Data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menunjukkan secara total 341 izin yang harus dikantongi kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS) Migas untuk bisa melaksanakan kegiatan operasi. Â Izin tersebut dibutuhkan untuk lima fase kegiatan, yakni survei awal, eksplorasi, pengembangan, produksi, dan pasca produksi. Proses pengurusan perizinan tersebar di 17 instansi, baik instansi pemerintah maupun swasta. Sebagai industri yang padat modal serta berisiko tinggi, sektor hulu minyak dan gas bumi sangat membutuhkan iklim investasi yang mendukung.
Keenam, imbal hasil atau interest rate of return (IRR) kecil.  Daya tarik industri hulu migas Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara kaya minyak lainnya, terlihat dari imbal hasil  yang kecil.  Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan, hal itu disebabkan cadangan migas di Indonesia sudah menipis, ditambah kondisi geologi yang relatif lebih kompleks dibandingkan negara-negara di Afrika dan Timur Tengah.  Because it’s limited… we need ti optimize the exploitation.
Tak banyak kontraktor berani membenamkan banyak uang di saat seperti ini. Â Kementerian ESDM pun mengakui bahwa dengan kondisi saat ini, industri hulu cukup tertekan. Â Terlebih di beberapa pengembangan wilayah kerja, tingkat pengembalian imbal hasil juga sangat rendah, terkadang hanya mencapai 5%.
Sementara, imbal hasil industri minyak normalnya berkisar 15% hingga 30%. Bentuk cekungan hidrokarbon Indonesia dan sistem reservoir-nya yang kompleks dan relatif kecil memang merupakan tantangan bagi kontraktor migas yang beroperasi di negeri ini. Namun, semua tantangan tersebut tak bisa dihindari, karena Indonesia butuh hasil migas sebagai sumber pendapatan negara, juga untuk memenuhi kebutuhan energi nasional.
Imbal hasil investasi hulu migas yang menarik ada di angka 18-24% karena risiko industri yang tinggi. Namun, saat ini rata-rata imbal hasil investasi hulu migas di Indonesia hanya di bawah 8%. Â Seperti eksplorasi yang dilakukan di wilayah deep water, seperti IDD Bangka atau lapangan Jangkrik, hanya memperoleh imbal hasil sekitar 5%. Kondisi ini jelas sangat tidak atraktif industri hulu migas di Indonesia. Â Sebagai perbandingan, lapangan migas paling atraktif untuk investor bisa memberikan imbal hasil sampai 34%, meskipun rata-rata di lapangan hanya memberikan imbal hasil 24%. Â Negara seperti Amerika Serikat, Meksiko, dan negara-negara Afrika saja untuk menarik minat investor memberikan IRR rata-rata 20-24%.
Ketujuh, waktu komersialisasi semakin panjang. Â Di era booming minyak di Indonesia, waktu yang dibutuhkan dari masa penemuan migas ke komersialisasi 2 sampai 5 tahun. Â Saat ini waktunya mencapai 10 sampai15 tahun.
Semakin panjangnya masa pengembangan ini berdampak pada beberapa blok migas besar di Indonesia saat ini yang sedang dikembangkan atau menunggu untuk dikembangkan. Beberapa contoh temuan besar itu seperti proyek Chevron IDD (Indonesia Deepwater Development) yang ditemukan pada awal 2000 saat ini pengembangannya menunggu proses perpanjangan PSC. Begitu juga Lapangan Abadi dengan kontraktor Inpex yang ditemukan pada 2000. Sedangkan lapangan Banyu Urip dengan kontraktor Exxon yang ditemukan 2001, baru  berproduksi tahun ini. Â
Dengan rendahnya harga minyak dan biaya eksplorasi yang besar di wilayah Indonesia Timur, kontrak dengan durasi 30 tahun tidaklah cukup bagi perusahaan.
Dengan kondisi bisnis saat ini, maka durasi kontrak yang ideal adalah 50 tahun. Atau tetap 30 tahun dengan otomatis perpanjangan 20 tahun. Tanpa adanya perubahan ini, investasi eksplorasi di Indonesia akan tetap menjadi tidak menarik.
Bersolek untuk Menarik Investor