Behind every great man there’s a great women. Dibalik keberhasilan anak ada seorang ibu, dibalik keberhasilan suami ada seorang isteri.
Tulisan ini merupakan renungan dari acara nangkring bareng Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang diselenggarakan oleh Kompasiana. com pada tanggal 8 Juli 2015. Bertempat di Hotel Santika, Teraskota Entertainment Center, CBD Lot VII B, Jalan Pahlawan Seribu, Serpong BSD City, Tangerang, Tema yang diusung adalah Membangun Keluarga, Membangun Bangsa sebagai Wujud Revolusi Mental.
Terus terang ini pengalaman pertama saya mengikuti acara kompas nangkring. Saya berminat karena selain materinya menarik juga dekat dengan lokasi tempat tinggal saya di Tangerang. Sekitar 15 km dari rumah. Namun ternyata perkiraan saya salah. Saya sempat beberapa kali tersasar mencari lokasi hotel Santika di BSD. Maklum saja, BSD bukan daerah ‘jajahan’ saya selama ini. Akhirnya ketemu juga lokasi acaranya walau sempat nyasar ke kompleks perumahan (saya sempat sebal ketika bertanya kepada beberapa tukang ojek yang ‘nangkring’ di depan Teraskota menjawab tidak tahu ketika ditanya dimana lokasi Hotel Santika, hiks.....).
Pembicara yang dihadirkan adalah Airin Rachmi Diani SH, MH (Walikota Tangerang Selatan), Dr.Abidinsyah Siregar (Deputi Advokasi Penggerak dan Infiormasi BKKBN Pusat), dan Suyono Hadinoto MSc (Direktur Dampak Kependudukan BKKBN).
Pada sesi pertama, Ibu Airin Rachmi Diany tampil sebagai pembicara. Beliau memaparkan agenda rencana pelaksanaan Harganas XXII pada 2015 dan terpilihnya Kota Tangerang Selatan sebagai tuan rumah pada acara yang dilangsungkan pada 1 Agustus 2015. Terpilihnya Kota Tangerang Selatan sebagai tuan rumah tentu dengan beberapa pertimbangan diantaranya dilatarbelakangi oleh beberapa prestasi dari wilayah yang baru terbentuk pada 29 Oktober 2008 sebagai pemekaran dari Kabupaten Tangerang dalam bidang kependudukan. Menjadi salah satu dari kota terbaik di Indonesia dalam hal pengurusan Akta Kelahiran oleh Institut Kewarganeraan Indonesia (2013), juga penetapan Kota Tangerang Selatan sebagai Kota Layak Anak. Selain itu Ibu Airin Rachmi Diany juga meraih penghargaan Manggala Karya Kencana dari BKKBN dan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Beliau mengatakan sambil tersenyum bahwa masih banyak orang menyangka bahwa Harganas adalah singkatan Hari Olah Raga Nasional. Langsung saja disambut gelak tawa para kompasianer dan menghangatkan suasana di dalam ruang diskusi (maklum lagi pada puasa, jadi AC terasa lebih dingin dari biasanya). Ups, jangan-jangan pembaca juga belum tahu ya?
Harganas adalah Hari Keluarga Nasional yang diperingati setiap tanggal 29 Juni. Bangkitnya kesadaran keluarga Indonesia untuk membangun dirinya ke arah keluarga kecil melalui Keluarga Berencana (KB). Dengan latar belakang itu pula, maka tanggal 29 Juni ditetapkan sebagao Hari Keluarga Nasional yang bertepatan dengan dimulainya Gerakan KB Nasional pada 1970. Harganas dicanangkan di Lampung pada 29 Juni 1993 dan selanjutnya setiap tahun diperingati di Indonesia.
Ibu Airin mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk di Kota Tangerang Selatan mencapai lebih dari 15 persen. Dari sebelumnya 1,2 juta jiwa menjadi 1,4 juta jiwa. Namun jumlah tersebut bukan karena angka kelahiran yang tinggi tetapi karena didominasi banyaknya jumlah pendatang (migrant). Tangerang Selatan memang menjadi daerah penyangga bagi Ibu Kota Jakarta, tentu menarik perhatian para pencari kerja termasuk saya. Namun seperti kata pendiri Apple, Steve Jobs, bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas. Jadi kalau tidak punya ketrampilan dan berpotensi besar jadi pengangguran, lebih baik jangan ke Tangerang Selatan, he...he... Siapa suruh datang ke Tangsel? Siapa suruh datang ke Tangsel?
Berdasarkan data Kota Tangerang Selatan dalam Angka 2014, jumlah penduduk hasil pendataan BPS Kota Tangerang Selatan mencapai 1.443.403 jiwa. Jumlah yang hampir sama dengan salah penduduk salah satu negara Eropa, Estonia. Tapi jangan salah kalau siang hari jumlahnya menyusut tajam, karena sebagian besar bekerja di Jakarta. Coba perhatikan, kalau siang hari jalanan di daerah BSD cukup lengggang . Sebaliknya saat jam berangkat kerja dan pulang kerja, macetnya ruarrr biasa (saya saja yang ke lokasi naik motor, ketika pulang acar sempat terjebak macet).
SESI DUA
Jika sesi pertama lebih banyak membahas mengenai pekembangan Kota Tangsel dan pertumbuhan penduduk serta permasalahannya. Juga latar belakang terpilihnya Kota Tangsel sebagai tuan rumah puncak acara Harganas. Sesi kedua pembahasan lebih meluas dengan menitik beratkan kepada pertumbuhan penduduk secara nasional serta permasalahan yang dihadapi.
Pada awal acara sempat disinggung mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak gugatan dari yang diajukan Yayasan Kesehatan Perempuan dan Yayasan Pemantauan Hak Anak (YPHA) terhadap usia minimal bagi perempuan dalam Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menaikan usia minimal perempuan untuk menikah dari 16 menjadi 18 tahun. Pasal 7 ayat 1 UU tentang Perkawinan, batas usia menikah bagi perempuan ialah 16 tahun dan pria 19 tahun.
Alasan MK menolak gugatan tersebut dengan menyatakan bahwa tiada jaminan bahwa jika batas usia minimal menikah perempuan dinaikkan maka angka perceraian akan berkurang. Padahal menurut pengamatan BKKBN berdasarkan data Kantor Urusan Agama, tingkat perceraian dari pernikahan dini mencapai 50 persen.
Sensus nasional pada 2012 hasil kerjasama dengan Perserikatan Bangsa Bangsa Urusan Anak-anak (UNICEF) menunjukkan satu dari empat anak perempuan (25 persen) menikah sebelum usia 18 tahun, bahkan di sejumlah daerah anak perempuan berusia 15 tahun sudah menikah.
Ya, masing-masing pihak memang punya argument yang kuat. Namun berdasarkan ketentuan hukum, keputusan akhir tetap ada di tangan Mahkamah Konstitusi dan BKKBN menghormati keputusan yang sudah diambil. BKKBN sendiri menilai usia ideal untuk perempuan menikah adalah 21 tahun. Tapi sepertinya rencana usulan BKKBN tersebut bakal mental. Wong, gugatan usia menikah 18 tahun untuk menikah saja ditolak.
Berdasarkan pengamatan BKKBN, daerah di Indonesia yang banyak terjadi pernikahan usia muda adalah Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Jawa Barat. Bahkan setiap tahun jumlah mereka yang menikah dini justru semakin banyak. Apalagi di musim penghujan dan musim panen, di kampung akan lebih banyak lagi penganten muda.
Berdasarkan laporan UNICEF (2012), anak perempuan berusia 10-14 tahun lima kali lebih beresiko meninggal saat hamil dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20-24 tahun. Karena secara fisik, mental dan kesehatan alat produksi, mereka masih belum siap. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun yang sama menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia dalam lima tahun meningkat, dari 228 orang per 100.000 persalinan (tahun 1997) menjadi 359 orang per 100,000 persalinan (2012)
Saya ingat pembantu di rumah orangtua menangis karena dipaksa pulang kampung untuk menikah di usia muda. Padahal pembantu tersebut sebut saja namanya Inah, masih ingin bersekolah atau bekerja. Hingga saat ini saya tidak tahu bagaimana nasib pernikahannya,
Pembicara sempat bertanya kepada beberapa kompasianer,”Kalau Anda berapa bersaudara?”
Ada yang mengatakan tiga, empat, sembilan, bahkan sebelas. Bahkan ayah saya adalah bungsu dari 16 bersaudara. Bayangkan saudara-saudara, 16 bersaudara! Rumah sudah seperti tempat penampungan saja ya!
Saya saja anak cuma dua. Sebagai seorang pns pun anak yang ditanggung juga hanya dua anak, he...he... (adik saya yang bungsu waktu kecil suka menangis karena suka diolok-olak sebagai anak yang tidak diakui negara).
Saya sendiri mekipun sudah kuliah S-2 (Alhamdulillah dapat beasiswa), tetap harus kuliah S-1 bidang teknik untuk keperluan pekerjaan di kantor. Karena biaya sendiri, saya memilih uang kuliah yang bisa dicicil perbulan. Dapatlah sebuah universitas di Jakarta Pusat dengan akreditasi B dengan uang kuliah bisa dicicil Rp. 500 ribu/bulan. Sama dengan jumlah SPP perbulan anak bungsu saya yang masih duduk di bangu Taman Kanak Kanak. Uang sekolah bulanan kakaknya di sebuah sekolah swasta bahkan mencapai Rp. 750 ribu/bulan. Kalah lho anak kuliah.
Terbayang oleh saya bagaimana jika keluarga besar ayah saya hidup pada masa sekarang. Bagaimana menjamin biaya pendidikan, kesehatan, dan biaya hidup? Banyak anak bukan lagi banyak rejeki. Banyak anak jadi banyak stress, hi..hi...
Dahulu memang Presiden Soekarno pro natalis yang mendorong setiap keluarga untuk punya banyak anak. “Kita butuh 250 juta orang untuk membangun negeri ini!” seru Soekarno. Karena saat itu penduduk negeri ini masih sedikit, sekitar 40 juta jiwa.
Ibu dan ayah adalah guru pertama pada anak. Rumah adalah sekolah pertamanya dimana diajarkan prinsip norma-norma dan akhlak.
“If is quality rather than quantity that count,” ujar Lucius Annaeus Seneca.
Keluarga Inti atau nuclear family berperan penting bagi pertumbuhan seorang anak. Pernah dengar kata-kata Hillary Clinton, it takes a village to raise a child. Saya pribadi merasa bahwa orangtualah yang paling bertanggung jawab terhadap anak.
Pada zaman Soeharto mulai terasa dampak dari pertumbuhan penduduk yang pesat. Pemerintah kelabakan menyediakan lapangan pekerjaan, pangan, sandang, dan papan. Sebab itulah program Keluarga Berencana kembali digiatkan. Dari paparan Bapak Abidin, berkat program KB pada tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia bisa dikurangi 80 juta jiwa menjadi ‘hanya’ 205 juta jiwa (tanpa KB bisa melonjak menjadi 285 juta jiwa). Atau pada tahyn 2010, bila tanpa program KB jumlah penduduk mencapai 330 juta berhasil dipangkas menjadi 237 juta jiwa.
Ibu Airin menambahkan bahwa sangat disayangkan begitu rezim Orde Baru tumbang program KB ini ikut tenggelam. Ganti rezim ganti kebijakan. Padahal sebuah kebijakan yang baik meski berasal dari rezim yang berbeda semestinya tetap dipertahankan. Ambil yang baik dan buang yang buruk. Amar maruf nahi mungkar. Salut buat Bapak Jokowi yang mulai menghidupkan kembali program KB ini guna mendukung revolusi mental.
Pak Abidin begitu bersemangat menjelaskan empat masalah besar dalan kependudukan di Indonesia.
Pertama, adalah jumlah pertumbuhan penduduk yang tinggi. Berdasarkan prediksi terbaru yang dirilis oleh Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PPB (Juli 2015) diperkitakan total penduduk dunia pada 2050 akan mencapai 9,7 miliar. Dalam laporan Prospek Penduduk Dunia Terkini PBB, pertumbuhan penduduk di dunia saat ini berkembang di kisaran 74 juta jiwa per tahun. Dimana prediksi ini diukur melalui asumsi rata-rata tingkat kelahiran dua anak. Pada tahun 2050 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan menungkat dari 249 juta pada 2013 menjadi 366 juta.
Kedua, kualitas SDM yang rendah. Human Development Index (HDI) pada 2014 Indonesia berada pada posisi 108 dari 187 negara yang disurvei. Untuk di kawasan ASEAN. HDI Indonesia berada di posisi 6 dibawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Jika pertumbuhan jumlah penduduk diimbangi dengan sumber daya manusia yang berkualitas maka dapat mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang pada akhirnya meningkatkan kejahteraan. Sebaliknya, jika pertumbuhan tidak diimbangi dengan sdm yang mumpuni maka hanya akan menambah beban perekonomian. Akibatnya tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kriminalitas akan meningkat.
Ketiga, jumlah penduduk yang besar. Indonesia adalah negara dengan penduduk terbanyak keempat didunia, dibawah Amerika Serikat, India, dan Cina.
Ketiga, penyebaran penduduk yang tidak merata. Pada tahun 1980 jumlah penduduk desa mencapai 78 persen dari total populasi. Saat penyebaran antara kota dan desa saat ini hampir seimbang. Sekitar 50,2 persen tinggal di kota dan 49,8. Bahkan tahun ini diperkirakan jumlah penduduk kota melebihi jumlah penduduk desa. Penyebarannya pun tidak merata, dimana 58 persen penduduk berada di pulau Jawa, sedangkan 42 persen tersebar di pulau-pulau lain di Nusantara.
SESI TIGA
Sesi ketiga atau terakhir menampilkan Pak Suyono (Direktur Analisis Dampak Kependudukan BKKBN). Awalnya saya pikir beliau orangnya serius dan kaku ternyata penampilan bisa menipu. Ternyata beliau orang yang suka bercanda dan santai. Bahasan tentang kependudukan berjalan lancar dan penuh semangat.
Pada awal pembicaraan beliau langsung mengutip kata-kata Albert Einstein : “Jangan terlalu menganggap besar hal-hal yang besar dan jangan terlalu menganggap kecil hal-hal yang kecil.”
Dalam pemaparannya beliau banyak membahas mengenai bonus demografi . Hati-hati bonus ini bisa jadi bumerang dan berbalik menjadi bencana demografi. Bonus demografi ditandai dengan jumlah penduduk dengan umur produktif sangat besar sementara usia muda semakin kecil dan usia lanjut belum banyak. Diperkirakan pada tahun 2020-2030 jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) akan mencapai 70 persen, sedangkan 30 persen adalah penduduk yang tidak produktif (dibawah 15 tahun dan diatas 65 tahun). Dalam angka, jumlah usia produktif mecapai sekitar 180 juta, sementara non produktif pada angka 60 juta.
Berbanding terbalik dengan Jepang dan Korea Selatan sebagai ‘Bangsa yang Menua’ (an aging nation) dimana penduduk usia lanjut lebih banyak dibandingkan penduduk usia produktif. Bahkan dua orang penduduk usia produktif harus menanggung beban satu orang penduduk non produktif. Usia harapan hidup orang Jepang adalah yang tertinggi di dunia yaitu 86 tahun (bandingkan dengan usia harapan hidup Indonesia mencapai 72 tahun).
Jika momentum ini gagal dimanfaatkan maka kesempatan untuk menjadi negara besar pun terlewat. Padahal siklus ini berlangsung hanya sekali dalam sekian abad. Lama sekali hingga menunggu kesempatan itu datang kembali.
Senada dengan Ketua Yayasan Bhakti Bangsa, Sarwono Kusumaatmadja, bahwa era bonus demografi mesti dimaknai sebagai suatu peluang atau windows of opprortunity. Meski indeks rasio ketergantungan telah memenuhi kriteria namun jika bonus demografi gagal dimanfaatkan maka yang terjadi justu ledakan penduduk.
Tahun 1871 Paul Ehrlich menulis buku “The Population Bomb” dan kemudian direvisi menjadi “The Population Explotion” yang mengungkapkan bahwa sudah terlalu banyak manusia di bumi, keadaan bahan makanan yang sangat terbatas, dan lingkungan yang rusak karena populasi yang meningkat.
Layaknya teori pertumbuhan kuman, jangan sampai tingkat pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Karena pertumbuhan penduduk yang tinggi tanpa diimbangui dengan pertumbuhan ekonomi akan membawa dampak pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang melambat tentu akan melahirkan penangguran, pemotongan anggaran kesehatan, juga jumlah suplai makanaan yang meningkat.
Itu sebabnya program Keluarga Berencana akan kembali digalakkan di negeri ini dengan semboyannya yang abadi : “Dua Anak Saja Cukup.”
Ada yang menerima ada pula yang menolak program KB. Mereka yang menolak KB karena biasanya faktor pendidikan atau pemahaman tentang KB masih minim. Namun ada juga karena faktor agama/kepercayaan. Beberapa orang masih menganggap bahwa KB adalah pembunuhan yang menghancurkan takdir akan tumbuhnya seorang anak. Ini perlu sosialisasi.
Seperti dikatakan Pak Suyono, perlu teknologi untuk membantu sosiliasasi program KB. Bukankah hampir semua orang sekarang sudah mempunyai telepon genggam. Apalagi jika para kompasianer yang hadir bisa menyampaikan hasil nangkring kepada masyarakat. Sepeti efek bola salju, semakin banyak yang menulis di Kompasia.com mengenai BKKBN semakin besar pengaruh yang dirasakan para pembaca.
“Kita perlu dukungan blogger untuk membantu mensosialisasikan program BKKBN.”
Meski diralat oleh moderator Mba Wardah Fajri dari Kompasiana “Yang disini bukan blogger, Pak.Kami menyebut mereka sebagai kompasianer.”
“Ya, dukungan dari para kompasianer,”ralat Pak Suyono sambil tertawa kecil (tertawa besar juga tidak apa-apa, Pak).
Memang teknologi berperan besar dalam penyampaian informasi dewasa ini. Saat ini tak hanya kelas menengah yang banyak menggunakan telepon genggam tetapi masyarakat akar rumput atau kelas bawah juga sudah banyak yang menggunakan untuk keperluan sehari-hari. Mulai dari tukang sayur, tukang sate, sampai pengemis pun pakai telepon lho (mungkin pengemis memberi informasi kepada teman-temannya, di sini ada razia satpol atau ada acara keduri).
Seperti Cina yang melaksanakan program one child policy yang dikeluarkan Presiden Deng Xioping pada tahun 1979, dimana satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Ternyata saat ini Cina kekurangan tenaga kerja untuk menyediakan makanan dan pembangunan infrastruktur di wilayahnya. Terpaksa mereka mengimpor tenaga kerja dari luar CIna. Hingga akhirnya pada 2016 Pemerintah Cina berencana akan mengijinkan setiap pasangan suami isteri untuk memiliki dua anak.
Saya jadi ingat sebuah hadist, bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tidak berkeinginan mengubahnya. Inilah yang menjadi tantangan untung mengubah pola pikir masyarakat. Bangsa kita bukan kaum fatalis yang hanya pasrah pada takdir, tetapi berjuang untuk berubah menjadi lebih baik.
Menurut Ibu Airin perlu perubaan mindset di masyarakat mengenai KB dan BKKBN. Saat ini BKKBN membutuhkan 80 ribu penyuluh KB. Dahulu pada saat maraknya pemekaran wilayah, banyak kader-kader BKKBN yang direkrut menjadi pejabat daerah seperti camat dan lurah karena mereka dekat dan dikenal oleh masyarakat. Sehingga perlu pengkaderan kembali para petugas sosialiasi BKKBN.
Idealnya satu desa dilayani oleh satu orabng petugas Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB). Perkiraan saat ini baru tersedia 15.000 PLKB. Jadi masih kurang sekitar 3.000 orang lagi. Hal ini juga sesuai dengan amanat Presiden Jokowi bahwa BKKBN selain menjadi pelayananan kesehatan terutama alat kontrasepsi, kemudian meningkatkan kemauan kesadaran masyarakat untuk ikut KB, juga revolusi mental berbasis keluarga.
[caption caption="Davia Sherly Mustafa sedang beraksi"]
Pada akhir acara, para kompasianer dihibur oleh penyanyi Devia Sherly Mustafa, Nyanyian merdu Devia berlangsung hingga saat menjelang azan maghrib. Tidak lupa ada bagi-bagi hadiah untuk tweet terbaik dan kompasianer yang bisa menjawab pertanyaan dari Panitia. Sayang seribu sayang, saya tidak beruntung untuk mendapatkan hadiah berupa uang tunai maupun souvenir dari Devia. Selamat untuk teman-teman yang beruntung.
Saat azab Maghrib para kompasianer dijamu makanan yang lezatos dan makyuss...... Terima kasih Kompasiana. Sudah dapat ilmu, hiburan, dan pulang ke rumah dengan perut kenyang..... Goodiebagnya juga lumayan berat. Selain poster besar BKKBN, buku Menjadi Orangtua Hebat juga lumayan berat lho.
[caption caption="Mejeng dulu ah (dok.pribadi)"]
Bergaya dulu ah di acara Nangkring Bareng BKKBN (terlihat dilator belakang pemandu acara Mba Citra Agnesia besemangat membawakan acara quiz). Dear Kompasiana, kalau ada acara nangkring yang diadakan di sekitar Tangerang saya daftar lagi ya.....
Catatan AKhir
Acara puncak Harganas XXII yang yang dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus 2015 dan berlokasi di Lapangan Sunburst, Kelurahan Cilenggang Kecamatan Serpong berjalan sukses dan lancar. Acara tersbut dihadiri ribuan orang. Dalam sambutannya Presiden RI Jokowi mengatakan bahwa melalui keluarga akan terbentuk karakter dan kepribadian anak.
Dalam acara tersebut Walikota Tangsel Airin Rachmi Diany juga mendapatkan ganjaran manis berupa penghargaan tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan bersama dengan 23 kepada daerah se-Indonesia. Selamat ya, Bu Airin....
Masih di lokasi acara, sebanyak 22.253 pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat berjanji bahwa tidak menempuh pernikahan dini hingga usia 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Ayo Bu Airin, kita catat siapa yang kelak ingkar janji, he..he..
Ketua BKKBN RI, Dr Surya Chandra Surapat MPH PhD, juga meminta pelajar fokus pada pendidikan dan orangtua menjamin pendidikan yang setinggi-tingginya bagi anak-anak mereka. Ayo, sukseskan program KB. Saya sudah ikut program KB, Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H