Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lail Al-Qadr, Itikaf dan Tajdid Al-Nafs

1 April 2024   22:14 Diperbarui: 1 April 2024   22:27 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Azis Maloko

Tidak terasa sekarang umat Islam sudah memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal demikian menandakan bahwa sebentar lagi bulan Ramadhan akan berakhir dan kembali meninggalkan umat Islam seperti tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, memasuki babak ketiga bulan Ramadhan, yakni sepuluh hari terakhir, terdapat banyak amalan yang diperintahkan untuk dimaksimalkan dengan sebaik mungkin, baik wajib maupun sunnah. Olehnya, kita perlu melakukan refleksi dan muhasabah terhadap pelbagai amalan yang dilakukan selama bulan Ramadhan; apakah ada peningkatan atau malah stagnan dan bahkan mengalami degradasi yang super akut?

 Pertanyaan reflektif lainnya adalah ketika bulan Ramadhan berakhir dan atau pergi, apakah berakhir dan atau pergi pula pelbagai kesalehan yang dilakukan selam bulan Ramadhan? Orang beriman akan berusaha semaksimal mungkin untuk terus mempertahankan capaian kesalehan dalam bulan Ramadhan meski sudah berakhir bulan Ramadhan. Sebab, kesalehan yang dilakukan oleh orang beriman bukan semata hanya dalam bulan-bulan tertentu saja, misalnya dalam bukan Ramadhan. Akan tetapi, kesalehan dilakukan sepanjang hayat; ruang dan waktu. Selama hayat masih dikandung badan, maka selama itu pula harus terus melakukan amal saleh.

Hal demikian dikarenakan orang-orang beriman bukan "hamba Ramadhan", akan tetapi mereka adalah hamba Allah (kun rabbniyyn wal takun ramadhniyyn). Artinya, orang-orang beriman menjadi hamba dan atau beribadah kepada Allah bukan hanya dalam bulan Ramadhan semata. Mereka, orang-orang beriman, tetap beribadah pada Allah, walau pun bulan Ramadhan sudah berakhir dan pergi. Bahkan tidak ada bulan Ramadhan sekalipun misalnya, orang-orang beriman tetap beribadah kepada Allah. Sebab, mengenal dan beribadah kepada Allah hanya dalam bulan Ramadhan saja adalah bagian dari seburuk-buruknya kaum (bi'sa al-qaum l ya'rifun illa f ramdhn).

Ada sebuah ungkapan menarik dari Nabi Muhammad saw sebagai basis dalam merefleksikan diri pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan ini. Ungkapan dimaksud bertalian dengan prinsip dasar dalam beramal saleh bagi orang-orang beriman. Ungkapannya terbilang agak pendek, hanya beberapa kata saja, nampaknya cukup familiar dalam memori ingatan umat Islam, setidak-tidaknya bagi kalangan pembelajar ilmu syar'i. Ungkapan demikian terekam dalam hadis sahabat Sahl bin Sa'ad al-Sa'id yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Bunyi hadisnya mengatakan bahwa "sesungguhnya (setiap) amalan seseorang (itu) tergantung pada akhirnya" (innam al-'a'mal bi khawatim).

Sebenarnya ungkapan tersebut bagian akhir dari hadis yang panjang. Dikutip hanya bagian yang relevan untuk menjelaskan prinsip dasar dalam beramal saleh. Meskipun potongan ungkapan tersebut terbilang agak pendak, namun ungkapan tersebut sarat akan makna. Bahkan ketika disyarah jadinya panjang kali lebar. Karena, syarahnya akan menggunakan pendekatan hadis-hadis lainnya dan juga ayat-ayat al-Qur'an serta perkataan sahabat dan para ulama. Hal demikian terbilang wajar-wajar saja oleh sebab antara teks bahasa agama satu dengan lainnya saling terkait dan menjelaskan. Sehingga, biar ungkapannya pendek, namun cakupan maknanya dalam dan luas.

Menurut seorang Az-Zarqani ketika menjelaskan hadis tersebut dikatakan bahwa maksud dari hadis sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya adalah amalan akhir yang dilakukan oleh seorang manusia itulah yang menjadi penentu kehidupannya setelah kematian. Sebab, amalan terakhir itu pulalah yang akan dibalas dikemudian hari. Maka, siapa yang beramal buruk lalu kemudian dalam perjalanannya beralih dengan melakukan amalan saleh, maka dinilai sebagai orang yang bertaubat dan itulah yang akan menentukan akhir hidupnya. Sebaliknya, siapa yang berpindah dari iman kepada kekufuran lalu meninggalkan, maka dianggap murtad dan itulah akhirnya.

Dengan demikian, hadis tersebut secara langsung maupun tidak langsung menekankan tentang pentingnya komitmen dan kontinuitas dalam beramal saleh. Karena, untuk bisa mendapatkan akhiran yang baik dan selamat dalam beramal saleh, maka diperlukan namanya komitmen di sana. Bahkan komitmen dalam beramal saleh sendiri menjadi bagian tidak terpisahkan dari hadis tersebut. Dengan komitmen dalam beramal saleh, maka dapat dipastikan hal demikian menjadi kebiasaan, kebudayaan dan karakter bagi seseorang dalam hidupnya hingga pada akhirnya menjadi sulit rasanya untuk ditinggalkan. Apalagi kalau di sana ada pula kalkulasi pahala dan dosa juga.

Selain itu, hadis tersebut sebenarnya menjadi warning bagi setiap orang beriman yang tengah dan terus melakukan amalan saleh bahwa tidak boleh merasa sombong dan aman dengan amalan saleh yang dilakukan dalam hidup. Sebab, fitnah kehidupan datang silih berganti menguji komitmen dan kontinuitas kesalehan yang dibangun dan dilakukan dalam hidup. Sangat boleh jadi di waktu pagi hari kita dalam keadaan beriman dan beramal saleh, namun pada malam harinya malah kita menjadi fasik dan kafir. Sebaliknya, sangat boleh jadi malam hari kita dalam keadaan beriman dan beramal saleh, namun pagi harinya malah kita menjadi fasik dan kafir (HR Muslim).

Ada kasus menarik yang bisa dikembangkan dari logika hadis tersebut dalam kaitannya dengan kontestasi Pemilu (karena kebetulan masih dalam suasana dan nuansa politik). Misalnya, Pemilu tingkat legislatif dengan menyertakan calon legislatif dan partai incumbent. Di mana hasil Pemilu menunjukkan banyak calon legislatif dan partai incumbent dinyatakan tidak lolos melenggang ke Senayan. Jika diterjemahkan dalam konteks logika hadis, maka dapat dikatakan bahwa ada anggota legislatif dan partai politik lolos Pemilu 2019, namun pada Pemilu 2024 malah tidak lolos. Itu adalah tamtsil tentang perubahan dalam hidup, baik terkait dengan politik maupun kesalehan.

Padahal calon legislatif dan partai politik incumbent memiliki saham yang besar dan instrumen politik yang terbilang agak lengkap untuk melakukan kerja-kerja politik dalam rangka menjaga konstituen politik, meng-up popularitas dan trend politik elektoralnya sekaligus melanggengkan hasrat kuasa(politik)nya. Di mana mesin politik sudah bekerja semenjak didapuk menjadi bagian dari "keluarga besar Senayan" dengan menggunakan "fasilitas negara", mulai dari melakukan kunjungan reses disertai dengan bantuan sosial terhadap masyarakat, lembaga sosial dan keagamaan dan lain sebagainya. Sehingga, benar-benar memiliki modal(itas) sosial-politik.

Namun, itulah misteri kehidupan. Tidak ada yang tahu. Makanya, tidak ada ceritanya orang-orang beriman merasa aman, bangga dan sombong dengan bangunan kesalehan yang dilakukan. Apalagi sampai-sampai membuatnya mempermain-mainkan kesalehan dengan perasaan malas, bergampang-gampangan, menunda-nunda dan lainnya. Sebab, tidak ada yang tahu akhir dari perjalanan kesalehannya. Bisa saja tetap bertahan dan meningkat hingga berurusan dengan "garis finish" yang bernama takdir kematian. Bisa saja juga malah berubah dan terbalik 180 ketika sampai pada "garis finis". Di situlah fungsinya tawadhu, doa, tawakal dan istiqamah dalam ikhtiar.

Kedudukan Ontologis I'tikaf

 

Termasuk amalan penting yang menjadi sasaran dalam ungkapan hadis "innam al-'a'mal bi khawatim" untuk diperhatikan pada momentum sepuluh hari terakhir adalah amalan yang bernama i'tikaf. Dalam kaitannya dengan bulan Ramadhan, ungkapan hadis tersebut dapat diartikan seolah-olah mengatakan bahwa sesungguhnya setiap amalan saleh yang dilakukan dalam bulan Ramadhan tergantung pada akhirnya, yaitu akhir bulan Ramadhan. Ya, sepuluh hari terakhir merupakan hari-hari yang sangat penting dalam Islam. Karena, di sana, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, terdapat peristiwa-peristiwa dahsyat dan penting bagi umat manusia.

Makanya, sunnah yang dicontohkan oleh Nabi, para sahabat, ulama dan orang-orang saleh yang mengikuti jejak kehidupannya adalah memaksimalkan waktu, kesempatan dan potensi untuk beribadah pada akhir Ramadhan. Mereka tidak akan membiarkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berlalu begitu saja tanpa diisi dengan pelbagai amalan saleh. Mereka tidak akan melalaikan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Mereka menyusun kurikulum khusus untuk mengisi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karenanya, trend kurva keimanan dan amalan saleh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan benar-benar mengalami kenaikan yang begitu signifikan.

Pertanyaan kemudian adalah ada apa sebenarnya dengan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai-sampai diperintahkan untuk memaksimalkan ibadah dalam ruang i'tikaf? Apa dan bagaimana sebenarnya (itu) i'tikaf? Ajaran i'tikaf tidak berdiri sendiri. Di sana ada "sesuatu yang lain" sehingga disyariatkan i'tikaf. Kalau "sesuatu yang lain" itu tidak ada misalnya, dapat dipastikan tidak ada pula i'tikaf. Karena, eksistensi i'tikaf sangat berpulang dan bergantung pada "sesuatu yang lain" itu. Nah, "sesuatu yang lain" dimaksud adalah peristiwa lail al-qadr, sebuah peristiwa misterium yang terjadi pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Pada konteks demikian, dapat dikatakan bahwa i'tikaf memiliki keutamaan dikarenakan di sana ada peristiwa lail al-qadr. Jika sekiranya tidak ada peristiwa lail al-qadr sudah bareng tentu tidak ada perintah i'tikaf di sana. Meskipun, sangat boleh saja orang akan tetap melakukan i'tikaf walau di sana tidak ada namanya peristiwa lail al-qadr. Misalnya, seseorang melakukan i'tikaf untuk lebih fokus dan konsentrasi dalam beribadah, baik dalam bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Dalam bulan Ramadhan misalnya, bisa saja dilakukan pada sepuluh hari pertama. Bisa juga dilakukan pada sepuluh hari kedua. Atau bisa juga dilakukan pada sepuluh hari terakhir.

Memang, dalam catatan sejarah sempat suatu ketika Nabi Muhammad saw melakukan formula i'tikaf seperti itu. Di mana Nabi pernah melakukan i'tikaf ketika berada pada sepuluh hari pertama dalam bulan Ramadhan. Kadang juga Nabi melakukan i'tikaf pada sepuluh hari kedua bulan Ramadhan. Bahkan ada pula informasi yang mengatakan bahwa Nabi pernah suatu ketika melakukan i'tikaf di luar bulan Ramadhan, tepatnya bulan Syawal. Selebihnya, tidak pernah dikhususkan untuk melakukan i'tikaf pada bulan-bulan lainnya. Itu pun Nabi melakukan hal demikian karena belum ada pensyariatan i'tikaf waktu itu. Sementara i'tikaf di bulan Syawal hanya menggantikan saja.

Ketika orang melakukan i'tikaf di luar bulan Ramadhan dengan seabrek amalan saleh selama kurang lebih satu bulan full misalnya, maka i'tikaf tersebut tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena, i'tikaf di luar bulan Ramadhan tidak ada tuntunannya. Selain itu, tidak ada peristiwa lail al-qadr di sana. Sebab, peristiwa lail al-qadr hanya terjadi dalam bulan Ramadhan. Itu pun hanya terjadi pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Begitu pula ketika ada orang yang melakukan I'tikaf hanya pada sepuluh malam pertama atau sepuluh malam kedua dalam bulan Ramadhan. Sama saja, tidak bisa dibandingkan dengan syariat i'tikaf.

Setidak-tidaknya terdapat beberapa basis keyakinan teologis terhadap peristiwa lail al-qadr. Pertama; peristiwa lail al-qadr merupakan waktu di mana terjadinya peristiwa nuzul al-Qur'an yang kebanyakan tanggal 17 Ramadhan kemarin dirayakan dan diperingati dengan pelbagai macam kegiatan keagamaan. Namun, peristiwa nuzul al-Qur'an yang terjadi pada lail al-qadr itu hanya berkaitan dengan tahapan turunnya al-Qur'an dari Allah ke Lauh Mahfud lalu kemudian dari Lauh Mahfud diturunkan kepada bait al-izzah secara keseluruhan 30 juz. Karena, pada peristiwa lail al-qadr disinyalir belum ada proses nuzul-transmisi Wahyu al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw.

Point tersebut perlu kiranya untuk ditekankan di sini karena ada pengandaian yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa peristiwa lail al-qadr merupakan peristiwa turunnya al-Qur'an tanpa ada penjelasan lanjutnya; turunnya al-Qur'an pada lail al-qadr itu adalah turunnya al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw atau(kah) turunnya al-Qur'an dari Allah ke Lauh Mahfud lalu kemudian diturunkan ke bait al-izzah? Jika pengandaian demikian diterima begitu saja tanpa ada "catatan tambahan", maka pengandaian demikian bertentangan dengan keyakinan (teoretis dan praktik) umat Islam yang mengandaikan bahwa al-Qur'an turun pada tanggal 17 Ramadhan.

Kedua; peristiwa lail al-qadr merupakan malam kemuliaan, keberkahan, kesejahteraan dan seribu bulan. Pandangan ini berangkat dari ayat-ayat dan juga hadis yang berbicara tentang peristiwa lail al-qadr. Penamaan lail al-qadr demikian dikarenakan pada malam itu ada yang spesial. Di antaranya adalah malam diturunkaan al-Qur'an. Pada malam itu Allah menetapkan takdir kehidupan (rezeki, ajal, dan semua peristiwa yang terjadi) selama setahun. Pada malam itu para Malaikat turun ke bumi. Pada malam itu pula Allah melipatgandakan pelbagai amalan saleh yang dilakukan seorang hamba, sampai-sampai amalan saleh itu jauh lebih baik dari seribu bulan.

Peristiwa Lail al-qadr merupakan sebuah nikmat, anugerah dan kado teristimewa dan terindah dari Allah kepada hamba-Nya, terkhusus dan teristimewa hamba-hamba dari kalangan umat Nabi Muhammad saw, umat Islam. Umat-umat lain tidak punya nikmat, anugerah dan kado spesial semacam itu, hatta kitab-kitab mereka turun di bulan Ramadhan juga. Allah memilih dan menetapkan peristiwa lail al-qadr terjadi dalam setiap tahun, tepatnya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, karena di sana ada cinta Allah kepada umat Islam. Allah mencintai dan menginginkan kebaikan bagi umat Islam, sehingga disiapkan momen khusus bernama lail al-qadr.

 

Karenanya, kita dituntun dan dituntut untuk mencari dan memperoleh lail al-qadr pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melalui ajaran dan rangkaian proses i'tikaf. Tujuannya bukan dalam rangka mendapatkan wahyu dari langit, akan tetapi dalam rangka untuk mendapatkan bonus keutamaan lail al-qadr lainnya yang disebutkan dan dijelaskan dalam Islam. Sebab, tidak ada lagi wahyu yang diturunkan pada peristiwa lail al-qadr, apalagi wahyu bernama al-Qur'an, pasca meninggalnya Nabi Muhammad saw. Karena, Nabi Muhammad saw adalah penutup para Nabi dan Rasul serta tidak ada lagi Nabi dan Rasul setelahnya (khatam al-nabiyyn l nabiyyn ba'd).

I'tikaf itu sendiri merupakan sebuah aktivitas spiritual yang dilakukan oleh seseorang dalam bentuk berdiam diri di masjid dengan tujuan lebih fokus dan konsentrasi dalam beribadah kepada Allah melalui pelbagai macam saluran amalan saleh, mulai dari membaca al-Qur'an, berzikir, beristighfar, bersalawat dan memperbanyak melaksanakan shalat sunnah. Termasuk melaksanakan ibadah puasa bagi yang tidak mendapat udzur syar'i, khususnya dari kalangan perempuan yang ikut serta dalam proses i'tikaf, tentunya. Sebab, untuk apa beri'tikaf jika tidak melaksanakan puasa Ramadhan tanpa ada udzur syar'inya. Apalagi i'tikaf adalah paket komplit dari ibadah puasa Ramadhan.

Masjid menjadi locus dan episentrum penting dari pelaksanaan i'tikaf. Bahkan proses dan aktivitas i'tikaf hanya bisa dilakukan di masjid di mana tempat ditegakkan shalat berjamaah bersama kaum muslimin. Sebab, i'tikaf dikatakan i'tikaf secara syar'i manakala dilakukan di masjid, bukan di mushola rumah, kantor dan lainnya. Di sana, di masjid, semua jama'ah fokus dan konsentrasi untuk beribadah kepada Allah dengan pelbagai amalan saleh yang dapat dilakukan. Meskipun demikian, jika ada yang memiliki udzur misalnya, bisa melaksanakan i'tikaf di rumah masing-masing. Atau bisa juga mengerjakan sebagiannya di masjid lalu kemudian dilanjutkan di rumah masing-masing.

Intinya, pada sepuluh hari terakhir sebisa mungkin memaksimalkan waktu, kesempatan dan potensi untuk beribadah. Kita perlu untuk memastikan bahwa kita sementara dalam keadaan beribadah ketika terjadi peristiwa lail al-qadr. Misalnya, tengah berdiri shalat, berdoa, berdzikir dan membaca al-Qur'an. Makanya, kalau-kalau tidak ada urusan penting, jangan melewatkan momentum langka dan sangat berharga tersebut. Dengan kata lain, selama masih memungkinkan alangkah baiknya untuk melakukan i'tikaf. Karena, momentum i'tikaf, apalagi perjumpaan dengan peristiwa lail al-qadr, belum tentu didapatkan kembali pada tahun-tahun selanjutnya.

Andaikan saja i'tikaf adalah sebuah madrasah pendidikan ruhani. Laiknya madrasah pada umumnya, ketika memasuki waktu ujian penentuan kelulusan dari sekolah, maka kita akan memaksimalkan segenap waktu, kesempatan dan potensi untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian. Tidak ada istilah bersantai-santai dan bermalas-malasan di sana. Pun tidak ada istilah berbangga-bangga diri dan kemampuan yang dimiliki hingga tidak mau mempersiapkan diri menghadapi ujian. Karena, kita ingin memastikan bahwa kita harus bisa lulus ujian bahkan kita berkeinginan kuat untuk keluar sebagai sang pemenang dalam ujian dengan spirit dan intens belajar.

Sama halnya dengan politisi, capres-cawapres dan partai politik yang berkompetisi pada kontestasi Pemilu 2024. Semuanya mempersiapkan diri dan segala sesuatunya agar supaya bisa terpilih menjadi anggota legislatif (DPRD Kota/Kabupaten dan Provinsi, DPR RI dan DPD RI), terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden serta partai politiknya bisa tembus parleme threshold untuk melenggang ke parlemen. Di situ, semuanya bekerja dengan maksimal sebelum Pemilu hingga setelah Pemilu. Meski sebelum-sebelumnya mesin politik mereka sudah bekerja dengan maksimal. Sebab, tidak cukup dengan rangkaian proses, tetapi harus akhirnya juga.

Ada beberapa alasan penting lagi fundament kenapa perlu beri'tkaf dan memaksimalkan ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Pertama; karena i'tikaf merupakan perintah dan sunnah dalam Islam. Kedua; kita membutuhkan namanya lail al-qadr karena di sana banyak keutamaan. Ketiga; peristiwa lail al-qadr merupakan peristiwa misterium meskipun di sana sudah ada kisi-kisi yang disampaikan oleh Nabi saw perihal waktu terjadinya peristiwa lail al-qadr, yakni jatuh pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Itu pun tidak ada tanggal yang paten. Karena, lail al-qadr dipergulirkan pada tanggal ganjil dalam setiap bulan Ramadhan.

Termasuk alasan yang terbilang bersifat faktual dan kondisional adalah ternyata tidak setiap tahun umat Islam memasuki dan melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Adakalanya puasanya serentak. Ada juga yang duluan. Ada pula yang belakang. Ada selisihnya hanya satu hari. Ada pula selisihnya sampai tujuh hari. Dalam konteks Indonesia, perbedaan penetapan hari raya keagamaan bisa dilihat langsung di antaranya pada ormas Muhammadiyah dengan NU-Pemerintah.  Pada tahun 2023 puasanya serentak dan lebarannya tidak serentak. Sementara pada tahun 2024 puasanya tidak sama, selisih satu hari, namun lebarannya malah diprediksi serentak.

Perbedaan demikian pada akhirnya berimplikasi juga pada malam ganjil-genap dalam bulan Ramadhan. Misalnya, Muhammadiyah duluan berpuasa Ramadhan, maka malam ganjilnya pada sepuluh hari terakhir juga duluan. Sementara NU-Pemerintah malam ganjilnya belakangan. Ketika Muhammadiyah bermalam ganjil, maka NU-Pemerintah malah bermalam genap. Sebaliknya, ketika Muhammadiyah bermalam genap, NU-Pemerintah malah bermalam ganjil. Starting malam ganjilnya Muhammadiyah pada sepuluh hari terakhir (malam ke-21) dimulai pada malam tanggal 30 Maret. Sementara NU-Pemerintah memasuki malam ke-21 pada  tanggal 31 Maret.

Di situ tidak bermaksud berbicara pada tataran siapa yang paling benar dan siapa yang salah. Akan tetapi, hanya mengungkapkan salah satu keunikan umat Islam dalam merayakan hari keagamaannya. Terlepas dari itu, rupanya perbedaan dan keragaman semacam itu malah memberikan hikmah lain bagi umat Islam. Setidak-tidaknya hikmah ketika memasuki sepuluh hari terakhir. Di mana perbedaan dan keragaman semacam itu bisa dimaknai bahwa tidak ada malam genap pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan alias semuanya serba malam ganjil. Sehingga, lebih memacu adrenalin umat Islam untuk memaksimalkan ibadah pada sepuluh hari terakhir.

Kesadaran dan Spirit Tajdid al-Nafs

 

Dengan keagungan, kedahsyatan dan keutamaan (dari) peristiwa lail al-qadr pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, maka wajar kemudian di sana ada mobilitas kesalehan spiritual. Umat Islam benar-benar mewujudkan konsep "fastabiqul khairat" (berpacu dan berlomba-lomba dalam kebaikan). Di sana akan ditemukan gelombang "massa-umat" yang memilih untuk melakukan i'tikaf dalam rangka untuk bisa berjumpa dengan peristiwa lail al-qadr. Tidak hanya orang yang hari-harinya hidup dalam spektrum kesalehan spiritual yang menghidupkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan melakukan i'tikaf, akan tetapi juga orang-orang biasa sekalipun.

Tentunya, tidak ada yang salah dengan fenomena mobilitas kesalehan spiritual pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tidak seperti anggapan sebagian orang bahwa fenomena keberagaman semacam itu merupakan fenomena gunung es dari laku "keberagamaan kekanak-kanakan". Karena orang-orang berpahaman demikian mengandaikan bahwa etos dan fenomena keberagaman semacam itu dipicu dan dipacu oleh "janji-janji manis" dalam beragama berupa mendapat keutamaan dari peristiwa lail al-qadr yang di dalamnya terdapat bonus kebaikan besar-besaran, mulai dari kemuliaan, keberkahan, kesejahteraan dan malam seribu bulan.

Bagi mereka, beragama dengan mengejar dan atau mengorientasikan kesalehan spiritual dalam beragama karena (sengaja tanpa menggunakan kata semat) "memburu" apa-apa yang menjadi "janji-janji manis" yang ditetapkan dalam doktrin keagamaan berupa bonus kebaikan adalah bagian dari manifest laku "keberagamaan kekanak-kanakan". Di mana salah satu indikator laku "keberagamaan kekanak-kanakan" adalah beribadah dalam rangka "memburu" bonus kebaikan yang dijanjikan dalam agama. Jika tidak ada "janji-janji manis", maka diandaikan tidak akan mungkin ada mobilitas kesalehan spiritual. Entah, logika semacam itu berangkat dari riset atau bukan.

Pandangan demikian nyaris sama dengan sebuah ungkapan yang sering dinisbatkan kepada Imam Ali, yakni "jangan beribadah laiknya pedagang yang mengharapkan untung dan jangan pula beribadah laiknya pembantu yang takut akan majikannya, tetapi beribadah karena cinta kepada-Nya". Ungkapan demikian juga serupa dengan salah satu ungkapan dinisbatkan kepada Rabiah Adawiyah ketika bergumam dalam kesunyian pendakian spiritual bahwa "kalau ibadah ku karena mengharapkan surgan-Mu, maka jauhkanlah daku dari surga-Mu dan kalau ibadahku karena takut neraka-Mu, maka campakkan daku dalam neraka-Mu, tetapi ibadah ku semata karena cinta".

Lalu, di mana letak problematiknya dari ungkapan-ungkapan semacam itu? Sebenarnya banyak sekali problem yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan tersebut. Namun, akan dijelaskan beberapa di antaranya yang dipandang penting dan relevan (saja). Pertama; semua kita pasti sepakat (tidak perlu melakukan survei dan observasi dalam bentuk wawancara dan angket untuk memastikannya sebab kebenarannya dapat diterima semua orang yang masih waras dengan tingkat keilmuan dan kecerdasan yang dimiliki) bahwa etos dan fenomena keberagaman semacam itu tidak ada yang salah. Tidak melanggar dan bertentangan dengan logika agama. Apalagi logika mereka.

Kedua; malah ungkapan-ungkapan di atas dipandang bertentangan dengan teks bahasa agama yang berbicara tentang trend beramal saleh. Di mana banyak teks bahasa agama menuntun umatnya untuk mengharapkan balasan kebaikan dari pelbagai kebaikan yang dilakukan. Bahkan banyak teks bahasa agama datang dalam bentuk perintah. Misalnya, perintah Allah untuk bersegera kepada ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang diperuntukkan kepada orang-orang bertakwa (QS Ali Imran/133). Teks bahasa agama ini secara jelas memerintahkan untuk beristighfar sekaligus mengharapkan dan menuju surga yang disiapkan untuk orang bertakwa.

Dalam kaitannya dengan aspek epistemologis misalnya, juga terdapat banyak keterangan dari teks bahasa agama di antaranya QS Thaha/114 tentang perintah Allah kenapa Nabi saw untuk meminta tambahan nikmat ilmu. Pun doa familiar Nabi kepada seorang Ibnu Abbas yang berbunyi "allahumma faqqihhu fiddin wa a'llimhuttakwil" (HR Ahmad). Begitu pula doa-doa tentang masalah ini, yaitu doa yang untuk dibaca selepas zikir Subuh yang berbunyi "allahumma inni as-aluka 'ilman naafi'an wa rizqon thoyyiban wa 'amalan mutaqabbalan" (HR Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya). Masih banyak doa-doa lainnya yang di dalamnya mengandung permohonan dan harapan untuk kebaikan.

Jangan jauh-jauh (deh), ambil saja contoh terkait dengan ibadah puasa, shalat tarawih dan i'tikaf yang sementara dijalani dan dinikmati ini. Terdapat banyak hadis yang memerintahkan kita untuk mengharapkan pahala dan lainnya dalam beramal saleh. Misalnya, hadis yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat lail (tarawih maksudnya) karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah niscaya akan dihapuskan dosa-dosanya setahun (man qma ramadhn mnan wa ihtisab ghufiralahu m taqaddam min dzanbik). Begitu pula ketika berbicara tentang puasa Ramadhan juga tidak ada bedanya dalam hadis semacam itu.

Dalam masalah lail al-qadr misalnya, banyak ayat-ayat al-Qur'an menjelaskan bahwa lail al-qadr adalah malam kemuliaan, keberkahan, kesejahteraan dan seribu bulan (QS Dukhan/3 dan QS al-Qadr/1-5). Tentunya, ayat-ayat tersebut tidak hanya menginformasikan maqam lail al-qadr, akan tetapi menghendaki kita untuk memaksimalkan ibadah, khususnya berdoa, untuk mendapatkan rangkaian keutamaan yang berada di dalamnya. Apalagi hal demikian juga dikonfirmasi oleh hadis. Salah satu doa penting yang disunnahkan (berarti diperintahkan karena sunnah) untuk dibaca pada malam-malam ganjil adalah "allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu'anni" (HR Termidzi).

Masih cukup banyak lagi teks bahasa agama yang menjelaskan tentang tidak ada masalahnya kalau-kalau beribadah dikarenakan dan atau dimaksudkan untuk mendapatkan kebaikan semacam pahala, ilmu, rezeki yang halal, surga, dijauhkan dari neraka dan lainnya. Namun, apa yang dikemukakan di atas sudah cukup untuk mengatakan bahwa anggapan orang-orang tersebut bertentangan 100% dengan teks bahasa agama. Apalagi dalam kehidupan kita juga biasanya kita menjadikan reward dan punishment sebagai pertimbangan dalam melakukan sesuatu. Misalnya, seorang dosen menjalankan amanah tridharma perguruan karena di sana ada reward dan punishment.

 

Ketiga; ungkapan-ungkapan demikian berangkat dari kesalahan dalam memahami dan mengartikulasi konsep yang bertalian dengan cinta dan (ke)ikhlas(an) dalam beribadah. Seolah-olah orang-orang yang beribadah karena cinta dan (ke)ikhlas(a) tidak boleh mengharapkan dan atau menyertakan harapan (raja') terhadap kebaikan yang juga diperintahkan oleh agama itu sendiri. Seolah-olah ketika seseorang beribadah dengan dan atau atas dasar cinta dan (ke)ikhlas(an) lalu kemudian menyelipkan dan menyertakan harapan terhadap kebaikan otomatis akan mereduksi konsep cinta dan (ke)ikhlas(an) dalam beribadah. Tentunya, selain fallacy, pahaman semacam itu terlalu dipaksakan.

Karena, orang-orang beriman lagi berilmu tidak akan mencintai segala sesuatu selain Allah melebihi Allah itu sendiri. Tidak mungkin orang beribadah kepada Allah karena di sana ada kecintaan berlebihan terhadap segala sesuatu selain Allah. Kalau pun ada, maka orang tersebut salah memahami hakikat cinta sebenarnya dan sudah tentu salah jalan dalam bertuhan. Selain itu, tidak ada salahnya jika seseorang mencintai sesuatu selain Allah, apalagi sesuatu itu positif dan diperintahkan dalam agama. Prinsipnya tidak boleh melebihi cintanya kepada Allah. Orang mengharapkan sesuatu dalam ibadah tidak boleh dikatakan karena di sana ada kecintaan berlebihan terhadap selain Allah.

Begitu pula (ke)ikhlas(an), seseorang dalam beribadah harus ikhlas, yakni tidak riya' (mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia) dan syirik (mempersekutukan Allah dengan segala sesuatu, baik dalam hal Rububiyah  Uluhiyah maupun Asma' wa Shifat). Itulah gambaran umum dari pengertian ikhlas yang dijelaskan oleh banyak ahli ilmu, mulai dari kalangan sahabat, ulama dan lainnya. Dengan demikian, beribadah mengharapkan sesuatu yang berada pada sisi Allah tidak bertentangan dan atau mendegradasi status dan kualitas keikhlasan. Sebab, harapan-harapan semacam itu biasanya merupakan turunan dari harapan pokok dalam keikhlasan beribadah kepada Allah.

Lalu, pertanyaan kemudian kalau tidak ada pahala, surga, dosa, neraka dan lainnya apakah orang masih beribadah? Jawabannya adalah pertanyaan itu imajiner semata. Realitasnya tidak ada. Pertanyaan yang tidak sejalan dengan fakta dan juga bertentangan dengan Sifat Allah, di antaranya al-wa'du wa al-waid. Kalaupun kenyataannya ada misalnya, orang beriman yang percaya dan yakin kepada Allah pasti akan beribadah kepada Allah. Karena, mereka tahu bahwa Allah yang diyakini dan disembah hanya memerintahkan mereka untuk beribadah tanpa ada balasan sama sekali. Aspek ini yang luput juga dari pengandaian orang-orang itu.

Terlepas dari itu, i'tikaf yang dilakukan bukan semata mengharapkan apa yang dinamakan dengan peristiwa lail al-qadr. Sebab, mendapatkan kado dan suprise berupa lail al-qadr adalah merupakan goal dan effect dari kesadaran dan spirit tajdid al-nafs yang dilakukan oleh mereka-mereka yang melakukan i'tikaf dengan memaksimalkan ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sehingga, i'tikaf merupakan panggilan untuk melakukan apa yang dinamakan tajdid al-nafs. Karena, orang-orang yang memiliki kesadaran dan spirit untuk melakukan tajdid al-nafs -- restorasi semesta dan fakultas jiwa akan terpanggil dalam setiap saat untuk memaksimalkan ibadah.

Artinya, mau ada atau tidak ada peristiwa lail al-qadr dan perintah melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tidak menjadi problem bagi orang-orang yang memiliki kesadaran dan spirit tajdid al-nafs. Pun ketika ada perintah untuk melakukan i'tikaf seperti lazimnya sekarang ini, namun aktivitas kesalehan yang dilakukan tidak sampai mempertemukan seseorang dengan peristiwa lail al-qadr misalnya, maka di sana ada ikhtiar untuk melakukan tajdid al-nafs melalui pelbagai rangkaian amalan saleh. Sebab, semua hari-hari yang dilalui dalam hidup dan kehidupan merupakan sebuah momentum emas untuk melakukan tajdid al-nafs.

 

Itulah antara lain utilitas-manfaat yang diperoleh bagi mereka-mereka yang mencelupkan dirinya dalam proses i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Kalau pun mereka tidak ditakdirkan berjumpa dengan peristiwa lail al-qadr, meskipun dirinya sudah memaksimalkan pelbagai daya dan upaya untuk bisa beribadah dengan pelbagai varian amalan saleh, tetap saja ada nilai plusnya yang diperoleh, yakni mendapatkan apa yang dinamakan dengan tajdid al-nafs, semesta jiwa mengalami restorasi menuju kesejatian. Sebab, i'tikaf menghantarkan seseorang untuk melakukan tajdid al-nafs dan tajdid al-nafs menjadi jembatan perjumpaan dengan peristiwa lail al-qadr.

Makanya, sama dengan i'tikaf, tajdid al-nafs juga merupakan perintah yang datang dari Nabi Muhammad saw. Jaddidu imanikum (pebaharuilah terus menerus nalar dan kualitas iman kalian) adalah perintah yang dimaksud. Dengan kesadaran dan spirit jaddidu imanikum akan tercipta tajdid al-nafs. Karena, iman adalah basis fundament perjalanan proses tajdid al-nafs. Iman menggerakkan semesta jiwa untuk senantiasa melakukan tajdid melalui pelbagai saluran amalan saleh. Tujuannya agar nalar dan spirit iman tetap berada pada jalan-jalan tajdid al-nafs, meskipun berada dalam lingkaran kehidupan yang penuh dengan pelbagai ujian dan tantangan.

Itulah mengapa juga selepas dari perang Badar yang terjadi dalam bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 17 Ramadhan 2 H / 13 Maret 625, Nabi bersabda "raja'n min al-jihd al-ashghar il al-jihd al-akbar, ql wam jihd al-akbar? Qla jihd al-qalb aw jihd al-nafsi" (Kami baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad besar. Mereka berkata: Apakah jihad besar itu? Nabi saw menjawab: Jihad (melawan) hati atau jihad (melawan) nafsu). Terlepas dari status hadisnya, karena ada yang menilainya sebagai hadis lemah (dhaif) seperti al-Iraqi, matan-konten hadis tersebut rasa-rasanya bisa diterima, apalagi tidak bertentangan dengan teks bahasa agama pada umumnya.

Sebab, jihad melawan diri sendiri merupakan jihad paling penting dan utama bahkan tergolong sebagai jihad akbar. Hal demikian antara lain dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah ketika mengklasifikasi bentuk-bentuk jihad dalam Islam. Karena, panggilan jihad dalam bentuk qital (perang fisik) tidak akan disambut dengan antusias dan sigap oleh umat Islam manakala di sana masih ada hegemoni dan dominasi nafsu angkara murka terhadap semesta jiwanya. Hanya orang-orang yang sudah lulus dari pendidikan jihad terhadap diri sendirilah yang akan menyambutnya dengan penuh antusias dan sigap. Bahkan di sana tidak ada lagi rasa khawatir dan takut.

Tentunya, jihad al-nafsi dimaksud bukan jihad yang disalahpahami kalangan teroris yang cenderung memaknai terminologi jihad sebagai perang fisik. Akan tetapi, jihad al-nafs adalah sebuah paradigma pendidikan ruhani untuk menyiapkan setiap jiwa empat tingkatan. Pertama; jihad untuk menuntut ilmu. Artinya, jihad ini menghendaki seseorang berjihad untuk mempelajari ilmu agama. Kedua; jihad untuk mengamalkan ilmu. Maksudnya, berjihad terhadap diri sendiri agar bisa mengamalkan ilmu yang dipelajari. Ketiga; jihad untuk berdakwah, yakni berjihad terhadap diri sendiri agar mendakwahkan ilmu dan amal. Keempat; jihad untuk bersabar terhadap tiga hal itu.

 Jihad al-nafs demikian merupakan instrumen penting untuk sampai pada kesadaran dan spirit tajdid al-nafs. Bahkan jihad al-nafs itu sangat dibutuhkan selama menjalankan proses i'tikaf. Dengan jihad al-nafs, seseorang akan terpacu untuk memaksimalkan pelbagai potensi, waktu dan kesempatan untuk beribadah. Perjumpaan dan persenyawaan jihad al-nafs dengan proses i'tikaf benar-benar akan melahirkan kesadaran dan spirit tajdid al-nafs. Sehingga, mereka-mereka yang menjadi proses i'tikaf memiliki etos kesalehan spritual yang tinggi dan tertib. Mereka mengatur segala sesuatunya untuk bisa maksimal beribadah pada sepuluh hari terakhir.

Realitas Umat Islam Pada Akhir Ramdhn

 

Meskipun gambaran tentang lail al-qadr dan i'tikaf begitu agung, dahsyat dan mempesona batin, namun rupanya hal demikian tidak meluluh berbanding lurus dengan realita umat Islam di lapangan, khususnya realitas umat Islam pada akhir bulan Ramadhan. Nyaris sama dengan sebuah meme satire yang berkembang luas di jagat permediaan, yakni "pusat ibadah sebagian orang pada sepuluh hari pertama adalah di rumah masing-masing, ketika masuk pada sepuluh hari kedua pusat ibadahnya sudah bergeser ke tempat buka puasa bersama, sementara ketika masuk sepuluh hari terakhir pusat ibadahnya bergeser ke tempat-tempat pembelajaran".

Ungkapan satire tersebut bisa diandaikan sebagai otokritik terhadap realitas umat Islam dalam memperlakukan bulan Ramadhan, khususnya lagi akhir bulan Ramadhan. Hal demikian terbilang sesuatu yang sangat mudah untuk dijumpa-temui dalam setiap bulan Ramadhan. Malah ungkapan satire semacam itu masih terbilang agak mendingan. Sebab, problemnya hanya terletak pada pemberlakuan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Selebihnya wajar-wajar saja. Orang boleh saja beribadah di rumahnya jika ada udzur star'inya, apalagi ibadah dimaksud hanya bertalian dengan makan sahur dan ifthar semata. Pun orang boleh saja beribadah pada acara bukber.

Memang, melihat realitas umat Islam pada akhir Ramadhan rasa-rasanya sangat disayangkan betul. Di mana pusat kegiatan sebagian besar orang Islam mulai bergeser dari masjid ke tempat-tempat perbelanjaan; mall-mall, swalayan, toko-toko dan lainnya. Mereka "beri'tikaf" di tempat-tempat itu. Nama kue, makanan, pakaian, alat kecantikan dan harganya masing-masing menjadi "zikir" yang selalu diulang-ulang selama "beri'tikaf" di sana. Di sana mereka beribadah dengan khidmat melalui pelbagai macam aneka hasrat duniawi. Mereka berlomba-lomba menjadi paling depan untuk bisa mengejar pelbagai tuntutan hasrat duniawinya.

Sebenarnya tidak masalah jika hal demikian tidak melalaikan dan bahkan melupakan kewajiban dan moment-moment khusus di akhir Ramadhan. Meskipun hal demikian terbilang agak sulit rasanya. Karena Ramadhan yang tadinya hadir untuk menekan dan menjinakkan hasrat konsumtif umat Islam ternyata gagal total ketika memasuki babak-babak terakhir bulan Ramadhan. Umat Islam nampaknya tidak bisa bertahan dengan godaan dan rayuan dunia di akhir-akhir Ramadhan. Apalagi kempanye diskon besar-besaran menggema di mana-mana  pada setiap sudut-sudut kota. Mau tidak mau membuat sebagian umat Islam memilih menghabiskan waktunya di sana.

Di situ rupanya promo dan diskon besar-besaran yang Allah siapkan untuk umat Islam pada akhir Ramadhan dalam bentuk melakukan i'tikaf dengan memperoleh dan meraih lail al-qadr kalah jauh bahkan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan promo dan diskon besar-besaran yang dipersiapkan oleh pasar kapitalistik pada akhir Ramadhan. Akhirnya, mau tidak mau fokus umat Islam pun menjadi terpecah dan terbagi antara bermesra ria dengan Allah dalam rangkaian proses i'tikaf dan bermesra ria dengan pelbagai kenikmatan dunia yang terbuka lebar pada akhir Ramadhan. Bahkan kadang lebih difokuskan malah bei'tikaf dan bertawaf di tempat belanja dan lainnya

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun