***
“Apa yang membuatmu ingin dekat denganku kemarin?”
“Kenapa baru kau tanyakan sekarang?” kau berbalik tanya
“Mungkin kau sedang ada masalah berat?”
“Sudahlah lupakan saja soal kemarin. Toh kita tak berbuat hal yang melanggar norma”
Aku bungkam. Tak berani menyanggahmu. Cepat sekali hubungan kita kembali ke titik nol. Tak ada lagi keakraban seperti kemarin. Hakmu sebenarnya, karena yang membangun adalah kau sendiri. Aku hanya sang penyambut yang tersangkut dalam pusaran kabut. Ya, aku terlanjur jatuh cinta padamu. Cinta yang sekonyong-konyong datang menerkam.
Ironisnya lagi, akupun kembali pada titik keterpendaman. Lagi-lagi hanya bisa menyangkutkan kata-kata pada kertas. Tak berani kuungkap padamu. Beberapa kali sengaja aku tersenyum kecil agar kau menghampiriku. Tapi aku tak berani mencari-cari alasan untuk berbicara denganmu, meminjam catatan misalnya. Atau pura-pura tak tahu tugas apa yang harus dikumpulkan minggu depan. Aku hanya pandai berharap kau melihatku saat aku sedang melihatmu. Tidak lebih.
Dari kejauhan kulihat engkau asyik bercengkerama dengan gank-mu di kantin. Aku membatin, apakah di antara keramaian itu, kau akan melirik sekejap saja padaku yang duduk sendiri di taman kampus ini? Tak inginkah kau menghampiriku, lalu bertanya tentang apa yang sedang kutulis?
Ternyata tak sedetikpun ekor matamu terlempar padaku. Tak seperti waktu itu, saat aku menipumu soal lapar di perut. Asal kau tahu, kali ini berbalik, bukan perutku yang lapar, tapi jiwa ini lapar karena kau acuhkan. Jiwaku butuh energi yang tersembul dari setiap senyummu dan untaian kata-katamu yang mesra nan menggoda.