Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lail Al-Qadr, Itikaf dan Tajdid Al-Nafs

1 April 2024   22:14 Diperbarui: 1 April 2024   22:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Namun, itulah misteri kehidupan. Tidak ada yang tahu. Makanya, tidak ada ceritanya orang-orang beriman merasa aman, bangga dan sombong dengan bangunan kesalehan yang dilakukan. Apalagi sampai-sampai membuatnya mempermain-mainkan kesalehan dengan perasaan malas, bergampang-gampangan, menunda-nunda dan lainnya. Sebab, tidak ada yang tahu akhir dari perjalanan kesalehannya. Bisa saja tetap bertahan dan meningkat hingga berurusan dengan "garis finish" yang bernama takdir kematian. Bisa saja juga malah berubah dan terbalik 180 ketika sampai pada "garis finis". Di situlah fungsinya tawadhu, doa, tawakal dan istiqamah dalam ikhtiar.

Kedudukan Ontologis I'tikaf

 

Termasuk amalan penting yang menjadi sasaran dalam ungkapan hadis "innam al-'a'mal bi khawatim" untuk diperhatikan pada momentum sepuluh hari terakhir adalah amalan yang bernama i'tikaf. Dalam kaitannya dengan bulan Ramadhan, ungkapan hadis tersebut dapat diartikan seolah-olah mengatakan bahwa sesungguhnya setiap amalan saleh yang dilakukan dalam bulan Ramadhan tergantung pada akhirnya, yaitu akhir bulan Ramadhan. Ya, sepuluh hari terakhir merupakan hari-hari yang sangat penting dalam Islam. Karena, di sana, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, terdapat peristiwa-peristiwa dahsyat dan penting bagi umat manusia.

Makanya, sunnah yang dicontohkan oleh Nabi, para sahabat, ulama dan orang-orang saleh yang mengikuti jejak kehidupannya adalah memaksimalkan waktu, kesempatan dan potensi untuk beribadah pada akhir Ramadhan. Mereka tidak akan membiarkan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan berlalu begitu saja tanpa diisi dengan pelbagai amalan saleh. Mereka tidak akan melalaikan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Mereka menyusun kurikulum khusus untuk mengisi sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karenanya, trend kurva keimanan dan amalan saleh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan benar-benar mengalami kenaikan yang begitu signifikan.

Pertanyaan kemudian adalah ada apa sebenarnya dengan sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai-sampai diperintahkan untuk memaksimalkan ibadah dalam ruang i'tikaf? Apa dan bagaimana sebenarnya (itu) i'tikaf? Ajaran i'tikaf tidak berdiri sendiri. Di sana ada "sesuatu yang lain" sehingga disyariatkan i'tikaf. Kalau "sesuatu yang lain" itu tidak ada misalnya, dapat dipastikan tidak ada pula i'tikaf. Karena, eksistensi i'tikaf sangat berpulang dan bergantung pada "sesuatu yang lain" itu. Nah, "sesuatu yang lain" dimaksud adalah peristiwa lail al-qadr, sebuah peristiwa misterium yang terjadi pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Pada konteks demikian, dapat dikatakan bahwa i'tikaf memiliki keutamaan dikarenakan di sana ada peristiwa lail al-qadr. Jika sekiranya tidak ada peristiwa lail al-qadr sudah bareng tentu tidak ada perintah i'tikaf di sana. Meskipun, sangat boleh saja orang akan tetap melakukan i'tikaf walau di sana tidak ada namanya peristiwa lail al-qadr. Misalnya, seseorang melakukan i'tikaf untuk lebih fokus dan konsentrasi dalam beribadah, baik dalam bulan Ramadhan maupun bulan-bulan lainnya. Dalam bulan Ramadhan misalnya, bisa saja dilakukan pada sepuluh hari pertama. Bisa juga dilakukan pada sepuluh hari kedua. Atau bisa juga dilakukan pada sepuluh hari terakhir.

Memang, dalam catatan sejarah sempat suatu ketika Nabi Muhammad saw melakukan formula i'tikaf seperti itu. Di mana Nabi pernah melakukan i'tikaf ketika berada pada sepuluh hari pertama dalam bulan Ramadhan. Kadang juga Nabi melakukan i'tikaf pada sepuluh hari kedua bulan Ramadhan. Bahkan ada pula informasi yang mengatakan bahwa Nabi pernah suatu ketika melakukan i'tikaf di luar bulan Ramadhan, tepatnya bulan Syawal. Selebihnya, tidak pernah dikhususkan untuk melakukan i'tikaf pada bulan-bulan lainnya. Itu pun Nabi melakukan hal demikian karena belum ada pensyariatan i'tikaf waktu itu. Sementara i'tikaf di bulan Syawal hanya menggantikan saja.

Ketika orang melakukan i'tikaf di luar bulan Ramadhan dengan seabrek amalan saleh selama kurang lebih satu bulan full misalnya, maka i'tikaf tersebut tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Karena, i'tikaf di luar bulan Ramadhan tidak ada tuntunannya. Selain itu, tidak ada peristiwa lail al-qadr di sana. Sebab, peristiwa lail al-qadr hanya terjadi dalam bulan Ramadhan. Itu pun hanya terjadi pada malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Begitu pula ketika ada orang yang melakukan I'tikaf hanya pada sepuluh malam pertama atau sepuluh malam kedua dalam bulan Ramadhan. Sama saja, tidak bisa dibandingkan dengan syariat i'tikaf.

Setidak-tidaknya terdapat beberapa basis keyakinan teologis terhadap peristiwa lail al-qadr. Pertama; peristiwa lail al-qadr merupakan waktu di mana terjadinya peristiwa nuzul al-Qur'an yang kebanyakan tanggal 17 Ramadhan kemarin dirayakan dan diperingati dengan pelbagai macam kegiatan keagamaan. Namun, peristiwa nuzul al-Qur'an yang terjadi pada lail al-qadr itu hanya berkaitan dengan tahapan turunnya al-Qur'an dari Allah ke Lauh Mahfud lalu kemudian dari Lauh Mahfud diturunkan kepada bait al-izzah secara keseluruhan 30 juz. Karena, pada peristiwa lail al-qadr disinyalir belum ada proses nuzul-transmisi Wahyu al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw.

Point tersebut perlu kiranya untuk ditekankan di sini karena ada pengandaian yang berkembang di tengah-tengah masyarakat bahwa peristiwa lail al-qadr merupakan peristiwa turunnya al-Qur'an tanpa ada penjelasan lanjutnya; turunnya al-Qur'an pada lail al-qadr itu adalah turunnya al-Qur'an kepada Nabi Muhammad saw atau(kah) turunnya al-Qur'an dari Allah ke Lauh Mahfud lalu kemudian diturunkan ke bait al-izzah? Jika pengandaian demikian diterima begitu saja tanpa ada "catatan tambahan", maka pengandaian demikian bertentangan dengan keyakinan (teoretis dan praktik) umat Islam yang mengandaikan bahwa al-Qur'an turun pada tanggal 17 Ramadhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun