Apalagi dariliftingminyak sebesar 815.000 bph, hanya sekitar 500.000 bph yang diolah di dalam negeri, sisanya adalah bagian milik perusahaan-perusahaan hulu migas yang menjadi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), bukan milik negara. Sedangkan minyak yang diekspor adalah jenis sweet oil.
Apa itu sweet oil? Berdasarkan umur dan letak kedalamannya minyak bumi digolongkan menjadi empat, yaitu young-shallow, old-shallow, young-deep, dan old-deep.
- Minyak bumi young-shallow biasanya bersifat masam (sour), mengandung banyak aromatik, sangat kental, dan kandungan sulfurnya tinggi.
- Minyak old-shallow relatif tidak terlalu kental dengan titik didih yang lebih rendah, dan rantai paraffin-nya agak pendek.
- MInyak bumi young-deep, relatif lebih kental dan pekat. Biasanya dalam proses penyulingan membutuhkan beberapa tahapan pengerjaan. Minyak bumi jenis ini relatif kurang disukai.
- Minyak old-deep adalah minyak bumi yang paling baik untuk menghasilkan bahan bakar seperti bensin (gasoline). Oleh karena itu minyak jenis ini disebut juga sebagai “sweet oil”,jenis minyak yang paling diminati.
Oleh sebab itu sweet oil harganya mahal di pasaran dunia. Jenis minyak inilah yang diekspor ke negara lain. Selain itu, impor minyak mentah juga dilakukan karena rata-rata minyak yang diproduksi Indonesia adalah jenis minyak yang mahal. Maka agar biaya produksi BBM lebih efisien, minyak yang mahal diekspor saja dan minyak yang lebih murah diimpor untuk diolah di dalam negeri. Jenis dan harga minyak mentah yang diimpor tersebut beragam. Pembelian dilakukan Pertamina dengan pertimbangan mana yang paling efisien untuk diolah menjadi BBM. Dari selisih harga ini, Pertamina berusaha memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. Minyak mentah yang diimpor Indonesia berasal dari berbagai negara di seluruh dunia, yang paling banyak berasal dari Arab Saudi, Rusia, dan Nigeria.
Kondisi lain yang meyebabkan negeri ini harus mengimpor BBM adalah terbatasnya kapasitas penyimpanan kilang minyak di Indonesia. Berdasarkan proyeksi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tingkat konsumsi BBM domestik meningkat rata-rata 3,18% per tahun selama periode 2006-2030 dan saat ini sudah mencapai 1,5 juta bph. Dari jumlah tersebut, kapasitas kilang di Indonesia sebesar 1,1 juta bph, itupun sebagian besar sudah beroperasi di atas 30 tahun sehingga hanya mampu mengolah minyak mentah menjadi produk BBM hanya sekitar 800.000 bph. Sedangkan kekurangan BBM sekitar 800.000 bph dipenuhi melalui impor, dengan kebutuhan dana untuk impor tersebut sebesar US$ 150 juta/hari atau senilai 1,95 trilyun rupiah/hari.
Saat ini Indonesia hanya memiliki tujuh kilang, yakni Kilang Pangkalan Brandan dengan kapasitas 5.000 bph, yang ditutup tahum 2007. Lalu ada Kilang Dumai dan Sei Pakning (kapasitas 127.000 bph dan 50.000 bph), Kilang Plaju (145.000 bph), Kilang Cilacap (548.000 bph), Kilang Balikpapan (266.000 bph), Kilang Balongan (125.000 bph), Kilang Pusdiklat Migas Cepu Jawa Tengah (45.000 bph), dan Kilang Sorong Papua Barat (10.000 bph). Dampak lainnya adalah dengan kapasitas kilang dan kondisi stok BBM yang terbatas, Indonesia hanya memiliki cadangan operasional BBM milik Pertamina selama 21 hari. Padahal setiap negara idealnya memiliki BBM sebagai cadangan operasional selama 90 hari berdasarkan Internasional Energy Agency (IEA)
Bagaimana dengan ketahanan energi di negara tetangga? Singapura dengan luas hanya 716 km2 dan populasi penduduk 5 juta jiwa, dengan konsumsi BBM domestik sebesar 148.000 bph, namun memiliki kilang minyak berkapasitas 1,3 juta bph. Negara tetangga Malaysia kapasitas kilang minyak sekitar 722.000 bph, dengan produksi minyak mentah mencapai 825.000 bph, sedangkan konsumsi BBM domestik sebesar 650.000 bph, dengan populasi penduduk 30 juta jiwa. Ketahanan energi Singapura untuk mengantisipasi pontensi gangguan suplai energi memiliki cadangan operasional selama 90 hari dan Malaysia selama 25 hari. Bahkan Jepang memiliki cadangan operasional hingga 115 hari sedangkan Cina selama 90 hari.
Mengurangi Impor Migas
Pertama, mencari sumber minyak baru. Akhir tahun 2015 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Komite Eksplorasi Nasional menyatakan telah mengindentifikasi adanya tambahan potensi cadangan terbukti minyak 2,7 miliar barrel dan gas 14 trillion cubic feet (TCF). Khusus minyak, angka tambahan tersebut berarti tambahan sekitar 72% dari cadangan terbukti saat ini. Sedangkan untuk gas, angka tersebut setara dengan cadangan terbukti gas di Blok Masela. Jumlah tersebut dapat meningkatkan produksi minyak ke level 1 juta bph. Jumlah ini belum termasuk variable bahwa Indonesia terdapat lebih kurang 60 cekungan sedimen (basin) yang teridentifikasi mengandung hidrokarbon migas. Dari jumlah itu baru 38 yang telah dieksplorasi, sisanya malah belum dieksplorasi sama sekali.
Ladang Minyak Banyu Urip di Jawa Timur, bagian dari Blok Cepu, memiliki cadangan minyak terbesar (mengandung sekitar 450 juta barel minyak) yang belum dieksploitasi dan dapat berkontribusi secara signifikan untuk volume produksi minyak Indonesia. Proyek bernilai US$ 2,5 miliar, yang dikelola Exxon Mobil dan Pertamina dengan kepemilikan saham masing-masing 45% (melalui anak-anak perusahaannya Mobil Cepu dan Pertamina EP Cepu), mulai beroperasi di 2015. Produksi diperkirakan untuk mencapai tingkat puncak pada 165.000 bph pada 2016.
Lebih lanjut lagi, Ladang Minyak Bukit Tua (bagian dari Blok Ketapang di Jawa Timur, dioperasikan oleh Petronas Carigali) mulai beroperasi di bulan Maret 2015 dan produksi mungkin meningkat menjadi 20.000 bph pada akhir 2015
Kedua, program pemanfaatan residu menjadi gasoline atau bahan bakar beroktan tinggi (residual fluid catalytic cracking/RFCC). Program ini tengah dilaksanakan di kilang Cilacap, Jawa Tengah serta pengoperasian kilang Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI), di Tuban, Jawa Timur. Sehingga akan mengurangi impor premium sebesar 30-42%, sedangkan impor solar akan berkurang sebesar 44%. Program RFCC juga mengurangi impor produk kilang beroktan tinggi (high octane mogas component/HOMC) hingga 400.000 barrel per bulan. Dengan pengurangan tersebut, Pertamina dapat melakukan efisiensi US$ 171 juta per bulan. Menurut Vice President Corporate Communication Pertamina, Wanda Pusponegoro di Jakarta 29 Juni 2016 bahwa sebelum program RFCC ini Pertamina mengimpor premium 9 juta barrel per bulan dan solar 699.000 barel per bulan.