Mohon tunggu...
Azzahra dan Octavia
Azzahra dan Octavia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

kami adalah orang yang sangat bersemangat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Organisasi Internasional dalam Mengupayakan Penyelesaian Perang Etnis Armenia dan Azerbaijan

15 Juli 2022   00:35 Diperbarui: 15 Juli 2022   00:47 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Abstrak

Armenia dan Azerbaijan merupakan dua republik kecil di wilayah Kaukasus setelah runtuhnya Uni Soviet. Kedua negara ini terlibat konflik panjang yang memperebutkan wilayah otonom Nagorno-Karabakh. Pada tahun 1994, gencatan senjata berhasil di lakukan melalui negosiasi yang dilakukan oleh Rusia sebagai pihak ketiga. 

Penelitian ini dibuat dengan berlandaskan teori liberalisme, yang dimana menurut kaum liberalisme berpendapat dalam asumsi dasarnya bahwa dalam mencapai perdamaian dunia serta mencegah konflik, dibutuhkan peran aktor non-negara seperti organisasi internasional. 

OSCE (Organization for Security and Cooperation in Europe) hadir sebagai organisasi internasional yang berupaya untuk meredam konflik yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan. Berbagai upaya serta mediasi dalam bernegosiasi telah diupayakan oleh OSCE guna menciptakan perdamaian bagi kedua negara ini.

Kata Kunci: Armenia, Azerbaijan, konflik. Nagorno-Karabakh, OSCE, Liberalisme, aktor non-negara, Rusia

Abstract

Armenia and Azerbaijan are two small republics in the Caucasus region after the collapse of the Soviet Union. The two countries are involved in a long conflict over the autonomous Nagorno-Karabakh region. In 1994, a ceasefire was successfully carried out through negotiations carried out by Russia as a third party. 

This research was made based on the theory of liberalism, which according to liberalism argues in its basic assumption that in achieving world peace and preventing conflict, the role of non-state actors such as international organizations is needed. OSCE (Organization for Security and Cooperation in Europe) exists as an international organization that seeks to reduce the conflict between Armenia and Azerbaijan. 

Various efforts and mediation in negotiations have been attempted by the OSCE in order to create peace for the two countries.

Keywords: Armenia, Azerbaijan, conflicts, Nagorno-Karabakh, OSCE, liberalism, non-state actors, Russia

Latar Belakang

Asal-usul konflik di Nagorno-Karabakh terjadi pada abad ke-19- an, ketika Armenia dan Azerbaijan sama-sama mempertahankan kawasan ini. Wilayah didominasi (94%) oleh penduduk Armenia yang dipindahkan ke Soviet Azerbaijan sebagai bagian dari kebijakan Joseph Stalin pada tahun 1923 (UNDIP, n.d.). 

Meskipun rezim Soviet otoriter, Karabakh Armenia secara berkala memperebutkan status enclave dalam perjalanan dari 70 tahun pemerintahan Soviet dan dimohonkan akan ditransfer kedalam wilayah Republik Sosialis Soviet Armenia pada tahun 1945, 1965, 1977, dan 1987, tetapi semua upaya ini ditolak oleh Uni Soviet. Uni Soviet akhirnya memutuskan untuk menjadikan Nagorno–Karabakh sebagai wilayah dari Azerbaijan dengan status otonomi khusus pada tahun 1923.

Penyebab terjadinya konflik disebabkan perebutan wilayah. Dimana Nagoro-Karabakh merupakan wilayah di Kaukasus Selatan. Secara De Facto wilayah tersebut adalah milik Azerbaijan namun secara De jure wilayah tersebut diaku sebagai bagian dari Arnemia karena wilayah tersebut diduduki oleh populasi etnis Arnemia. 

Kaukasus merupakan wilayah pegunungan yang penting secara strategis di Eropa Tenggara. Selama berabad-abad berbagai kekuatan di wilayah ini, baik penganut Kristen maupun Muslim, bersaing memegang kendali di sana. Armenia dan Azerbaijan modern menjadi bagian dari Uni Soviet ketika dibentuk pada 1920-an. 

Nagorno-Karabakh adalah wilayah mayoritas etnis Armenia, tetapi Soviet memberikan kendali atas wilayah tersebut kepada otoritas Azerbaijan Baru setelah Uni Soviet mulai runtuh di akhir tahun 1980-an, parlemen regional di Nagorno-Karabakh secara resmi memilih bergabung ke Armenia (Indonesia, 2020b). Azerbaijan kala itu berupaya menekan gerakan yang menghendaki Nagorno-Karabakh menjadi bagian Armenia. 

Di sisi lain, Armenia mendukung kelompok itu. Situasi ini menyebabkan bentrokan etnis. Setelah Armenia dan Azerbaijan mendeklarasikan kemerdekaan dari Uni Soviet, perang pun pecah di antara dua negara tersebut.

Teori

Liberalisme merupakan teori dari kajian Ilmu Hubungan Internasional yang memandang optimis negara sebagai suatu lembaga konstitusional yang dapat menjamin keteraturan hidup antar masyarakat. Menurut John Locke, negara terbentuk atas manusia dan ditunjukan guna menjamin kepentingan serta kesejahteraan umat manusia. Immanuel Kant menyatakan tentang rule of law, dimana Kant melihat adanya perdamaian dunia atas prinsip dasar berinteraksi (Dugis, 2018).

Liberalisme memandang positif bahwa sifat, akal, dan prinsip rasional manusia dapat digunakan dalam melakukan pemecahan masalah yang ada dalam sistem Internasional. Kaum liberalis percaya bahwa setiap individu memiliki banyak kepentingan yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai aksi sosial sehingga dapat menghasilkan manfaat bagi seluruh orang (Kurniawan, 2011). 

(Sorensen, 1999) dalam bukunya mengemukakan lima dasar dari liberalisme, yaitu: 1) negara menjamin kebebasan individu; 2) memiliki pandangan yang positif terhadap sifat manusia, 3) memprioritaskan akal pikiran dengan mengutamakan prinsip rasionalitas; 4) memaksimalkan peran aktor non negara; 5) kebebasan, kerjasama, kemajuan dan kesejahteraan.

Immanuel Kant dalam (Doyle, 2005) menyatakan bahwa dalam menciptakan perdamaian dunia, terdapat tiga sumber utama di dalamnya, yaitu: sumber konstitusional, internasional, dan kosmopolitan. Dalam pandangan liberalism, demokrasi merupakan sebuah upaya dalam memenuhi kebutuhan hidup individu dalam bermasyarakat melelui sistem politik.

Hal ini dilakukan dengan menciptakan keadilan dalam distribusi sumber daya dalam memenuhi kebutuhan individu yang dimana menurut liberalis mampu menekan potensi konflik dan perang (Nauvarian, 2019, p. 267).

Aktor yang berperan dalam panggung hubungan internasional menurut kaum liberalis tidak hanya negara saja, namun ada aktor-aktor non negara yang ikut berperan penting dalam dinamika politik global (Baylis, 2014). 

Dengan kata lain, negara bukanlah satu-satunya aktor yang berperan dalam hubungan internasional, melainkan aktor non negara seperti individu, multinational corporate, dan organisasi internasional dibutuhkan sebagai fasilitator dalam mencapai tujuan yang diupayakan bersama (Dugis, 2018).

Adam Smith dalam (Dugis, 2018) menjelaskan bahwa terjadinya sebuah fenomena yang saling ketergantungan antar masyarakat atau antar negara dalam hubungan internasional merupakan sebuah bagian dari human nature. 

Ketergantungan yang dimaksud disini yaitu pada sektor ekonomi dimana negara menjadi senantiasa menjaga hubungan baik dan melakukan kerjasama guna mencegah konflik dan perang, sehingga dapat menciptakan situasi yang saling menguntungkan. Liberalis juga percaya bahwa perang tidak dapat dihindari, namun kehadirannya dapat dikurangi dengan melakukan kerjasama internasional.

