Pendidikan Nasional adalah momentum refleksi perjalanan pendidikan Indonesia. Dalam rangkaian refleksi itu, tentu guru menjadi perhatian kita semua selain sistem pendidikan, anak didik dan para pemangku kepentingan.
HariTentang guru yang menjadi perdebatan saat ini adalah keberadaan para guru honorer. Mereka rela digaji di bawah standar UMR bahkan ada yang rela terima gaji per triwulan.
Keadaan ini menjadi dilema bagi para guru honorer. Di satu sisi mereka hendak meninggalkan profesi ini, tapi bersamaan dengan itu mereka takut tidak mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik dari yang ada. Ada pula yang  mempertimbangkan latar belakang pendidikan sehingga mereka tak mau berpaling ke profesi lain. Karena itu, berprofesi sebagai  pengajar dengan gaji seadanya menjadi sebuah pertaruhan antara hidup dan mati sang guru honorer.
Potret Guru Honorer di NTT
Dilema ini sering kita jumpai para guru honorer di kampung-kampung. Mereka digaji sangat kecil. Itupun gaji  dibayar secara nyicil.  Kompas.com (Rabu, 25/11/2015), pernah melansir berita guru honorer di pedalaman NTT yang hanya digaji seratus ribu rupiah. Mereka adalah Adrianus Maneno, Petronela Kenjam, dan Meliana Eba. Mereka digaji senilai harga beras sepuluh kilogram itu, tetapi semangat mereka untuk mengajar tak pernah pudar.
Apa yang hendak dicari ketiga guru tersebut? Uang? Itu tak mungkin. Gaji segitu saja. Menurut pengakuan mereka apa yang dilakukan hanya karena semangat pengabdian mereka kepada anak-anak di kampung di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan. Untuk menambah penghasilan, mereka harus membuka kios kecil-kecilan di rumah orang tua asuh masing-masing.
Kisah guru-guru di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan bukanlah satu-satunya kisah pilu dunia pendidikan yang terjadi di beranda selatan negeri ini. Di Flores, tepatnya di Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, mengalami hal serupa (Kompas.com, 02/2019). Kesembilan guru di sebuah SMPN hanya menerima insentif Rp. 85.000.
Apa yang dibayangkan di benak pembaca? Dengan jumlah uang sebesar itu tak mampu membiayai seluruh kebutuhan hidup para guru. Sama dengan kisah guru di TTS, mereka memiliki alasan yang serupa, semata-mata mereka lakukan untuk mencerdaskan anak bangsa.
Apa dan Siapa yang Salah?
Dua kisah guru honorer di atas hanya dua kasus dan masih banyak kasus lain yang terjadi di seantero negeri ini. Masih banyak kisah-kisah yang miris dan memprihatinkan. Lalu, pertanyaan kita, siapakah yang harus bertanggungjawab?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, penulis mengamati ada sesuatu yang salah dengan sistem perekrutan guru honorer. Pihak sekolah merekrut tenaga guru secara sepihak tanpa mempertimbangkan dari berbagai aspek seperti sumber pembiayaan dan rasio guru terhadap siswa. Â
Sementara itu, pemerintah telah melarang perekrutan guru honorer sementara atau moratorium (CNNIndonesia.Com, 13/10/2018). Kenyataan yang terjadi di lapangan, perekrutan guru honorer tidak melewati mekanisme seperti perekrutan CPNS.
Kepala sekolah seolah-olah memiliki otonomi yang luas untuk merekrut para guru honorer. Padahal untuk merekrut guru baru harus melalui proses analisis kebutuhan dan berdasarkan rasio guru dan siswa.Â
Pengalaman penulis sebagai administrator Data Pokok Pendidikan (DAPODIK) Dinas Pendidikan Provinsi NTT (2017-2018) melihat kecenderungan tersebut terjadi. Hampir setiap hari ada permintaan atau e-mail dari sekolah baik sekolah negeri maupun swasta yang mengajukan penambahan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) baru di Dapodik.Â
Tak mengherankan bila dalam Dapodik terjadi lonjakan drastis jumlah PTK baru. Melihat realitas ini, Dinas Pendidikan Provinsi NTT menerbitkan surat edaran kepada para sekolah agar pengajuan penambahan PTK baru harus disertai dengan analisis kebutuhan.Â
Usulan ini kemudian dianalisis dan dipertimbangkan oleh pihak Dinas Pendidikan melalui Bidang Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) sebelum ditambahkan kedalam Dapodik oleh Admin/Operator Dapodik Dinas. Karena kewenangan penambahan PTK baru di Dapodik adalah kewenangan Admin/Operator Dapodik Provinsi.
Perlu Mekanisme Perekrutan Guru Honorer
Cara yang ditempuh oleh Dinas Pendidikan Provinsi NTT bukanlah satu-satunya yang terbaik paling tidak cara itu dapat membantu semua pihak untuk memetakan kebutuhan tenaga guru secara proporsional di setiap sekolah. Karena fakta yang terjadi  perekrutan guru honorer berpotensi  dilatarbelakangi motif KKN.Â
Kepala sekolah tak  mempertimbangkan lagi aspek kebutuhan, yang pentingnya kerabat, keluarga atau anaknya mengajar. Karena alasan ini kadang guru-guru honorer lain menjadi tersisih (sharing guru-guru honorer kepada penulis).
Menurut penulis, dengan mendisain mekanisme perekrutan tenaga guru yang tepat dapat mengurai persoalan guru honorer ini. Tanpa kontrol atau kendali, jumlah tenaga honorer akan bertambah setiap tahun.Â
Bertambahnya jumlah guru honorer, bertambah pula masalah. Pada akhirnya pemerintah pula yang disudutkan seolah-olah tak memperhatikan nasib guru honorer. Padahal Dinas Pendidikan (representasi pemerintah) tak dilibatkan dalam perekrutan.Â
Pemerintah telah menetapkan rambu-rambu, tetapi pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah tidak mematuhi rambu-rambu tersebut. Sebaliknya mereka mengajukan penambahan guru baru seturut kehendaknya.
Penulis tak menampik bahwa kebutuhan guru masih tinggi. Namun dengan pola mekanisme perekrutan yang tepat, kita akan memiliki perencanaan pendidikan yang baik. Selain itu, pemerintah dapat memetakan lagi kebutuhan guru di setiap sekolah dan bila perlu melakukan redistribusi guru ke sekolah-sekolah yang kekurangan guru.Â
Fakta yang terjadi saat ini, "penimbunan" guru terjadi di kota-kota. Karena para guru PNS enggan mengajar di sekolah-sekolah negeri yang ada di kampung dengan berbagai dalil. Ini pula salah satu sebab kekurangan tenaga guru di sekolah-sekolah negeri di daerah pedalaman, pihak sekolah pun merekrut guru honorer dengan gaji seadanya.
Dilema Guru Honorer
Derita para guru honorer tak hanya gaji yang kecil tetapi hak-hak mereka dibatasi. Salah satunya adalah pengajuan Nomor Unik  Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) yang merupakan kebijakan pemerintah pusat. Guru CPNS, PNS, guru tetap yayasan, dan guru kontrak yang SK Pengangkatannya paling rendah Kepala Dinas Pendidikan dapat mengajukan NUPTK, sedangkan guru honorer yang umumnya SK pengangkatannya oleh  kepala sekolah dan atau komite sekolah tak dapat mengajukan NUPTK.Â
Padahal mereka melaksanakan tugas dan tanggungjawab yang sama. Dan, mungkin saja guru honorer memiliki tanggung jawab lebih besar daripada guru PNS atau guru tetap. Karena apa? Mereka bekerja dalam tekanan.Â
Tak menerima tanggung jawab besar, mereka takut kehilangan pekerjaan. Ini juga dilema para guru honorer. Seperti kita ketahui, NUPTK itu semacam SIM-nya para guru. Guru mau ikut PPG misalnya, syaratnya harus memiliki NUPTK. Nah, bagaimana dengan nasib guru honorer.
Kebijakan Pemerintah
Terhadap masalah ini, Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan menerbitkan kebijakan dengan menerbitkan SK Kepala Dinas Pendidikan secara kolektif bagi guru honorer (SMA/SMK/SLB) agar menjadi dasar pengajuan NUPTK. Hal ini sudah berjalan tiga tahun terakhir ini.
Persoalan NUPTK selesai, masalah gaji guru honorer bagaikan benang kusut yang sulit terurai. Persoalan itu berlangsung dari tahun ke tahun. Kebijakan pun diambil dan direstui pusat berdasarkan Juknis Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), sebesar 15 persen dana BOS digunakan untuk biaya guru honorer.Â
Persoalan lain muncul, para sekolah mengambil langkah sendiri, mengelompokan guru honorer menjadi guru komite (dibiayai dari dana komite) dan guru BOS (dibiayai dari dana BOS).Â
Pada hal tujuan alokasi 15 persen dana BOS semata-mata sebagai tambahan penghasilan para guru honorer yang telah dibiayai dari dana komite sekolah dan lain-lain. Angin segar dari pemerintah ini dimanfaatkan para kepala sekolah yang cenderung menambahkan guru baru berdasarkan kategori yang dibuatnya sendiri meskipun kenyataan rasio guru-siswa sudah memadai.Â
Akibatnya, dana BOS tak lagi menjadi "tambahan penghasilan" bagi guru honor yang sudah ada melainkan menjadi "sumber pembiayaan" untuk guru honorer yang baru direkrut. Tentu saja ini dana BOS 15 % ini tidak berdampak apa-apa bagi para guru honorer (Ini hasil berbagi cerita para guru dari beberapa sekolah).
Dapodik, Sebuah Jalan Tengah
Melihat berbagai realitas yang diuraikan di atas, dalam pandangan penulis, masalah guru honorer itu ibarat benang kusut yang susah diurai secara tuntas. Masalahnya bukan berpangkal pada pemerintah atau Jokowi. Masalah itu terjadi sejak awal, jauh sebelum Jokowi memerintah. Nah, apa yang bisa dilakukan untuk meminimalkan persoalan guru honorer?
Masalah guru honorer harus dicarikan solusi. Harus ada jalan tengah yang paling bijak. Menurut penulis, itu harus diawali dari sistim pendataan. Maka Dapodik adalah jalan tengah yang baik, selain dibuatkan mekanisme perekrutan guru honorer.
Dengan pengembangan sistem Dapodik saat ini sangat membantu semua pihak yang berkepentingan dengan dunia pendidikan. Bila mau jujur, Dapodik merupakan sistim pendataan terbaik yang dimiliki pemerintah saat ini. Â
Diharapkan pula Dapodik terus dikembangkan atau menambah modul-modul atau fitur-fitur baru untuk menjawab kebutuhan dunia pendidikan. Salah satu modul yang diusulkan adalah fitur perhitungan analisis kebutuhan guru yang di-generate dari aplikasi Dapodik sendiri.Â
Dengan demikian, bila terjadi penambahan guru baru, sistem langsung mengunci (by system). Cara ini dapat memangkas mekanisme yang birokratis seperti yang diuraikan di atas dan lebih menjamin tanpa intervensi dalam penambahan PTK baru yang tidak berbasis analisis.
Selain itu, pemerintah harus membuat syarat maksimal guru honorer pada yang berkarya pada setiap sekolah. Karena banyak kenyataan di SMA/SMK baru di NTT, rata-rata gurunya adalah guru honorer kecuali kepala sekolahnya.
Ini pun problem. Bagaimana mereka bekerja secara profesional dengan tanggung jawab yang besar sementara mereka digaji seadanya. Dengan pembatasan jumlah guru honorer pada setiap sekolah, pemerintah berkewajiban untuk mengalokasikan mengangkat  guru PNS melalui mekanisme pengangkatan PNS.  Â
Penutup
Beberapa solusi di atas layak dipertimbangkan agar dapat mengurai berbagai persoalan seputar guru honorer. Persoalan bukan pada pemerintah tidak mau atau tidak mampu membayar, tetapi kita dihadapkan tata kelola guru honorer yang semau gue.Â
Dengan mengeksekusi tawaran pemikiran di atas, maka pertanyaan yang terangkai dalam judul di atas akan terjawab. Karena masalah atau urusan pendidikan bukan saja urusan pemerintah, juga urusan sekolah dan segenap masyarakat.Â
Dan, tulisan ini bukan sekedar hasil refleksi melainkan hasil interaksi dan keluh kesah para guru honorer kala menemui saya dalam urusan dengan Dapodik. Keluh kesah itu, penulis baru dapat dirangkumkan di sini.
Regulasi harus dibuat. Jika tidak, masalah guru honorer bagaikan mata rantai persoalan yang tak bisa diputuskan. Salah satu solusi adalah terus memaksimalkan sistem DAPODIK dalam pengendalian guru honorer.Â
Hemat penduli, sistem pendataan yang baik dapat memecahkan beragam persoalan guru honorer secara bertahap dan terencana. Â Besar harapan semoga ada pihak yang terkait membaca dan menjawab rancang bangun pemikiran ini sebagai wujud kepedulian terhadap kemajuan dunia pendidikan di Indonesia. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H