Apakah kau kecewa karena aku enggan tidur denganku? Atau karena aku yang terlalu berpikir jauh karena mengganggap malam itu adalah malam yang masuk akal bagi persetubuhan?
Usahaku sudah sampai puncak dan kurasa inilah batas kemampuan yang kumiliki. Mungkin aku dituliskan sebagai lelaki penakut. Biarlah aku mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat tak sempat diucapkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.(1)
***
“Apa kabarmu sekarang?” tiba-tiba kau menghampiriku setelah beberapa bulan menegurpun tidak. Seakan lenyap oleh apa, aku tak tahu.
“Di luar tidak sedang hujan, bukan?” kau hanya tersenyum saat kusindir.
“Tentu tidak, langit malah tampak cerah di sana”
“Kau misterius” lanjutmu
“Apa bukan sebaliknya?” degup jantungku berpacu cepat, sama lajunya ketika kita di Prambanan dulu.
“Sudahlah, kita memang sama-sama misterius. Dan sekarang aku ingin membuka semuanya padamu”
“Uh...” nafasmu panjang terhembus. Seakan berat untuk berkata-kata.
“Kau tahu istilah ayam kampus?” pertanyamu menghenyakkanku. Buku soal penyimpangan sosial yang kupegang jatuh ke bawah secara tiba-tiba.