah sampai puncak dan kurasa inilah batas kemampuan yang kumiliki. Mungkin aku dituliskan sebagai lelaki penakut. Biarlah aku mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat tak sempat diucapkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.(1)
***
“Apa kabarmu sekarang?” tiba-tiba kau menghampiriku setelah beberapa bulan menegurpun tidak. Seakan lenyap oleh apa, aku tak tahu.
“Di luar tidak sedang hujan, bukan?” kau hanya tersenyum saat kusindir.
“Tentu tidak, langit malah tampak cerah di sana”
“Kau misterius” lanjutmu
“Apa bukan sebaliknya?” degup jantungku berpacu cepat, sama lajunya ketika kita di Prambanan dulu.
“Sudahlah, kita memang sama-sama misterius. Dan sekarang aku ingin membuka semuanya padamu”
“Uh...” nafasmu panjang terhembus. Seakan berat untuk berkata-kata.
“Kau tahu istilah ayam kampus?” pertanyamu menghenyakkanku. Buku soal penyimpangan sosial yang kupegang jatuh ke bawah secara tiba-tiba.
“Aku sering menulis tentang itu di Majalah kampus, pernah juga koran lokal memuatnya” jawabku dengan tanda tanya yang sudah membelit di kepalaku.
“Aku salah satunya” jawabmu dengan raut wajah sedih, dan dapat kupastikan kejujuranlah yang kau katakan.
“Jangan beritahu siapa-siapa; Pak Kirno itu termasuk langgananku”
“Apa? Pak kirno dosen pembimbingku itu?”
“Ya”
“Brengsek Pak tua itu!!!” umpatku.
“Sudahlah. Jangan kaget begitu. Banyak kok model dosen seperti dia. Lagi pula aku hanya ingin membicarakan tentang kita”
“Apa kau mencintaiku?” pertanyaanmu menderaku lagi.
“Ha...ha...mana mungkin aku jatuh cinta padamu”
“Aku bisa membacanya lewat cahaya matamu. Dan kukira aku takkan salah tentang itu”
“Kau salah besar, Nona” tiba-tiba saja aku menjadi angkuh. Entah setan atau malaikat yang berbisik di telingaku. Semua terdengar samar, tak jauh beda.
“Apa kau mau tahu soal malam itu?” ucapnya dengan sinar mata yang mulai layu.
“Oh... tidak usah, lupakan saja soal itu. Toh tidak terjadi apa-apa diantara kita” tiba-tiba aku mencuri kalimat yang pernah kau katakan padaku.
Kau lalu terdiam. Mulutmu tersimpul mati. Kau menatap tajam mataku, tapi kali ini, rasa bencilah yang mengental di situ, bukan seperti tatapan di ruas jalan malioboro waktu itu.
“Maaf kalau aku salah, tapi yang pasti aku beruntung pernah dekat denganmu, biarpun hanya sehari” ucapmu dengan sinar mata yang menahan kekecewaan mendalam.
“... dan semoga kau tak menyesal karena pernah dekat dengan orang kotor sepertiku” Suaramu begitu lirih. Menyayat nurani.
Kau berbalik arah, menyeret langkah dengan cepat. Sedangkan aku masih mengitari puing-puing kenangan yang tersimpan bersamamu, benar-benar tak dapat kulupa. Apa menurutmu aku menyesal karena pernah dekat denganmu? Bukan. Bukan begitu. Itulah sebenarnya yang salah besar. Hal yang kusesali malah ucapan dan sikapku. Tak seharusnya aku menipu soal perasaanku padamu.
Kini, terlambat sudah untuk kusesali, tak berselang lama kau akhirnya memilih pergi. Hanya selembar kertas yang kau titipkan pada tetanggaku saat aku tak di rumah. Ku lantunkan dengan seksama tulisanmu:
Sekujur tubuhku terjamah pada malam-malam kelam
Mereka mendengar aku bernyanyi, padahal aku sedang merintih
Dan... lembaran uang itu menamparku sampai sum-sum tulang
Kukira akan ada yang menyelamatkanku
Tapi rupa-rupanya kota ini sama sekali tak menyediakan lembaran baru buatku
Mungkin pergi jadi jawaban buatku
Entah kemana kau sekarang. Aku juga tak tahu, apakah aku penyebabnya atau bukan. Bait-bait yang kau tulis terlalu pahit untuk kumengerti.**
Catatan :
(1) Kutipan puisi Sapardi Joko Damono, Hujan Bulan Juli.
Solo, Mei 2007
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H