“Apa kau mau tahu soal malam itu?” ucapnya dengan sinar mata yang mulai layu.
“Oh... tidak usah, lupakan saja soal itu. Toh tidak terjadi apa-apa diantara kita” tiba-tiba aku mencuri kalimat yang pernah kau katakan padaku.
Kau lalu terdiam. Mulutmu tersimpul mati. Kau menatap tajam mataku, tapi kali ini, rasa bencilah yang mengental di situ, bukan seperti tatapan di ruas jalan malioboro waktu itu.
“Maaf kalau aku salah, tapi yang pasti aku beruntung pernah dekat denganmu, biarpun hanya sehari” ucapmu dengan sinar mata yang menahan kekecewaan mendalam.
“... dan semoga kau tak menyesal karena pernah dekat dengan orang kotor sepertiku” Suaramu begitu lirih. Menyayat nurani.
Kau berbalik arah, menyeret langkah dengan cepat. Sedangkan aku masih mengitari puing-puing kenangan yang tersimpan bersamamu, benar-benar tak dapat kulupa. Apa menurutmu aku menyesal karena pernah dekat denganmu? Bukan. Bukan begitu. Itulah sebenarnya yang salah besar. Hal yang kusesali malah ucapan dan sikapku. Tak seharusnya aku menipu soal perasaanku padamu.
Kini, terlambat sudah untuk kusesali, tak berselang lama kau akhirnya memilih pergi. Hanya selembar kertas yang kau titipkan pada tetanggaku saat aku tak di rumah. Ku lantunkan dengan seksama tulisanmu:
Sekujur tubuhku terjamah pada malam-malam kelam
Mereka mendengar aku bernyanyi, padahal aku sedang merintih