Pendekatan serta pandangan dari perspektif liberalisme di atas sejalan dengan pembahasan pada kali ini, di mana menurut kaum liberalisme, dalam menciptakan sebuah perdamaian dunia yang terhindar dari perang dan konflik, dibutuhkan aktor ketiga, entah itu aktor negara maupun non-negara seperti organisasi internasional. 

Konflik yang terjadi antara Armenia dan Azerbaijan merupakan konflik perebutan wilayah yang berkepanjangan, sehingga sulit bagi kedua negara untuk menemukan jalan tengah yang dapat menguntungkan kedua pihak. Maka dari itu sesuai dengan pemikiran liberalisme, dalam upaya penyelesaian konflik ini dibutuhkan aktor lain sehingga kesepakatan dapat tercapai.

Pembahasan

Konflik Azerbaijan dan Armenia dalam memperebutkan Nagorno- Karabakh berawal ketika Uni Soviet mengalami perpecahan tahun 1988-an. Konflik yang diawali dengan perang berdarah antara Azerbaijan dan Armenia telah mengakibatkan tewasnya puluhan ribu korban jiwa dan menimbulkan ketidak stabilan baik secara politik maupun ekonomi (Indonesia, 2020b). 

Keterlibatan militer dan kelompok-kelompok separatis berdampak pada terjadinya pelanggaran berat berupa terjadi sejumlah kasus penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang Armenia, sandera sipil, dan tawanan perang di penjara Azerbaijan, yang mana merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa. 

Hal ini semakin memanas dimana adanya perbedaan mayoritas agama, yang dimana Nagorno-Karbakh yang dikuasai Armenia mayoritas beragama Kristen dan Azerbaijan mayoritas beragama Muslim. Saat masih di bawah kekuasaan Kekaisaran Rusia, gesekan antara Armenia dan Azerbaijan masih dapat dikendalikan.

Setelah Uni Soviet runtuh pada 1991, separatis Armenia mengambil Nagorny Karabakh dalam sebuah insiden yang didukung oleh Pemerintah Armenia. Implikasi dari konflik yang berkepanjangan di Nagorno-Karabakh memicu terjadinya permasalahan seperti kekerasan etnis, penggungsi dan pembersihan etnis Nagorno-Karabakh, yang berujung pada timbulnya banyak korban jiwa (I Putu Angga Prasada Arnaya, I Made Anom Wiranata, 2015).

Setidaknya 30.000 orang dilaporkan terluka, 7.000 orang mengalami cacat seumur hidup, dan 5.000 orang dilaporkan hilang dari pihak Armenia. 

Sedangkan pihak Azerbaijan melaporkan akibat konflik setidaknya 6000 orang hilang, 20.000 mengalami luka-luka dan lebih dari 5.000 orang tewas (Hartati, 2020). Hingga sekarang lebih dari 20% wilayah Azerbaijan yang diakui secara de jure masih berada dibawah kendali Republik Armenia. Hal ini juga berdampak pada orang-orang Nagorno-Karabakh yang hingga beberapa generasi tidak mengenal negara mereka. 

Masalah dari penduduk yang dipaksa pindah terus berlanjut hingga ketempat pengungsian. Azerbaijan mengalami permasalahan dalam menangani beban pengungsian dikarenakan kondisi infrastruktur yang tidak memadai Hal ini merupakan dampak dari jumlah pengungsi yang mencapai 7% dari total populasi, salah satu tingkat pengungsi tertinggi di dunia, dimana sejumlah ratusan ribu orang terpaksa dipindahkan ketempat baru yang masih dijadwalkan pembangunannya.

Pada tahun 2007 insiden penembakan dan bentrokan bersenjata hampir tiga kali lipat dari angka tahunan sebelumnya; sekitar 30 orang telah terbunuh. Ranjau darat ditempatkan di sepanjang perbatasan dengan Azerbaija, dan konflik tersebut menyebabkan kerusakan fisik. 

Pada tahun 2008 tanggal 4 dan 5 maret merupakan salah satu kejadian terburuk yang pernah terjadi. Kebakaran yang sering terjadi di sepanjang perbatasan Azerbaijan- Armenia dan di sepanjang garis kontak dengan Nargono-Karabakh menyebabkan korban, termasuk beberapa warga sipil (UMY, n.d.).

Pada tahun 2009 selama 11 bulan sumber pemerintah melaporkan bahwa selain tiga personil militer tewas dan dua lainnya cedera akibat ledakan ranjau darat, ditambah laporan tentang warga sipil yang terluka oleh sebab yang sama (Kompas, 2022). 

Menurut informasi resmi penembakan di sepanjang garis kontak yang memisahkan pihak-pihak mengakibatkan 26 korban tewas di pihak Armenia, termasuk kematian enam personil militer dan melukai 18 personil militer dan dua warga sipil hal itu terus berlanjut dalam kedua belah pihak melakukan balasan satu sama lain, dilihat pada peristiwa penembakan helikopter milik Armenia yang terjadi.

Pada 12 November 2014 menggunakan senjata berat. Menurut sisi Azerbaijan helikopter tempur Armenia Mi-24 milik angkatan udara Armenia beroperasi pada siang hari tanggal 12 November saat bersiap untuk menyerang pasukan Azerbaijan di sekitar pemukiman Kangarli di wilayah Agdam. 

Pihak Azerbaijan menyatakan bahwa helikopter tersebut merupakan bagian dari tim dua helikopter yang melanggar wilayah udara Azerbaijan dan setelah memasuki medan tempur melepaskan tembakan ke posisi militer Azerbaijan di dekat perbatasan dengan Nagorno-Karabakh. 

Helikopter ditembak jatuh oleh tembakan balasan, yang menewaskan tiga tentara Armenia yang berada di dalam helicopter (Tempo, 2022). Sedangkan dari pihak Armenia mengklaim bahwa Mi-24 yang jatuh sedang mengikuti latihan dan tidak memiliki niat untuk terlibat dalam pertempuran . Dalam bertempur untuk memenangkan peperangan, masing-masing pihak yaitu Azerbaijan maupun Armenia, mengandalkan kekuatan mereka masing-masing.

Kekerasan selama musim panas 2014 menyebabkan kematian lebih dari 20 gerilyawan dalam bentrokan sengit sejak gencatan senjata ditanda tanggani. Pertempuran terus terjadi di sepanjang garis kontak, pertarungan melibatkan penggunaan senjata kaliber tinggi, tidak hanya senjata ringan.

Saat jumlah korban tewas meningkat, kedua belah pihak terlibat dalam pertikaian sengit. Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, lewat media sosial menyampaikan ancaman perang untuk memulihkan 'integritas teritorial'. Tahun 2015 bentrokan ini setidaknya menimbulkan korban jiwa sebanyak 56 orang yang termasuk warga sipil di kedua belah pihak.

Antara 1 dan 5 April 2016, pertempuran sengit di sepanjang garis depan Nagorno-Karabakh menyebabkan 88 tentara Armenia dan 31–92 tentara Azerbaijan tewas. Seorang tentara Armenia dan tiga tentara Azerbaijan juga hilang. Selain itu, 10 warga sipil (enam Azerbaijan dan empat Armenia) juga tewas.

Pada tahun 2017, konflik juga masih terjadi tetapi tidak separah tahun-tahun sebelumnya. Konflik terjadi pada pertengahan tahun 2017 dimana pasukan Armenia menyerang desa Alkhanli di Azerbaijan dengan menggunakan mortir dan granat pada 4 Juli 2017. Pada penyerangan tersebut 2 warga Azerbaijan terluka, dimana satu korban merupakan balita berusia 2 tahun dan korban lain adalah nenek balita tersebut. Pada 10 Oktober 2020 lalu, namun saling serang kembali terjadi.

 Terbilang sejak tanggal 27 September, Armenia telah melakukan pelanggaran atas perjanjian gencatan senjata dengan Azerbaijan dan terus menembaki tentara Azerbaijan, warga sipil, dan berbagai obyek sosial di negara tetangganya tersebut. Sampai dengan 11 Oktober, korban jiwa di antara kedua pihak telah mencapai lebih dari 300 jiwa dan ribuan orang terpaksa mengungsi ke lokasi yang lebih aman. 

Menurut pantauan Yasmi, Armenia secara sengaja menargetkan warga sipil di daerah yang padat penduduk di wilayah Azerbaijan seperti desa Gapanli dari distrik Tartar, desa Chiragli dan Orta Garavand dari distrik Aghdam, Alkhanli, desa Shukurbeyli dari distrik Fuzuli dan desa Jojug Marjanli dari distrik Jabrayil. 

Hal ini merupakan pelanggaran berat terhadap norma hukum internasional, khususnya hukum humaniter internasional dan ketentuan yang relevan dari Konvensi Jenewa.

Upaya Penyelesaian Perang Armenia-Azerbaijan

            Uni Soviet saat itu tidak bisa menekan pelanggaran yang dilakukan oleh Azerbaijan dikarenakan Soviet dianggap ikut campur dalam urusan dalam negeri Azerbaijan dan mengancam akan melakukan banding. 

Akhirnya Uni Soviet secara resmi menolak permintaan Nagorno-Karabakh Sementara itu, pihak internal Nagorno- Karabakh telah menyetujui sebuah resolusi yang disampaikan ke perwakilan Uni Soviet, yang mana isi resolusi tersebut berupa tuntutan agar pihak otonom Nagorno-Karabakh dan pihak Armenia kembali dipertemukan. 

Namun badan informasi Azerbaijan mengumumkan tidak akan pernah menyetujui tuntutan tersebut, pihak Azerbaijan meningkatkan tekanan terhadap aktivis Armenia di Nagorno-Karabakh untuk menghentikan eskalasi konflik. Masyarakat Nagorno-Karabakh yang mayoritas orang Armenia mendukung penyatuan dengan Armenia dan menyerahkan kepada Uni Soviet untuk mendapatkan resolusi terbaik masalah ini. 

Namun tidak ada respon positif dari Uni Soviet.hal tersebut munculnya aksi demonstrasi dari pihak Nagorno-Karabakh terhadap sebuah pusat komite resolusi Communist Party of Soviet Union (CPSU).

Organisasi Internasional yang terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh adala OSCE (Organization for Security and Cooperation in Europe) yang beranggotakan 57 negara yang tersebar di Kawasan Eropa, Asia Tengah, dan Amerika Utara. 

Sebagai organisasi internasional terbesar di dunia yang menangani keamanan regional, OSCE memfasilitasi kegiata negosiasi politik, pencegahan konflik, manajemen krisis, dan rehabilitasi pasca konflik. Negara anggota memeiliki jabatan yang setara serta didasarkan pada pengambilan keputusan politik yang bersifat konsensus (OSCE, n.d.)

 OSCE terlibat dalam upaya penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh sejak Maret 1992 dengan mengadakan konferensi di Minsk (Belarusia). Anggota OSCE sendiri sepakat untuk menyediakan forum negosiasi yang aktif serta permanen sebagai langkah upaya menciptakan perdamaian bagi konflik ini secara khusus yang dijalankan oleh Minsk Group (Operations, n.d.). 

Tiga negara menjadi tokoh utama dalam menjalankan peran mediasi dalam konflik ini yaitu, Rusia, Perancis, dan Amerika Serikat (Anonymous, 2009).

Tahun 1992 Conference on Security and Co-operation in Europe (CSCE) yang sekarang menjadi Organization For Security and Cooperation In Europe (OSCE) mengadakan konferensi tentang konflik Nagorno-Karabakh untuk membentuk forum negosasi antara Azerbaijan dan Armenia untuk penyelesaian damai konflik Nagorno-Karabakh. Tahun 1994 Kesepakatan gencatan senjata antara Azerbaijan dan Armenia yang dimediatori oleh OSCE dimulai pada 12 Mei. 

Pada tahun 2006 diadakan pertemuan antara Menteri Luar Negeri Armenia Elmar Mammadyarov dengan Vartan Oskanian Menteri Luar Negeri Azerbaijan di London yang menghasilkan Dokumen Kerangka Kerja (“Framework Document”) (UNDIP, n.d.). 

Tidak ada gambaran rinci mengenai dokumen kerangka kerja tersebut namun dari informasi yang diberikan ketua tim Minsk Minsk Rusia Yury Merzlyakov, dokumen tersebut akan memungkinkan para menteri luar negeri untuk lebih fokus dan secara lebih rinci menanganai penyelesaianisu-isu individual.

Pada tahun 2007 diadakan pertemuan tingkat Presiden, yang mempertemukan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dengan Robert Kocharian Presiden Armenia dan Mediator Minsk Group Co-Chair di St. Petersburg untuk membicarakan penghambat penyelesaian konflik dan prinsip dasar penyelesaian konflik, yang mana Minsk Group Co-Chair berinisiatif untuk mengorganisir kunjungan bersama ke wilayah Yerevan, Baku dan Nagorno-Karabakh (Indonesia, 2020a).

Pada tahun 2008 terjadi bentrokan berdarah antara Azerbaijan dan Armenia yang mendorong untuk diadakan pertemuan antara Presiden Azerbaijan, Presiden Armenia dan pihak Rusia di Moskow. Hasilnya yaitu penandatanganan deklarasi Moskow yang berisi penyelesaian konflik harus berdasarkan norma dan prinsip hukum internasional berdasarkan UN Security Council Resolutions of 1993 as well as the UN General Assembly Resolutions of 2006 and 2008 (Saubani, 2020).

 Tahun 2009 Perwakilan negara ketua kelompok OSCE (Rusia, Perancis dan Amerika Serikat) mengadopsi sebuah pernyataan mengenai konflik Nagorno-Karabakh yaitunya mengenai proses Penyelasaian Konflik Prinsip yang didasarkan dasar pada deklarasi Moskow yaitunya penyelesaian konflik berdasarkan norma danprinsip hukum internasional. UN Security Council Resolutions of 1993 as well as the UN General Assembly Resolutions of 2006 and 2008 (Anonymous, 2017).

Tahun 2010 Pertemuan antara presiden Azerbaijan, Armenia serta negara-negara anggota co-chair di Saint Petersburg. Pada pertemuan tersebut mereka membahas seputar keadaan terkini dan prospek perundingan damai untuk menyelesaikan konflik Armenia-Azerbaijan atas Nagorno-Karabakh (Azzam, 2020).

 Tahun 2011 Presiden Azerbaijan dan Armenia mengadakan dua pertemuan atas undangan Presiden Federasi Rusia, Medvedev: pada tanggal 5 Maret di Sochi dan pada tanggal 24 Juni di Kazan. Selanjutnya, pada tanggal 29 September, Presiden Ilham Aliyev mengadakan pertemuan di Warsawa dengan ketua tim OSCE Minsk dan pihak perwakilan sekretaris OSCE dan pertemuan ditutup tanpa hasil.

Tahun 2012 Presiden Azerbaijan dan Armenia mengadakan sebuah pertemuan atas undangan Presiden Federasi Rusia, Medvedev pada tanggal 23 Januari di Sochi. Sebuah pernyataan bersama diadopsi yang mendukung kegiatan OSCE Minsk Group co-chair sampai resolusi damai konflik dan stabilitas dicapai di wilayah tersebut.

 Tahun 2013 Pada tanggal 12 Juli, baik Duta Besar AS untuk Azerbaijan serta Duta Besar Prancis untuk Armenia menyatakan masing-masing keinginan mereka untuk mengintensifkan tindakan Minsk group dan terus berupaya mencapai solusi untuk konflik Nagorno-Karabakh.

Pada Juni 2015 semua aktor yang terlibat kembali mengintensifkan aktivitas, dimana mereka sepakat dan mendukung usulan yang diajukan Amerika Serikat yang dilaksanakan oleh Departeen Luar Negeri dan ketua OSCE Minsk group, 

yaitu rekomendasi penempatan pemantau yang terdiri dari pihak OSCE serta secara aktif melibatkan masyarakat sipil dalam dialog dengan para pembuat kebijakan di tingkat nasional dan internasional mengenai transformasi konflik Nagorno-Karabakh (I Putu Angga Prasada Arnaya, I Made Anom Wiranata, 2015). 

Ditambah melibatkan organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari tokoh masyarakat yang mereka bertujuan untuk Kemanusiaan, HAM dan organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari tokoh masyarakat yang mereka bertujuan untuk Kemanusiaan, HAM dan tentunya dialog perdamaian untuk konflik Nagorno-Karabakh.

Pada 2018, Armenia mengalami revolusi damai, menyingkiran penguasa lama Serzh Sargysan dari tampuk kekuasaan. Pemimpin protes, Nikol Pashinyan menjadi perdana menteri setelah pemilu bebas tahun itu. Pashinyan setuju dengan Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev untuk mengurangi ketegangan dan mendirikan pos militer pertama antara kedua negara.

Pada 2019, kedua negara mengeluarkan pernyataan yang menyatakan perlunya "mengambil tindakan konkret untuk mempersiapkan penduduk untuk perdamaian". Tetapi tahun ini, melihat bulan-bulan meningkatnya ketegangan dan pertempuran sengit di wilayah tersebut. Tidak jelas negara mana yang memulai tindakan kekerasan terbaru, yang dimulai pada Juli dan menimbulkan korban di kedua sisi.

 Pada tahun 2020 Armenia harus menghormati keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, yang sesuai dengan Aturan 39 dari Aturan Pengadilan untuk menahan diri dari mengambil tindakan kejam yang dapat melanggar hak-hak Konvensi warga sipil,” imbuhnya. Yasmi yang juga sedang menjalani 2020 Postdoctoral Fellow, 

Taiwan Foundation for Democracy menambahkan, dalam konteks hukum internasional, Armenia dapat dituntut karena telah melakukan kejahatan perang dengan melanggar norma hukum humaniter internasional dan Piagam PBB (Avundukluoglu, 2021).

Kesimpulan

Keterlibatan Rusia melalui OSCE dalam upaya penyelesaian konflik Armenia dan Azerbaijan merupakan sebuah implementasi keberhasilan dari kaum liberal bahwa gagasan kaum liberalis yang menyatakan bahwa dalam menciptakan dinamika hubungan internasional yang harmonis, 

dibutuhkan aktor non negara. Keterlibatan OSCE Minsk Group sebagai mediator menunjukan bahwa peran Rusia dalam upaya penyelesaian konflik Nagorno-Karabakh merupakan mediasi yang murni, Rusia melalui organisasi internasionalnya memberi Batasan keterlibatan sebagai mediator, 

Rusia juga memfasilitasi negosiasi antara Armenia dan Azerbaijan serta menjadi mediator yang aktif dalam mengakomodir berbagai kebutuhan yang diperlukan untuk melaksanakan negosiasi bagi kedua negara ini sejak tahun 2010. 

Beberapa negosiasi yang diakomodir oleh Rusia inipun menciptakan kesepakatan dalam negosiasinya yang mendukung resolusi konflik. Dengan menggunakan teori liberalisme dimana menurut asumsi dasar liberalis menyebutkan bahwa aktor dalam hubungan internasional bukan hanya negara melainkan aktor non negara, telah membuktikan bahwa kerjasama merupakan solusi bagi sebuah aktor dalam memecahkan suatu masalah.

Daftar Pustaka

Anonymous. (2009). Nagorno-Karabakh: Getting to a Breakthrough. Europe Briefing, 55. http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/europe/

Anonymous. (2017). BAB IV MEDIASI ORGANIZATION FOR SECURITY AND COOPERATION IN EUROPE ( OSCE ) DALAM KONFLIK NAGORNO-KARABAKH TAHUN 2008-. 61–77.

Avundukluoglu, M. E. (2021). Parlemen Turki rilis laporan pelanggaran HAM Armenia di Azerbaijan. Aa.Com.Tr2. https://www.aa.com.tr/id/turki/parlemen-turki-rilis-laporan-pelanggaran-ham-armenia-di-azerbaijan/2210627

Azzam, M. A. (2020). Cakrawala baru pada konflik Armenia-Azerbaijan setelah 3 dekade. Aa.Com.Tr. https://www.aa.com.tr/id/dunia/cakrawala-baru-pada-konflik-armenia-azerbaijan-setelah-3-dekade/2023438

Baylis, J. (2014). The Globalization of World Politics. Oxford University Press.

Doyle, M. W. (2005). Three Pillars of the Liberal Peace. American Political Science Review, 99(3), 463–466.

Dugis, V. (2018). Teori Hubungan Internasional. Airlangga University Press.

Hartati, A. Y. (2020). KONFLIK AZERBAIJAN DENGAN ARMENIA ATAS WILAYAH NAGORNO-KARABAKH DALAM KONTEKS HUKUM INTERNASIONAL. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 13(2). https://publikasiilmiah.unwahas.ac.id/index.php/QISTIE/article/view/3909/3337

I Putu Angga Prasada Arnaya, I Made Anom Wiranata, & A. A. I. P. (2015). Peran Dari OSCE Minsk Group Dalam Mediasi Konflik di Wilayah Nagorno-Karabakh. Ilmiah Komunitas Hubungan Internasional, 1(3).

Indonesia, B. N. (2020a). Bentrok perbatasan, jenderal Azerbaijan tewas dalam pertempuran dengan tentara Armenia. Bbc.Com2. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-53412959

Indonesia, B. N. (2020b). Mengapa Kawasan Nagorno-Karabakh diperebutkan Armenia dan Azerbaijan hingga tewaskan ribuan orang? Bbc.Com. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-54914120

Kompas. (2022). Bentrok dengan Pasukan Azerbaijan, 3 Tentara Armenia Tewas. Kompas.Com.

Kurniawan, R. C. (2011). Global Governance: Perspektif Liberalisme. JOD Fisip Unbara, 4(8). http://repository.lppm.unila.ac.id/6374/1/Global Governance %28unbara%29.pdf

Nauvarian, D. (2019). Keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam: Faktor Ideologi, Identitas, dan Idealisme. Jurnal Hubungan Internasional, 12(2), 265. https://doi.org/10.20473/jhi.v12i2.15317

Operations, O. F. (n.d.). Overview of Negotiations on the Peaceful Settlement of the Karabakh Conflict. Office of the Nagorno Karabakh Republic. Retrieved July 13, 2022, from http://www.nkrusa.org/nk_conflict/overview_peace/shtml

OSCE. (n.d.). Who We Are. OSCE.Org. Retrieved July 13, 2022, from http://www.osce.org/who

Saubani, A. (2020). Awal Mula Konflik Armenia dan Azerbaijan di Nagorno-Karabakh. Republika.Co,Id.

Sorensen, R. J. & G. (1999). Introduction to International Relations. Oxford University Press.

Tempo, T. (2022). Helikopter Mi-24 Rusia Jatuh Ditembak Azerbaijan, Ini Spesifikasinya. Tempo. https://tekno.tempo.co/read/1403918/helikopter-mi-24-rusia-jatuh-ditembak-azerbaijan-ini-spesifikasinya

UMY. (n.d.). BAB III DESKRIPSI KONFLIK NAGORNO-KARABAKH. http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/28144/4. BAB III.pdf?sequence=6&isAllowed=y

UNDIP. (n.d.). BAB II KONFLIK PEREBUTAN NAGORNO-KARABAKH. http://eprints.undip.ac.id/59107/3/3._BAB_II.pdf

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun