Mohon tunggu...
Azis Maloko
Azis Maloko Mohon Tunggu... Penulis - seorang pejalan yang menikmati hari-hari dengan membaca

anak nelayan berkebangsaan Lamakera nun jauh di sana, hobi membaca dan menulis, suka protes, tapi humanis dan humoris

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lail Al-Qadr, Itikaf dan Tajdid Al-Nafs

1 April 2024   22:14 Diperbarui: 1 April 2024   22:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Jangan jauh-jauh (deh), ambil saja contoh terkait dengan ibadah puasa, shalat tarawih dan i'tikaf yang sementara dijalani dan dinikmati ini. Terdapat banyak hadis yang memerintahkan kita untuk mengharapkan pahala dan lainnya dalam beramal saleh. Misalnya, hadis yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melaksanakan shalat lail (tarawih maksudnya) karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah niscaya akan dihapuskan dosa-dosanya setahun (man qma ramadhn mnan wa ihtisab ghufiralahu m taqaddam min dzanbik). Begitu pula ketika berbicara tentang puasa Ramadhan juga tidak ada bedanya dalam hadis semacam itu.

Dalam masalah lail al-qadr misalnya, banyak ayat-ayat al-Qur'an menjelaskan bahwa lail al-qadr adalah malam kemuliaan, keberkahan, kesejahteraan dan seribu bulan (QS Dukhan/3 dan QS al-Qadr/1-5). Tentunya, ayat-ayat tersebut tidak hanya menginformasikan maqam lail al-qadr, akan tetapi menghendaki kita untuk memaksimalkan ibadah, khususnya berdoa, untuk mendapatkan rangkaian keutamaan yang berada di dalamnya. Apalagi hal demikian juga dikonfirmasi oleh hadis. Salah satu doa penting yang disunnahkan (berarti diperintahkan karena sunnah) untuk dibaca pada malam-malam ganjil adalah "allahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu'anni" (HR Termidzi).

Masih cukup banyak lagi teks bahasa agama yang menjelaskan tentang tidak ada masalahnya kalau-kalau beribadah dikarenakan dan atau dimaksudkan untuk mendapatkan kebaikan semacam pahala, ilmu, rezeki yang halal, surga, dijauhkan dari neraka dan lainnya. Namun, apa yang dikemukakan di atas sudah cukup untuk mengatakan bahwa anggapan orang-orang tersebut bertentangan 100% dengan teks bahasa agama. Apalagi dalam kehidupan kita juga biasanya kita menjadikan reward dan punishment sebagai pertimbangan dalam melakukan sesuatu. Misalnya, seorang dosen menjalankan amanah tridharma perguruan karena di sana ada reward dan punishment.

 

Ketiga; ungkapan-ungkapan demikian berangkat dari kesalahan dalam memahami dan mengartikulasi konsep yang bertalian dengan cinta dan (ke)ikhlas(an) dalam beribadah. Seolah-olah orang-orang yang beribadah karena cinta dan (ke)ikhlas(a) tidak boleh mengharapkan dan atau menyertakan harapan (raja') terhadap kebaikan yang juga diperintahkan oleh agama itu sendiri. Seolah-olah ketika seseorang beribadah dengan dan atau atas dasar cinta dan (ke)ikhlas(an) lalu kemudian menyelipkan dan menyertakan harapan terhadap kebaikan otomatis akan mereduksi konsep cinta dan (ke)ikhlas(an) dalam beribadah. Tentunya, selain fallacy, pahaman semacam itu terlalu dipaksakan.

Karena, orang-orang beriman lagi berilmu tidak akan mencintai segala sesuatu selain Allah melebihi Allah itu sendiri. Tidak mungkin orang beribadah kepada Allah karena di sana ada kecintaan berlebihan terhadap segala sesuatu selain Allah. Kalau pun ada, maka orang tersebut salah memahami hakikat cinta sebenarnya dan sudah tentu salah jalan dalam bertuhan. Selain itu, tidak ada salahnya jika seseorang mencintai sesuatu selain Allah, apalagi sesuatu itu positif dan diperintahkan dalam agama. Prinsipnya tidak boleh melebihi cintanya kepada Allah. Orang mengharapkan sesuatu dalam ibadah tidak boleh dikatakan karena di sana ada kecintaan berlebihan terhadap selain Allah.

Begitu pula (ke)ikhlas(an), seseorang dalam beribadah harus ikhlas, yakni tidak riya' (mengharapkan pujian dan sanjungan dari manusia) dan syirik (mempersekutukan Allah dengan segala sesuatu, baik dalam hal Rububiyah  Uluhiyah maupun Asma' wa Shifat). Itulah gambaran umum dari pengertian ikhlas yang dijelaskan oleh banyak ahli ilmu, mulai dari kalangan sahabat, ulama dan lainnya. Dengan demikian, beribadah mengharapkan sesuatu yang berada pada sisi Allah tidak bertentangan dan atau mendegradasi status dan kualitas keikhlasan. Sebab, harapan-harapan semacam itu biasanya merupakan turunan dari harapan pokok dalam keikhlasan beribadah kepada Allah.

Lalu, pertanyaan kemudian kalau tidak ada pahala, surga, dosa, neraka dan lainnya apakah orang masih beribadah? Jawabannya adalah pertanyaan itu imajiner semata. Realitasnya tidak ada. Pertanyaan yang tidak sejalan dengan fakta dan juga bertentangan dengan Sifat Allah, di antaranya al-wa'du wa al-waid. Kalaupun kenyataannya ada misalnya, orang beriman yang percaya dan yakin kepada Allah pasti akan beribadah kepada Allah. Karena, mereka tahu bahwa Allah yang diyakini dan disembah hanya memerintahkan mereka untuk beribadah tanpa ada balasan sama sekali. Aspek ini yang luput juga dari pengandaian orang-orang itu.

Terlepas dari itu, i'tikaf yang dilakukan bukan semata mengharapkan apa yang dinamakan dengan peristiwa lail al-qadr. Sebab, mendapatkan kado dan suprise berupa lail al-qadr adalah merupakan goal dan effect dari kesadaran dan spirit tajdid al-nafs yang dilakukan oleh mereka-mereka yang melakukan i'tikaf dengan memaksimalkan ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Sehingga, i'tikaf merupakan panggilan untuk melakukan apa yang dinamakan tajdid al-nafs. Karena, orang-orang yang memiliki kesadaran dan spirit untuk melakukan tajdid al-nafs -- restorasi semesta dan fakultas jiwa akan terpanggil dalam setiap saat untuk memaksimalkan ibadah.

Artinya, mau ada atau tidak ada peristiwa lail al-qadr dan perintah melakukan i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan tidak menjadi problem bagi orang-orang yang memiliki kesadaran dan spirit tajdid al-nafs. Pun ketika ada perintah untuk melakukan i'tikaf seperti lazimnya sekarang ini, namun aktivitas kesalehan yang dilakukan tidak sampai mempertemukan seseorang dengan peristiwa lail al-qadr misalnya, maka di sana ada ikhtiar untuk melakukan tajdid al-nafs melalui pelbagai rangkaian amalan saleh. Sebab, semua hari-hari yang dilalui dalam hidup dan kehidupan merupakan sebuah momentum emas untuk melakukan tajdid al-nafs.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun