Mohon tunggu...
aziz ahlaf
aziz ahlaf Mohon Tunggu... Editor - kita hanya berbeda acara dalam menggapai ridho tuhan

setiap kita punya cara unik dalam mengumpulkan pundi-pundi kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Mesti Ada Banjir Dulu Baru Saling Peduli?

2 Januari 2020   14:28 Diperbarui: 2 Januari 2020   14:41 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
banjir di perkampungan, rabu (1/1) // dokpri

fenomena curah hujan

Memasuki awal musim hujan di penghujung tahun 2019 dan awal tahun 2020 seolah lolos dari pantauan prediksi BMKG. 

Bagaimana tidak, jauh-jauh hari sebelum memasuki musim hujan melalui situs resminya, BMKG sudah membuat daftar perkiraan cuaca di akhir musim kemarau dan memasuki awal musim hujan dengan sangat detil, hasilnya memang akurat namun namanya faktor alam tentunya ada batasan yang diluar kemampuan manusia, karena bicara alam berarti bicara tentang kehendak atau kuasa tuhan, sebagai manusia hanya dapat merencanakan serta memperkirakan sesuai kemampuan maksimal.

Tinggi-rendahnya curah hujan meski telah diprediksi agar manusia punya kesiapan menghadapi kondisi hujan atau setidaknya tidak merasa kaget namun ada saja yang menganggap sebagai hal biasa, "ya namanya juga musim hujan" jawab beberapa warga saat ditanya tentang curah hujan.

Meski demikian, masih ada aja yang justru menganggap curah hujan tinggi hingga berdampak banjir seperti di tol cipali itu sebagai suatu berkah, seperti yang dialami banyak penjajah payung, asongan, kopi keliling, atau rest area disekitar lokasi. Bahkan, ada yang menanggap sebagai lahal amaliah sosal untuk saling peduli, saling menolong, saling membantu.

bencana banjir di banyak daerah, menurut anda?

"Adanya banjir ya memang kesalahan kolektif dari banyak pihak," ketus kawanan di tengah obrolan banjir saat komentar video banjir di tol cipali pada Rabu (1/1/20). 

Pihak pemerintah meski telah berupaya antisipasi dengan segala cara namun jika warganya kurang responsif atau terkesan apatis ya memang susah juga sih. Atau warga sekitar telah gotong royong atasi banjir namun adakalanya pihak aparat setempatnya berkesan tutup mata tutup telinga ya susah juga, (yang penting jangan tutup umur aja deh, apalagi yang masih jomblo. Cie.. cie.. jombol baper nih).

Dalam hal ini butuh kesadaran kolektif dari semua pihak, yang artinya adalah tanggungjawab bersama, udah tidak keren lagi manakala masih menyalahkan beberapa pihak, hari gini salah satu manusia disebut manusia adalah jika memiliki tingkat kepedulian terhadap sesama dan terhadap lingkungan sangat peka. Bukan lagi saling melempara kesalahan, apalagi dikasih bumbu lebay bin alay diracik dalam menu baper, hmmmm.. rasanya bijimana gitu.

bagaimanakah cara kita meningkatkan kesadaran pemanasan global ke depannya?

Caranya adalah kita harus sering berjemur di lapangan terbuka yang terasa banget panasnya. Gak lucu ya? emang sih. 

Jadi gini, kalau boleh saya meminjan istilah "kebanyakan" manusia itu baru tumbuh kesadarannya (ini belum ke tahap sara loh ya) mesti telah mengalami peristiwa terlebih dahulu, alias belum cukup tumbuh kesadaran hanya dengan melihat fenomena alam atau yang telah dialami orang lain. Merasakan dulu sebuah peristiwa baru akan tumbuh kesadaran, setelah tumbuh akan sadar.

Untuk meningkatkan kesadaran pemanasan global ke depannya, antara lain:

1. Sering bergaul dengan alam luas atau liar

Tak dipungkiri gaya hidup metropolis, materalis, idealis, memang dapat melahirkan sikap apatis dan slow respon pada sesama, terlebih dengan yang bukan dari kesetaraan sosial. Jika terhadap makhluk hidup berjenis manusia saja kurang peka terlebih terhadap yang bukan sejenis seperti alam luas diangkasa yang termasuk didalamnya tentang kondisi pemanasan global.

2. Sering berbaur dengan orang pinggiran

Adakalanya kerasnya hati manusia dapat luluh hingga benar-benar sadar setelah berbaur dengan orang yang bukan komunitasnya, bagi kalangan atas bermental sosialita tentu sangat berat untuk turun kasta berbaur dengan kaum marjinal, namun seberat apapun harus dilatih, dan jika kita mau sedikit saja membuka paradigama (iya sedikitnya saja) bahwa berbaur dengan orang pinggiran itu sama sekali tidak mengurangi kredibilitas seseorang apalagi sampai menggerogoti harga diri selagi mengedepankan sikap baik dan bijak. 

Dari situ bisa merasakan betapa tidak enanya dampak dari pemanasan global bagi kaum pinggiran namun mereka masih bisa bertahan dalam rasa syukur. Hal ini tidak berarti menganggap kesimpulan secara kesuluruhan.

