Mohon tunggu...
Bazaruddin Ahmad
Bazaruddin Ahmad Mohon Tunggu... Guru - Berkaryalah

Pernah mengajar di homeschooling kak Seto Solo. Kini Mengabdikan diri di SMA N 1 Pulau Maya. Belajar untuk Menulis. j

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rintik Hujan Tak Sampai

3 Januari 2016   12:36 Diperbarui: 3 Januari 2016   13:46 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan turun seketika

Langit semakin sulit dimengerti. Entah karena didera efek rumah kaca atau memang ingin cari sensasi. Sekarang ini mendung tak lagi jadi petanda hujan. Bumi bisa basah seketika, tak peduli seperti apa langit menunjukkan wajah. Seperti siang ini, hujan menjebakku dalam perjalanan menuju tempat kerja. Untunglah, tersangkut di warung kopi. Setidaknya risau bisa diredam sedikit.

Dan aku juga tak kuasa menampik kebetulan yang kerap datang mengejutkan. Di depanku, muncul sosok perempuan. Tak perlu lama memastikan, ia adalah manusia yang sudah lama ingin kulupakan tapi selalu saja gagal. Mataku berkaca, matanya menyorot biasa. Senyumnya gembira, senyumku beraduk makna. Ia bersemangat bertanya kabar dan bercerita, sedang aku kian tak sabar mengharap hujan reda agar pertemuan ini segera bubar.

Tapi ternyata langit bersikap terbalik. Ia kian deras. Situasi membuat kami berada di satu meja. Tempias hujan memperciki punggung perempuan itu. Membuat ia beralih duduk tepat disampingku.. Ya Tuhan, debar itu datang kembali setelah dua tahun menguap.

“Wah, senang sekali. Tak kusangka ketemu abang lagi di sini”

“Sama, abang juga tak menyangka” jawabku

Andai saja ia tahu, sebenarnya yang tak kusangka adalah mengapa Tuhan tega mendamparkanku di tempat yang sama dengannya. Padahal, waktu itu sudah ratusan do’a kusampaikan, pisahkan aku sejauh-jauhnya bila ia bukan jodohku. Tapi, kenapa sekarang Dia hidangkan wajah manisnya lagi setelah dua tahun menjauhkannya dariku?

“Melamun apa? Kopinya nanti dingin”

Ampun, entah berapa detik atau bahkan menit aku menatap kosong sampai tak sadar kopi sudah tersaji dimeja.

“Aku tahu perokok sepertimu, pasti berkawan akrab dengan kopi. Makanya kupesan tadi”

Aku tersenyum, dia ternyata masih ingat. Padahal dulu ia selalu merungut bila ada laki-laki yang merokok di dekatnya. Kalian mencuri hak orang lain menghirup udara segar, begitu yang sering diocehkannya

“kau benar sekali” jawabku

“Ya, seperti suamiku”

Air kopi yang sudah mendekati bibir tersentak oleh rasa kejutku. Tumpah, meja jadi hitam basah.

“Kau sudah menikah?”

“Tujuh bulan yang lalu. Maaf, aku sudah berusaha mengundang. Tapi nomor abang selalu tidak aktif.

“Oh, HP abang kecurian waktu itu, malas untuk mengurusnya. Hmm… Selamat kalau begitu”

“terima kasih. Oh ya kerja dimana sekarang, bang?”

ngajar di SMA 3”

“Oh, dekat dengan sekolahku mengajar dong. Aku di SMA 5. Cuma 50 meter jaraknya khan”

Oh tidak, batinku terpilin.

Kuhela nafas. Kuminum kopi  yang sudah jadi pahit, harum rokok telah berubah hambar.

Hujan reda.

Perbincangan berakhir seiring bahan cerita yang hampir kering dan hujan yang beranjak reda. Motor kami melaju beriringan. Sampai di gerbang sekolahnya, aku melepasnya. Untuk hari ini. Dan esok lusa dan seterusnya mungkin akan begini terus. Sungguh tak dapat kubayangkan bagaimana harus berjalan beriring dengan istri orang yang sangat kuidamkan.

Langit bersahaja. Memang hujan sudah benar-benar reda. Tapi tidak dengan benak di kepala, masih bergumul resah dengan ini semua.

Hujan rintik di malam yang pelik

            Tak dapat kutampik, betapa hatiku tersanjung saat ia minta aku bertandang ke rumahnya. Tapi aku juga tak bisa menghindar dari kenyataan bahwa hatinya sudah dikawal oleh lelaki lain secara syah menurut hukum dan agama. Aku menolak awalnya, tapi ia mendesak dan bilang bahwa untuk sementara suaminya bekerja di jawa. Kalau pulang, paling sekali sebulan.

Jika ada tetangga yang bersuara sumbang, akan dia katakan bahwa aku adalah abang kandungnya. Aku tak bisa menolak lagi kalau sudah ditenangkan begitu.

“tak kau ingat, bukankah dulu banyak yang bilang wajah kita mirip. Jadi, mustahil mereka tak percaya” ujarnya membuka pembicaraan.

Aku sesak kenapa itu harus diungkit. Berwajah mirip tidak menjamin itu jodoh. Seperti kita, andai dia tahu.

“Iya, abang ingat. Tapi... “

“Sudah jangan banyak alasan. Abang memang tak berubah, selalu saja banyak pertimbangan untuk melakukan yang sedikit”

Sesakku kian kuat. Aku memang terlambat karena banyak timbang rasa, padahal hanya butuh sedikit waktu untuk mengatakan “I really fall in love with you” padanya.

Aku tak berkutik, tak dapat mengatakan tidak. Sampai di rumahnya. seperti yang dibilang, ia memang tinggal sendirian.

“Siapa calon isterimu bang” Pertanyaannya sungguh  menyebalkan. Seharusnya dirimu, batinku.

“Hmmm,,, belum ada”

“Ah tidak mungkin”

”benar. Untuk apa aku berbohong”

“Baiklah. Aku percaya. Oh ya sebentar, ada sesuatu untukmu”

Dia menuju ruang belakang. Memang apa yang ingin diberikan padaku? Tanyaku dalam hati. Tak berselang lama, ia muncul dengan sebuah buku yang tampaknya tak asing bagiku.

“Ini untukmu bang”

Tanganku bergetar saat menerima buku itu. Semoga covernya saja yang mirip dengan cover diaryku yang hilang. Tapi, ternyata harapku tak menyentuh kenyataan. Buku yang dia berikan ternyata memang milikku.

Aku terdiam. Sesekali kulirik wajahnya yang masih terlihat tenang.

“itu milik abang bukan?” Aku kian terpojok dan masih bungkam.

“Tak usah dijawab untuk sesuatu yang sebenarnya tak perlu dipertanyakan” dia menyentuh pundakku, menatap tajam seperti belati baru diasah.

“ya, itu memang milikku. dimana kau menemukannya?”

“Dimana aku menemukannya itu tidaklah penting. Yang penting khan isinya. Aku tersanjung membacanya”

Di luar hujan merintik. Dingin angin mulai mengusik.

***

Hujan November dua tahun lalu

Kutulis namamu sebanyak titik hujan

Biar membanjiri tanah hatiku

Dan kuundang angin bernama badai

Biar ia debarkan jantung saat terhembus namamu

Lelaki itu tak kenal jemu. Satu hari satu puisi ia buat. Terlebih kala hujan sedang bermusim. Tangan dan khayalnya berirama padu menjaring ispirasi. Seperti tangki bensin terpecik api. Sekecil apapun nyalanya mampu membakar gedung bertingkat sekalipun.

Puisi Hujan

“Bacakanlah untukku, bang” perempun sumber inspirasiku itu meminta.

“Baca apa?” tanyaku

“Puisi tentang hujan yang menghujani hatimu dengan namaku”

Seharusnya aku senang mendengar pintanya, tapi untuk apa lagi membaca bait cinta jika luka sudah terlanjur menganga? Bukankah hanya akan menambah perih bertambah.

Ini pengecut namanya, mengambil kesempatan dari belakang. Mengapa tak dari dulu, saat peluang terbentang di depan. Saat ia masih lajang, belum terikat cincin di jari, belum terikat orang lain dengan janji suci.

“Tidak adakah sisa sedikitpun cintamu yang dulu?” wanita ini benar-benar tak bisa kumengerti, tak ingatkah ia dengan suaminya yang jauh disana. Tapi akupun tergoda untuk menanggap lebih jauh

“Tentu masih ada. Bahkan banyak jika kau ingin tahu”

Wajahnya memerah, mungkin malu. Atau sedang merekah. Kutatap lekat matanya. Kuambil pena di saku baju, dan menyobek kertas di saku celana. Kubikin puisi sesuai pintanya.

Entah kebetulan atau bukan, di luar sana hujan turun lagi. Tepat saat kumulai kata dalam puisiku.

Serenade hujan yang lama kusimpan

Berserak berantakan karena penantian

Sesekali kusalahkan keadaan

Tapi saat ini Hujan benar-benar mendengar

Menghadirkanmu diwajahku

Meski pahit dalam kenyataan

Setidaknya bisa kubilang

Namamu telah karam di laut hatiku,  di samudera waktu

 

Hujan berhenti seketika

Tampak wajahnya berseri karena kubacakan puisi. Beribu terima kasih dari bibirnya terdengar lirih.

“ini melegakanku” katanya

“aku juga”

“kenapa?”

“kerena kalau boleh jujur, cintaku padamu takkan bisa hancur. Oleh apapun, tanpa kecuali”

Ia tersenyum kecil, aku mendekat di sisinya. Aku seperti tak peduli atau lupa barangkali, jika ia telah bersuami. Tapi aneh, dia yang dari kemarin mencoba mengungkit kemesraan kami sebagai teman di masa lalu, bahkan lebih jauh ia telah membuatku mengakui cinta yang kupunya, ia kini malah bersikap marah.

“Jangan kurang ajar kamu bang” Aku yang belum sedikitpun menyentuhnya, mengambil jarak.

“Kenapa? Bukankah kau yang memojokkanku dalam situasi ini. Diary, puisi, hujan, cinta? Apa itu, hah?”

“Maaf bang, aku hanya sedang ngidam puisi. Aku positif hamil. Entah kebetulan atau tidak, itu tepat ketika kita bertemu”

Hujan yang cukup lama mendinginkan hari tiba-tiba berhenti, hanya karena langit yang tak bisa dibaca. (*)

Mempawah, 9- 12 Oktober 2010

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun