Penulis tak menampik bahwa kebutuhan guru masih tinggi. Namun dengan pola mekanisme perekrutan yang tepat, kita akan memiliki perencanaan pendidikan yang baik. Selain itu, pemerintah dapat memetakan lagi kebutuhan guru di setiap sekolah dan bila perlu melakukan redistribusi guru ke sekolah-sekolah yang kekurangan guru.Â
Fakta yang terjadi saat ini, "penimbunan" guru terjadi di kota-kota. Karena para guru PNS enggan mengajar di sekolah-sekolah negeri yang ada di kampung dengan berbagai dalil. Ini pula salah satu sebab kekurangan tenaga guru di sekolah-sekolah negeri di daerah pedalaman, pihak sekolah pun merekrut guru honorer dengan gaji seadanya.
Dilema Guru Honorer
Derita para guru honorer tak hanya gaji yang kecil tetapi hak-hak mereka dibatasi. Salah satunya adalah pengajuan Nomor Unik  Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) yang merupakan kebijakan pemerintah pusat. Guru CPNS, PNS, guru tetap yayasan, dan guru kontrak yang SK Pengangkatannya paling rendah Kepala Dinas Pendidikan dapat mengajukan NUPTK, sedangkan guru honorer yang umumnya SK pengangkatannya oleh  kepala sekolah dan atau komite sekolah tak dapat mengajukan NUPTK.Â
Padahal mereka melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang sama. Dan, mungkin saja guru honorer memiliki tanggung jawab lebih besar daripada guru PNS atau guru tetap. Karena apa? Mereka bekerja dalam tekanan.Â
Tak menerima tanggung jawab besar, mereka takut kehilangan pekerjaan. Ini juga dilema para guru honorer. Seperti kita ketahui, NUPTK itu semacam SIM-nya para guru. Guru mau ikut PPG misalnya, syaratnya harus memiliki NUPTK. Nah, bagaimana dengan nasib guru honorer.
Kebijakan Pemerintah
Terhadap masalah ini, Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan menerbitkan kebijakan dengan menerbitkan SK Kepala Dinas Pendidikan secara kolektif bagi guru honorer (SMA/SMK/SLB) agar menjadi dasar pengajuan NUPTK. Hal ini sudah berjalan tiga tahun terakhir ini.
Persoalan NUPTK selesai, masalah gaji guru honorer bagaikan benang kusut yang sulit terurai. Persoalan itu berlangsung dari tahun ke tahun. Kebijakan pun diambil dan direstui pusat berdasarkan Juknis Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sebesar 15 persen dana BOS digunakan untuk biaya guru honorer.Â
Persoalan lain muncul, para sekolah mengambil langkah sendiri, mengelompokan guru honorer menjadi guru komite (dibiayai dari dana komite) dan guru BOS (dibiayai dari dana BOS).Â
Pada hal tujuan alokasi 15 persen dana BOS semata-mata sebagai tambahan penghasilan para guru honorer yang telah dibiayai dari dana komite sekolah dan lain-lain. Angin segar dari pemerintah ini dimanfaatkan para kepala sekolah yang cenderung menambahkan guru baru berdasarkan kategori yang dibuatnya sendiri meskipun kenyataan rasio guru-siswa sudah memadai.Â