3. Kurangi gaya hidup mall

Tempat yang nyaman, adem, sejuk, serba ada, santai, seolah memanjakan pengunjungnya, serasa hidup tanpa beban hingga tak lagi memikirkan apa itu dampak pemanasan global. Disadari atau tidak, rasa nyaman dapat mengikis habis mental ketidakpedulian akan lingkungan luar karena secara tidak langsung mereka seolah tak berpengaruh atas dampak dari pemanasan global

kiat-kiat antisipasi hadapi banjir

tidak menutup mata, pihak pemerintah pusat hingga daerah sangat gigih dan serius dalam melakukan kegiatan untuk mengantisipasi banjr, dari perencanaan sarana prasarna, sosialisasi langsung ke masyarakat, penyuluhan, pembinaan, pengarahan, bimbingan dan lain sebangsanya namun masih saja dianggap oleh sebagian kalangan belum juga mendapat rewad serius, parahnya lagi sering menyalahakan pihak pemerintah atau aparat setempat.

Andai kita mau instropeksi dan jujur pada diri sendiri lalu bertanya pada hati nurani "apa benar kita telah maksimal dan serius ikut andil dalam mengantisipasi banjir?", boleh saja langsung jawab dengan lantang "sudah dong, ada buktinya kok", apresisasi good job jika memang itu benar adanya.

Tengok saat musim kemarau, ingat-ingat lagi, dipinggaran jalan raya, di tepian sungai, banyak saluran drainase, pembuangan, tempat sampah, seolah mereka terabaikan untuk mendapat perhaatian khusus dari kita semua (kita adalah termasuk juga penulis.. hehe..). 

Minimnya kesadaran atas kebersihan lingkungan menjadi salah satu pemicu hingga kita lupa bahwa sampah dapat menjadi penyebab utama banjir. Tengok rest area, taman rekreasi, tempat pendidikan, pabrik, perkantoran, tempat ibadah, andaikan tidak ada petugas kebersihan apa ada jaminan tempat itu tetep bersih, indah, dan asri? Jawabnya "entahlah", atau tanya aja ke mbah Google yang serba tau katanya.

Namun, bagaimana kilas lalu, jadikan sebagai bahan perbaikan yang dimulai dari diri kita semua, minimal kita lakukan hal sebagai berikut :

Perhatikan saluran air di sekitar tempat tinggal kita, pastikan bahwa air diijinkan lewat dengan santai dan tanpa tersumbat oleh tumbukan sampah atau lainnya, biarkan air mengalir ikuti iramanya

a. Bersihkan selokan air secara berkala, bisa merangkul sesama lingkungan setempat

b. Bikin tanggul pemecah air banjir, jangan sampai bikin tanggul tapi justru malah menghalangi air yang mau numpang lewat. Bisa koordinasi dengan lingkingan dan pihak terkait

c. Buang sikap egosentris, adakalanya kita sok merasa berkuasa dilingkungan tempat tinggal karena merasa kasta sosial tinggi, hingga tak merelakan secuil tanahnya untuk dilalui air

dampak setelah banjir?

Sebagai umumnya kita tahu bahwa banjir memang berdampak pada kerugian besar, baik materil maupun moril, bahkan meninggalkan duka nestapa yang belum tentu dapat sembuh dalam sekejap atas trauma psikologis. Semua itu sangatlah wajar karena manusia hakekatnya sangat mencintai duniawiyah (kalu saya mah cinta dunia banget loh.. hehehe...). 

Saya juga pernah alami beberapa kali menjadi korban banjir, kalau di kampung halaman sih udah biasa melihat fenomena banjir terlebih rumah ortu saya sangat dekat dengan sungat liar (cie..cie.. ehm.. curcol). Selama di numpang hidup di jakarta dari tahun 2004 hingga 2010, sering loh bergaul dengan banjir (upss.. keceplosan). Dampak negatif tentunya masyarakat sudah sangat pintar untuk mengabsennya. Saya ingin mengabsen dampat positif dari banjir:

a. Cerdasnya nambah

Loh kok bisa? bisa dong, apa sih yang kagak bisa buat gw?. (ketapa sambil sit up). Dulu saat ada banjir saya lebih cenderung pakai jurus langkah seribu, namun karena seringnya mengadapi banjir, tumbuh cerdas dadakan seperti menjadikan batang pohon sebagai alat mendayung, menjadikan sampah material sebagai alat untuk menyelematkan diri.

b. Kreatif juga nambah

"Ah lebay itu mah" ada sih yang nyinyir gitu. Saya jawab "biarin, daripada lu lebah macarin anak gadis orang, ambil sarinya lalu dibuang". 

Jadi gini, pernah terjebak banjir di Daerah Cipipnang Muara Prumpung kampung melayu, dibawah jembatan layang, ada mobil terjebak banjir, mobil mogok hampir terbawa arus, sepontan saya ketok pintu mobil agar keluar dari mobil, namun mereka kesusahan membuka pintu mobil karena separuh mobil terendam banjir, dengan segala usaha akhirnya terbuka itu pintu mobil.

Namun.. wow... alamammaa... yang keluar gadis cantik coy yang full ketakutan, spontan dia dekap erat tubuh saya yang urus kecil kaya belalang. Pertaruhan iman dan imin dimulai. Sampailah ia di tempat aman beserta ortunya. Rupanya setan lebih hebat dari kekuatan imanku, terjadilah curluk (curi-curi peluk, haha...ngakak sambil koprol) namun orang tua tak fokus karena panik dengan versinya masing-masing.

Nah, bagiku itu adalah kreatif, kalo kamu gak bilang ilang itu kreatif, ngiri lu ya?.. heheh..

c. Mental juga meningkat

Tanpa bermaksud takabur, ye elah takabur, emang gue tukang bubur. Saya sebenarnya parno dan pobia banjir, namun karena terlalu sering bertemu banjir, bahkan amit-amit jangan sampai berjuma dengan banjir deh, nyesek tau. (lebih nyesek ditinggal kawin oleh doi, tau), namun saat bertemu banjir justru malah bilang "banjir, yu ar debes plen. Jangan ajak aku berpetualang denganmu, kau berjalanlah bersama pasukanmu, hati-hati dijalan ya njir".

d. Kepedulian juga naik rating

Sebagaimana pada "poin a" diatas "kreatif juga namba". Awalnya muncul atas spontanitas tanpa banyak pikir macam-macam, tanpa pikir ini itu, yang terbesit adalah melihat sebuah mobil berpenghuni terlihat kesusahan bahkan dapat dipastikan akan terbawa arus yang entah berantah kemana. 

Saya termasuk yang minim peduli (ssttt... itu dulu), seringnya meliha fenomena banjir dan menjadi korban banjir itu asli nyesek bangget hingga sulit move on, dari situ kepedulian tumbuh. Karena bagaimana pun kita manusia dituntut untuk punya identitas saling peduli. (cie.. yok bijak).

e. Bersyukur membaik

Ada banyak manusia sangat tipis stok tabungan bersyukurnya, namun dengan adanya fenomena banjir mestinya menjadi manusia yang pandai bersyukur, atau mencari celah atas rasa syukur dari musibah yang dialami. Jakarta Februari tahun 2007 meski pernah kehilangan harta bendanya karena diculik oleh si banjir namun tetap masih bisa bersyukur karena dokumen berharga "ijasah" masih bisa diselamatkan.

f. Mengeluh berkurang

Mengeluh itu sifat manusia yang juga wajib dimiliki manusia, tanpa adanya mengeluh maka manusia akan terjebak dengan sifat takabur. Mengeluh adalah sisi lain dari ketidak berdayaan manusia atas kuasa dan kehendak tuhan, betapa manusia masih membutuhkan kehadiran tuhan (ehmm..sok bijak maning). 

Tapi serius loh, saat mengalami dampak banjir jiwa mengeluh berkurang dalam makna lain tidak larut dalam keluhan, karena setiap fenomena apapun, separah apapun hal buruk menimpa kita tentu ada yang ternyata lebih parah dari yang kita alami.

g. Cinta dunia menurun

Boleh kan sedikit saja rada bijak (masih rada sih, belum full bijak), segala hal adalah datangya dari tuhan, akan kembali kepada tuhan. Tak ada satu manusia normal pun yang senang atas kehilangan sesuatu hal, terlebih kehilangan sesuatu yang kita cintai atau sangat berharag, namun semua proses kejadian alam adalah tak lepas dari ketentuan yang telah digariskan tuhan, (mendadak kerasukan ustadz nih, hehe..)

h. Cinta akherat menaik

Adakalanya kita sesekali berfikir pada suatu masa yang kita belum berada di masa itu, namun kita pasti kana berada di masa itu, adalah akherat. Seindah apapun kehidupan dunia, secinta apapun pada duniawi toh pasti akan kita tinggalkan. 

Semua apapun, andai pun tidak percaya pada akhira tetap saja kita akan kembali ke sana, dengan melewati pintu gerbang utama menuju akherat, itulah yang disebut kematian. Hanya bekal amal yang akan dibawa mati, lainnya adalaha bagai debu berterbangan di gurun sahara.

i. Cinta kompasiana menumbuh

Lelah juga nih jari jemari tangan bergoyang, sekian tahun berlalu begitu acuh pada kompasiana namun beberapa hari belakangan kok main cinta ya (bukan gombal loh ya..) tapi memang sangat suka dengan tantangan penulisan artikel di kompasiana, rasnaya nyesek kalu ada tantangan artikel namun terlewati untuk ikutan berpartisisapi eitts.. berpartisipasi maksudnya. 

Ibarat kate orang betawi "lu jual gue beli", kompasiana pasang tantangan opini, gue borong. Kalau perlu biarkan artikel nya oleh saya semua, yang laing nyimak bae. (hahaha.... just kidding all.. maklum nih otak kurang ngopi).

Wassalam..,

I love you all

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun